Sedang Membaca
Debat adalah Budaya Demokrasi Kita
Amin Mudzakkir
Penulis Kolom

Amin Mudzakkir, peneliti di Pusat Riset Kewilayahan BRIN dan dosen di Sekolah Kajian Stratejik dan Global UI Jakarta & Program Pascasarjana Fakultas Islam Nusatara Unusia Jakarta. Menyelesaikan S3 di STF Driyarkara (2021).

Debat adalah Budaya Demokrasi Kita

Debat Capres 2024

Di masyarakat kita, debat terkadang masih dilihat sebagai aktivitas yang kurang berguna. Sebagian orang menganggap debat hanya olah kata yang tidak berhubungan dengan olah kerja. Kata dan kerja dikontraskan dengan penekanan yang satu lebih etis daripada yang lainnya.

Karena pertimbangan itu, Presiden Jokowi menekankan “kerja, kerja, kerja”. Meski Prabowo Subianto sebagai lawan tandingnya dalam dua kali pilpres tidak dikenal pertama-tama sebagai seorang yang jago berpidato, Jokowi sejak awal mengambil jarak dengan debat. Dia tampak kurang suka dengan figur yang pandai berkata-kata. Selama hampir satu dekade masa pemerintahannya, secara kultural pengertian debat yang berpusat pada kemampuan retorika diturunkan derajatnya.

Mungkin karena itu Jokowi tidak cocok dengan Anies Baswedan. Dilantik pada bulan Oktober 2014 sebagai menteri pendidikan dan kebudayaan, Anies dicopot dari jabatannya pada bulan Juli 2016. Tidak ada penjelasan yang memuaskan mengapa itu dilakukan kecuali Jokowi memang tidak suka Anies yang memang amat sangat lihai berdebat. Terlebih setelah Pilkada DKI Jakarta 2017, Jokowi tampak senang dengan penggambaran Anies sebagai ahli “tata kata”, bukan ahli “tata kota”.

Oleh karena itu, ketika belakangan Jokowi memasangkan Prabowo dan anaknya untuk maju sebagai calon presiden dan calon wakil presiden Pemilu 2024, persoalan tentang debat menjadi krusial. Seperti telah dikatakan, sementara Prabowo tidak dikenal pertama-tama sebagai seorang yang jago berpidato, publik tidak tahu seperti apa kemampuan retorika Gibran Rakabuming Raka, anak sang presiden. Sejauh video yang beredar, Gibran jarang sekali berbicara panjang. Seperti ayahnya, Gibran terlihat hanya menanggapi pertanyaan pemirsa secara sepotong-sepotong. Sejauh ini saya belum menemukan video yang memperlihatkan Gibran berdebat dengan seseorang mengenai satu hal secara utuh dalam kerangka yang substansial.

Baca juga:  Dzalikal Kitab: Alquran yang Jauh dan Sekaligus Dekat

Belakangan terdengar kabar KPU memfasilitasi debat hanya untuk calon presiden, bukan calon wakil presiden. Belum jelas apa keputusan resminya mengenai hal ini, tetapi kabar itu sudah memperlihatkan adanya keengganan sebagian orang terhadap debat. Masyarakat diarahkan untuk menerima pengertian etik bahwa debat bukan budaya kita.

Penggiringan opini bahwa debat bukan budaya kita sangat berbahaya. Selain bertentangan dengan realitas di masyarakat, opini tersebut jelas merupakan rekayasa sosial menuju kembalinya feodalisme dan otoritarianisme. Di masyarakat kita, di pesantren misalnya, debat adalah aktivitas sehari-hari. Coba lihat forum bahtsul masail keagamaan yang biasa diselenggarakan oleh pesantren-pesantren NU, debat bahkan bagian yang tidak terpisahkan dari pencarian kebenaran agama. Tidak ada kebenaran tanpa perdebatan. Jadi pada masyarakat yang mana debat bukan budaya?

Terlebih lagi dalam demokrasi modern, debat di ruang publik adalah intinya. Apa yang oleh Habermas dipopulerkan sebagai demokrasi deliberatif itu tiada lain tiada bukan adalah debat, sejauh mana publik terlibat perdebatan mengenai apa yang harus dilakukan dan harus dicegah dalam demokrasi. Pembangunan–atau dalam istilah Jokowi adalah “kerja”–hanya legitim jika diputuskan terlebih dahulu dalam suatu perdebatan publik yang luas. Di Indonesia hari ini, apakah pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) atau pembentukan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dilakukan melewati prosedur itu?

Baca juga:  Mengupas Novel Perdana Goenawan Mohamad

Keengganan terhadap debat, oleh karena itu, adalah laku feodal. Feodalisme tidak mengenal perdebatan. Feodalisme berdiri di atas sabda, yaitu perintah raja yang harus dilaksanakan oleh rakyatnya. Kata-kata diperkenankan sejauh dikemukakan oleh para pujangga istana dalam rangka mengokohkan kekuasaan raja. Kata-kata yang keluar dari mereka yang bukan berada di lingkaran itu berarti omong kosong belaka.

Laku feodal tersebut adalah tulang punggung otoritarianisme. Para penguasa otoriter tidak suka debat. Mereka lalu menyebut orang-orang yang suka debat sebagai kaum sofis dengan nada merendahkan. Sofisme yang awalnya merujuk pada suatu mazhab pemuliaan bahasa dalam filsafat Yunani kuno diturunkan statusnya menjadi sekadar paham tentang omong kosong yang relativistik. Penguasa otoriter akan menyebut para pendebatnya sebagai orang-orang yang ahli “tata kata” tetapi tidak bisa “tata kota”.

Oleh karena itu, pengkutuban antara “tata kata” dan “tata kota” adalah prakondisi bagi kembalinya feodalisme dan otoritarianisme. Kata dan kota, debat dan kerja, dihadapkan secara oposisional seolah yang satu lebih baik daripada yang lain. Pada saat yang sama, figurasi karikatural yang lucu-lucuan dimunculkan untuk mengelabui operasi kekuasaan yang sesungguhnya, seolah-olah itulah yang dibutuhkan oleh kita, khususnya generasi mudanya.

Kembali ke soal debat, kita harus mulai menyadari bahwa itu lebih dari sekadar kata-kata. Debat adalah pertanggung jawaban intelektual terhadap rencana-rencana pembangunan yang selama ini, khususnya dalam periode terakhir pemerintahan Jokowi, sering tidak terkatakan. Tanpa perdebatan tidak ada pembangunan yang demokratis. Jadi kalau ada orang yang bilang debat bukan budaya kita berarti orang itu memang bukan ingin berdemokrasi, melainkan sekadar ingin berkuasa.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
0
Senang
2
Terhibur
1
Terinspirasi
3
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top