Artikel Marcus Mietzner dan Burhanuddin, “The Myth of Pluralism: Nahdlatul Ulama and the Politics of Religious Tolerance in Indonesia”, yang terbit dalam Contemporary Southeast Asia, Vol. 41, No. 1, 2020, cukup menghentak wacana mengenai NU. Berbeda dengan sejumlah kepustakaan yang menggadang-gadang NU sebagai promotor pluralisme, kedua penulis tersebut berpendapat sebaliknya. Menurut mereka, pada tingkat akar rumput NU sesungguhnya intoleran.
Harus diakui pendapat mereka didukung oleh hasil survey yang meyakinkan. Membedakan antara “pengikut” dan “anggota” di dalam NU, mereka memang mengakui bahwa intoleransi yang dimaksud lebih banyak ditemukan di kalangan yang pertama dibanding yang kedua. Ketika ditanya berbagai pertanyaan terkait pluralisme, seperti sikap terhadap orang Cina-Indonesia dan keberadaan rumah ibadah agama lain di lingkungan mereka, sebagian besar jawaban menunjukkan sikap yang tidak pluralis.
Berdasarkan data itu, kedua penulis menyimpulkan pluralisme NU adalah hanyalah mitos. Dalam kenyataannya ia hanya berkembang di sekitar elit NU—dan PKB. Di luar mereka, sikap pengikut NU secara umum terhadap pluralisme sama saja dengan kelompok-kelompok Muslim lainnya.
Tentu saja tulisan Mietzner dan Muhtadi harus dihargai. Mereka telah mengingatkan adanya jarak pemahaman mengenai pluralisme antara elit dan pengikut di tubuh NU yang teramat jauh. Ini adalah tantangan yang penting untuk dijawab baik oleh elit NU maupun siapapun yang peduli dengan pluralisme.
Akan tetapi, apa yang dimaksud pluralisme oleh kedua penulis tersebut tidak dijelaskan secara baik. Mereka mengandaikan begitu saja bahwa pluralisme adalah pemahaman yang harus diterima dan diperjuangkan. Pengandaian bahwa di balik pluralisme terdapat etik tertentu, yaitu liberalisme, tidak dipermasalahkan. Menurut hemat saya, kajian Jeremy Menchik dalam bukunya, Islam and Democracy di Indonesia: Tolerance Without Liberalism (2015), mengenai topik ini menyajikan kesimpulan yang lebih berimbang.
Implikasi dari pengandaian begitu saja apa itu pluralisme sangat luas. Secara implisit mereka membayangkan adanya pluralisme ideal yang itu tidak ada di kalangan NU. Seolah-olah figur Abdurrahman Wahid atau Gus Dur adalah pengecualian. Bahkan konsepsi “Islam Nusantara” yang dilahirkan pasca-Gus Dur dinilai Mietzner dan Muhtadi lebih dimotivasi oleh kepentingan ekonomi-politik dalam rangka persaingan sumberdaya dengan kelompok-kelompok “Islam kanan”.
Memang kedua penulis tersebut lebih menekankan faktor kepentingan daripada gagasan. Ini merupakan pandangan khas ilmuwan politik modern—terutama tradisi kaum behavioris—ketika mengamati dinamika masyarakat religius. Kata kunci yang sering muncul adalah kompatibilitas atau kecocokan. Mengikuti kepustakaan yang suka mencari-cari hubungan antara Islam dan demokrasi, Mietzner dan Muhtadi pada dasarnya menanyakan hal yang sama: apakah praktik sosial pengikut NU cocok atau tidak dengan pluralisme sebagaimana diidealisasikan dalam filsafat Barat liberal.
Pilihan untuk menggunakan data kuantitatif, yaitu hasil survey, adalah konsekuensi metodologis dari paradigma berpikir itu. Dalam artikel Mietzner dan Muhtadi, NU menjadi sehimpunan angka yang ditafsirkan sedemikian rupa. Pengalaman individu NU dalam memperjuangkan pluralisme akan dipandang sebagai kisah-kisah antropologis yang secara statistik kurang berarti. Akan tetapi, dalam hal ini mereka curang. Sementara melebih-lebihkan peranan mantan Rais Aam PBNU yang sekarang menjadi Wakil Presiden RI, KH Ma’ruf Amin, sebagai tokoh antagonis, keberanian KH Ahmad Ishomuddin yang juga salah satu Rais Syuriyah PBNU ketika membela Ahok di pengadilan dalam kasus penistaan agama tidak dilihat sama sekali. Dinamika internal yang sangat hidup seperti ini hilang dalam penafsiran.
Pada tataran praktis, kesimpulan kedua penulis lulusan Australian National University ini bisa mendemoralisasi perjuangan sejumlah figur NU yang selama ini bekerja sungguh-sungguh dalam menciptakan kondisi yang pluralistik. Cukup pasti mereka tidak terlalu butuh rekognisi dari para ahli, tetapi menyembunyikan kisah-kisah mereka dalam kesimpulan-kesimpulan kuantitatif berdampak pada hal yang serius: seakan-akan gagasan keagamaan adalah instrumental belaka. Menurut saya hal ini harus dihindari karena pluralisme, bahkan kalau menggunakan definisi liberal, justru memerlukan sokongan argumen yang ditimba dari agama seperti dilakukan oleh Gus Dur dan para penerusnya yang belakangan mempopulerkan konsepsi Islam Nusantara.
Oleh karena itu, alih-alih menyepakati bahwa pluralisme di dalam NU hanyalah mitos, saya lebih melihat Mietzner dan Muhtadi justru memitoskan makna pluralisme itu sendiri. Jika NU saja dianggap tidak pluralis, lalu siapa yang berhak menyandang predikat itu?
Tidak ada jawaban dan memang tidak akan pernah ada jawaban, sebab pluralisme seperti itu hanya ada dalam pikiran yang dimitoskan. Demikian.
Oleh penulis, dalam penelitian tsb tdk secara rigid menjelaskan siapa itu “pengikut NU” yg mereka maksudkan. Kalo anggota jelas, mereka yg sdh bergabung dan menyatakan dirinya NU. Wajarlah yg sdh anggota, habya sedikit yg bersikap intoleran, tetapi harus ditelusuri lebih lanjut, apa sebab mrk betsikap demikian. Jadi ini hasil penelitian ‘sampah’ koq dibangga-banggakan dan dimuat di journal ini. Saya curiga dan patut diduga ekspose atau pemuatan hasil penelitian ini punya tendensi terselubung. Ayo buka data responden siapa mereka yg disebut ‘pengikut’ yg dijadikan sampel penelitian ini.