Amin Mudzakkir
Penulis Kolom

Amin Mudzakkir, peneliti di Pusat Riset Kewilayahan BRIN dan dosen di Sekolah Kajian Stratejik dan Global UI Jakarta & Program Pascasarjana Fakultas Islam Nusatara Unusia Jakarta. Menyelesaikan S3 di STF Driyarkara (2021).

Bahaya Kadrunisasi

Img 20200629 Wa0012

“Kadrun” atau kadal gurun adalah istilah di media sosial yang awalnya merujuk pada orang-orang yang beragama secara berlebihan-lebihan. Mereka dianggap lebih kearab-araban, lebih tepatnya mempraktikkan agama—khususnya Islam—secara kaku seperti di gurun pasir.

Tentu saja istilah ini belum bisa dibuktikan kebenarannya, sebab benarkah orang-orang gurun pasir beragama secara lebih kaku daripada orang-orang di luar gurun pasir—di perkotaan—misalnya?

Yang pasti terutama sejak tahun-tahun terkahir menjelang pemilihan presiden 2019, istilah ini mengemuka. Ia merupakan transformasi dari istilah “kampret” yang digunakan tahun-tahun sebelumnya. Kampret atau kelelawar adalah makhluk yang suka melihat dunia secara terbalik. Demikian pula dengan penggunaan istlah itu di dunia politik, yaitu mereka yang dituduh suka memutarbalikkan kenyataan. Ini terkait dengan ramainya berita hoaks dan riuhnya ujaran kebencian. Dalam perkembangannya, istilah kampret menghilang dari peredaran, lalu diganti kadrun.

Konteksnya tentu saja adalah politik. Para pendukung Joko Widodo menyebut para pendukung Prabowo Subianto sebagai kadrun, karena sejumlah mereka dinilai terlalu berlebih-lebihan dalam beragama. Sebaliknya, mengherankan, istilah “cebong” yang dilekatkan kepada para pendukung Joko Widodo lama-lama menghilang. Apalagi setelah terpilih kembali menjadi sebagai Presiden Republik Indonesia yang kedua kali, cebong nyaris tidak muncul lagi—hanya sesekali dalam intensi yang tidak menggigit lagi.

Baca juga:  Menakar Ujian Hidup Manusia

Namun setelah itu, pengertian kadrun meluas. Tidak hanya merujuk pada para pendukung Prabowo, tetapi kepada siapapun yang anti-Joko Widodo. Siapapun di sini benar-benar hantam kromo. Pengamat sosial politik yang kritis terhadap kebijakan pemerintahan Joko Widodo pun dicap kadrun, meskipun misalnya dia bukan seorang yang relegius.

Proses hantam kromo inilah yang disebut sebagai “kadrunisasi”. Menurut hemat saya, sekarang proses tersebut sudah berjalan lebih dari sekadar ejek-ejekan di media sosial, tetapi juga telah menjadi alat normalisasi politik kekuasaan. Kadrun telah menjadi stigma yang tidak hanya merendahkan, tetapi juga bahkan bisa mengeluarkan seseorang dari politik.

Bagian paling buruk dari kadrunisasi ini adalah para protagonisnya, yaitu para influencer yang entah mengapa belakangan semakin mendapatkan kedudukan yang terhormat dalam politik. Pemerintah ikut meninggikan martabat mereka menjadi sejajar dengan tokoh agama dan masyarakat lainnya. Dalam berbagai kegiatan, termasuk sosialisasi kebijakan anti-ekstremisme kekerasan yang baru saja diterbitkan, mereka selalu diikutsertakan di jajaran paling depan.

Masalahnya para influencer ini seringkali datang dari ketiaadaan. Sejumlah nama yang paling terkenal tiba-tiba mengemuka di ruang publik virtual tanpa rekam jejak yang jelas. Pokoknya cuitan atau postingan mereka berpengaruh, dibuktikan dengan pengikut ribuan hingga jutaan, maka seseorang bisa dianggap influencer. Sejauh mana kualitas, bahkan kebenaran, cuitan atau postingan influencer itu tidak lagi dijadikan bahan pertimbangan. Pada titik ini, orientasi untuk melawan berita hoaks dan ujaran kebencian yang dulu merupakan kepedulian utama para influencer sekarang tampaknya sudah berubah haluan. Ini menghawatirkan.

Baca juga:  Pemetik Puisi (4): Acep Zamzam Noor dan Puisi Daun Pisang

Akan tetapi, bahaya kadrunisasi tidak hanya berawal dari kengawuran para influencer. Itu hanya cerminan dari konstelasi politik kekuasan yang lebih dalam. Sejak Prabowo Subianto bergabung ke dalam pemerintahan Joko Widodo, secara praktis oposisi yang efektif dalam kubu partai politik tidak ada lagi. Demikian pula di lapangan masyarakat sipil. Sejak Yaqut Cholil Qaumas ditunjuk menjadi menteri agama menggantikan Fachrul Rozi, hubungan NU dan pemerintah terlihat lebih mesra daripada sebelumnya. Saya kurang tahu apakah setelah ini kritik NU terhadap Omnibus Law, misalnya, tetap disampaikan atau berjalan di tempat.

Dalam konteks isu moderasi beragama, kadrunisasi sangat berbahaya. Tidak hanya bertentangan dengan semangat moderasi, kadrunisasi justru melanggengkan polarisasi tanpa dasar di tengah umat. Kasus Abu Janda yang sedang ramai memperlihatkan itu. Alih-alih menyuarakan semangat toleransi, yang terjadi adalah keriuhan yang tidak perlu. Perkaranya bukan apakah Abu Janda itu NU atau tidak, Banser atau bukan, tetapi narasi yang sering dikemukakannya melenceng bahkan dari program moderasi beragama yang telah digariskan sendiri oleh pemerintah.

Oleh para influencer, konsep-konsep yang pelik seperti konservatisme, radikalisme, dan terorisme sering dicampuradukkan begitu saja. Pokoknya semuanya adalah kadrun. Seolah-olah kepala sekolah yang memberlakukan peraturan pemakaian jilbab di Padang sama dengan mereka yang ikut aksi 212 beberapa tahu lalu. Tidak hanya itu, mereka pun dianggap sama dengan anggota jaringan teroris internasional. Meski tidak sekontras ilustrasi ini, kesan yang muncul dari cuitan dan postingan mereka di media sosial menggiring opini publik untuk hantam kromo.

Baca juga:  Mengenal Islam Lewat Jalur Sastra

Pemerintahan Joko Widodo mesti memperhatikan bahaya kadrunisasi ini secara serius. Stigma kadrun yang kerap dilontarkan kepada siapapun yang berbeda pandangan dengan pemerintah bertentangan dengan komitmen presiden yang mau melakukan rekonsiliasi dan menghindari polarisasi masyarakat Indonesia. Bukankah itulah komitmen Joko Widodo ketika merangkul Prabawo Subianto untuk bergabung ke dalam pemerintahannya? Kalau komitmen itu masih ada, maka kadrunisasi harus dihentikan sekarang juga.

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
2
Senang
0
Terhibur
1
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top