Jumat besok, 1 Desember 2023, Lakpesdam PBNU akan mengadakan sebuah acara penting bertajuk “muktamar pemikiran”. “Imagining the Future Society” adalah tema pokoknya, berisi gagasan-gagasan tentang bagaimana seharusnya NU menyongsong masa depan.
Sejumlah permasalahan disajikan, termasuk permakluman bahwa masa depan sangat ditentukan oleh keputusan kita di masa kini. Mulai dari pilihan kebijakan investasi hingga penguasaan teknologi, mulai dari isu mobilitas manusia hingga peningkatan kualitas sumber daya manusia, telah dipertimbangkan oleh panitia sebagai kerangka acuan untuk mengimajinasikan masyarakat di masa depan itu.
Akan tetapi, setidaknya bagi saya, tantangan terbesar NU dalam waktu dekat adalah bisakah NU keluar dari bayang-bayang Presiden Jokowi? Pertanyaan ini penting tidak hanya karena pada 14 Februari 2024 besok kita akan menyelenggarakan pemilihan umum, tetapi juga karena itu merupakan pijakan untuk merefleksikan apa yang telah dilakukan oleh NU dalam hubungannya dengan negara selama satu dekade terakhir. Tanpa itu, masa depan tetap akan menjadi masa depan yang hanya menarik untuk dibicarakan.
Terutama dalam lima tahun terakhir, hubungan NU dan negara sangat dekat. Dalam bidang keagamaan, NU seperti juru bicara negara. Tentu saja, kedekatan ini “ditukar” dengan kesempatan yang didapatkan oleh NU, sehingga aktivitas organisasi yang sangat padat dengan jangkauan yang sangat luas bisa dibuat. Termasuk acara muktamar pemikiran besok yang didukung oleh Kementerian Agama, bukankah ini contoh yang nyata? Wajar dan masuk akal sebetulnya, karena pemerintah juga tidak bisa menjangkau semua urusan. Pemerintah butuh NU, Muhammadiyah, dan kelompok-kelompok yang selama ini bekerja di tengah-tengah masyarakat.
Masalahnya, bagaimana NU menanggung collateral damage dari kebijakan publik dan orientasi politik pribadi Jokowi yang problematik? Misalnya soal politik dinasti dan skandal etis di Mahkamah Konstitusi baru-baru ini, apakah NU akan ikut menanggapi atau diam saja mengikuti apa yang akan terjadi selanjutnya? Pertanyaan paling gawat adalah bagaimana jika yang terpilih nanti pada pemilihan presiden 2024 bukan pasangan yang didukung oleh Jokowi tetapi pasangan lainnya, apakah NU sudah menyiapkan semacam exit strategy?
Harus diakui Pemerintahan Jokowi telah mengapresasi NU lebih dari pemerintah-pemerintah sebelumnya, sepadan dengan dukungan yang telah didapatkannya. Hal yang paling simbolis adalah penetapan hari santri nasional pada 2015. Bagaimanapun kesantrian dan kepesantrenan telah identik dengan ke-NU-an. Sejak itu setiap tanggal 22 Oktober para santri berbaris di lapangan dan berpawai di jalanan merayakan identitasnya, sebuah politik rekognisi yang menggembirakan. Selain itu, berbagai fasilitas yang mengiringi terbitnya Undang-Undang No. 18/2019 tentang pesantren adalah peluang yang bisa dimasuki oleh kalangan pesantren meningkatnya kapasitas kelembagaannya dalam rangka menghadapi “the future society”.
Akan tetapi, posisi NU sebagai bagian dari masyarakat sipil yang seharusnya mempunyai jarak kritis tertentu dengan negara dipertaruhkan. Sekarang banyak sekali wacana yang dibincangkan di kalangan NU pada dasarnya adalah wacana negara, lebih tepatnya wacana penguasa negara. Misalnya soal politik identitas, apakah para sahabat NU tidak menyadari bahwa wacana itu merupakan bagian dari aksi strategi komunikasi politik Jokowi dalam mengamankan posisinya menghadapi lawan-lawan politiknya? Memang NU sendiri telah lama mempunyai keberatan dengan kalangan Islam politik, terutama apa yang mereka bayangkan sebagai “Wahabi”, tetapi wacana politik identitas yang dikembangkan terutama setelah aksi 212 memiliki komposisi narasi dan derajat kegawatan yang berbeda. Terutama dalam lima tahun terakhir, politik identitas dikemas bukan lagi sebagai wacana yang terbuka untuk diperdebatkan, melainkan berubah menjadi rumusan teknis ancaman keamanan.
Dalam hal ini, kiranya penting merefleksikan Gus Dur sebagai seorang kritikus sosial. Selama ini, narasi tentang peran Gus Dur sebagai tokoh utama gerakan masyarakat sipil di era akhir Orde Baru agak tersampingkan dibanding narasi tentang peran Gus Dur sebagai sekarang tokoh pembela pluralisme dalam pengertian yang terbatas. Gus Dur dikenang hanya sebagai seorang yang gigih dan tulis membela kalangan minoritas kultural, tetapi kritiknya terhadap politisasi identitas yang sektarian oleh Soeharto pada masa itu kurang terangkat lagi ke permukaan. Generasi yang berusia 40 tahun ke atas seperti saya masih mengalami masa itu, tetapi generasi yang lebih muda tampaknya terputus dari spirit kritisisme Gus Dur tersebut.
Keterputusan kita hari ini dengan spirit kritisisme Gus Dur tentu saja bukan karena Jokowi sebagai pribadi, melainkan karena hegemoni proyek anti-terorisme dan anti-radikalisme skala global yang membayangi jagat pemikiran kita setelah peristiwa 11 September 2001. Sejak itu pemikiran keagamaan, termasuk yang berkembang di kalangan NU, dibingkai oleh “conservative turn” yang membahayakan keberagaman kultural dan demokrasi. Seluruh energi intelektual diarahkan untuk menjawab problematik konservatisme itu di mana NU diposisikan sebagai “anti-virus”-nya. Di tingkat masyarakat, NU akhirnya sibuk mengadakan kegiatan seminar kebangsaan dan sejenisnya untuk menangkal apa yang dianggap bibit-bibit intoleransi. Tentu saja bukan berarti gejala intoleransi adalah rekaan, tetapi cara kita memahami itu sebagai masalah kultural yang berakar pada sekadar pemahaman terhadap teks keagamaan perlu ditinjau ulang.
Kembali ke agenda muktamar pemikiran NU 2023, saya melihat tantangan terbesarnya adalah menjawab pertanyaan sejauh mana NU bisa keluar dari bayang-bayang Jokowi. Penting ditekankan bahwa Jokowi di sini bukan hanya sebagai pribadi, tetapi lebih sebagai penanda cara berpikir tertentu yang hegemonik dalam jagat pemikiran setidaknya dalam satu dekade terakhir ini. Oleh karena itu, “the future society” yang dibayangkan oleh Lakpesdam PBNU tentunya bukan seperti yang dirumuskan oleh para ahli strategi manajemen perusahaan tentang “society 5.0” itu, melainkan refleksi kritis terhadap kondisi-kondisi struktural di masa depan di mana masyarakat sipil pesantren seharusnya memainkan peranan.