Ketika sebagian kelompok Muslim menggunakan tauhid sebagai justifikasi atau pembenaran atas tindakan-tindakan represif dan diskriminatif terhadap perempuan, Ibu Nyai Nur Rofiah -founder dan pengasuh Ngaji Lingkar KGI (Keadilan Gender Islam)- justru selalu menekankan bahwa tauhid adalah dasar paling utama untuk menegakkan keadilan hakiki terhadap perempuan dan nilai-nilai kemanusiaan.
Semangat keadilan hakiki selalu Ibu Nyai Nur, sapaan akrab beliau, tebarkan dan sampaikan dalam setiap forum pengajian yang beliau inisiasi, maupun dalam diskusi-diskusi lain yang beliau isi. Gaya bicara dan intonasi beliau khas mubalighah, orator, selalu meyakinkan dan penuh ketegasan, di samping juga lembut dan membumi di saat yang bersamaan.
Tak heran jika Ibu Nyai Nur mampu memikat hati begitu banyak orang dari berbagai latar belakang. Dimulai sejak pertengahan 2019, ngaji KGI pada mulanya hadir secara tatap muka, serupa ngaji bandongan di mana santri berbondong-bondong mengaji kepada Ibu Nyai atau Kiai. Bedanya, Ibu Nyai Nur selalu membuka ruang dialog dengan santri atau audiens, Ibu Nyai Nur pun tak lelah bertandang ke kota-kota yang berbeda untuk menyapa santri KGI beliau yang ada di berbagai titik di Indonesia.
Lantaran pandemi, ngaji KGI beralih ke online. Bagaikan blessing in disguise, berkah di tengah musibah, ngaji KGI justru menjangkau kian banyak orang yang haus menimba sumur-sumur keilmuan Ibu Nyai Nur yang isiqomah menghadirkan kajian-kajian keislaman yang ramah perempuan. Kajian yang sesungguhnya semakin dibutuhkan oleh Islam hari ini.
Hampir di penghujung Agustus ini, ngaji lingkar KGI berhasil menjangkau seribu orang yang setia mendengar dan menyimak serta berdialog langsung dengan Ibu Nyai Nur. Bukan semata kontennya yang memikat banyak orang, namun juga metode yang Ibu Nyai Nur gunakan dalam menciptakan ruang pengajian yang dialektik. Perempuan-perempuan diberikan ruang untuk membagikan kisah dan pengalaman mereka, solidaritas dibangun secara aktif dan emosional, sehingga tafsir-tafsir yang Ibu Nyai Nur hadirkan berangkat dari realitas ketubuhan perempuan yang masih saja kerap diopresi dengan dalih agama dan Tuhan.
Ibu Nyai Nur bukan satu-satunya perempuan ulama yang hari-hari ini turut memperkaya kajian keislaman kita yang konsisten menolak segala bentuk penindasan dan patriarki. Di Ciwaringin Cirebon, ada Ibu Nyai Masriyah Amva yang memimpin pesantren dengan ribuan santri yang kini belajar ngaji di dalamnya.
Nama Ibu Nyai Masriyah Amva sesungguhnya tidak asing bagi kaum sarungan di Indonesia atau mereka yang belajar Islam ala Nusantara. Kisah Ibu Nyai Masriyah sudah banyak diliput media lokal, nasional hingga internasional. Keberanian beliau dalam mendaulat diri sebagai pengasuh pesantren, sepeninggal suami beliau, adalah sesuatu yang sungguh baru dan dianggap tidak lazim bagi dunia pesantren.
“Jika lelaki bisa memimpin pesantren, lalu kenapa saya tidak bisa? Saya berdoa kepada Allah, ‘Ya Allah, Engkau adalah sumber kekuatan, lalu kenapa hamba harus meminta kepada orang lain yang tidak memilikinya? Berikan kekuatan pada hamba, hamba pasti bisa menjalaninya’”
Demikian tutur Ibu Nyai Masriyah kepada Carla Power, wartawan majalah Time, pada tahun 2009. Kepada Carla, Ibu Nyai Masriyah bercerita tentang kegelisahannya ketika mendiang suaminya meninggal dan para santri memilih pulang. Ibu Nyai Masriyah tegas memutuskan, beliau yang harus memimpin pesantren Kebon Jambu Al-Islamiy yang dulu didirikannya bersama dengan suami. Obrolan bersama Time tersebut kemudian lahir dalam bentuk liputan berjudul Indonesia’s Islamic Schools: More Female Friendly http://ti.me/PFqn6B
Kepemimpinan Ibu Nyai Masriyah memperlihatkan kemajuan yang demikian pesat, ribuan santri kini menghuni dan belajar ngaji, bangunan-bangunan baru nan bersih terus dikembangkan. Kurikulum dan metode pengajaran diberlakukan dengan sudut pandang kemanusiaan dan kesetaraan. Pintu pesantren selalu terbuka untuk berbagai kalangan, dari berbagai identitas, agama dan keyakinan. Bahkan ketika para transpuan dari Pesantren Al-Fatah Yogyakarta bertandang, beliau menyambut dengan tangan terbuka penuh kehangatan. Tak ada penolakan, penghakiman atau caci maki, yang ada hanyalah welas asih sang Ibu Nyai yang demikian membumi.
Ibu Nyai Nur dan Ibu Nyai Masriyah telah membuktikan secara sungguh bahwa perempuan bukan makhluk lemah yang tak berdaya dan tak berhak atas berbagai potensi dirinya, termasuk potensi kepemimpinan dalam pendidikan dan otoritas agama. Ribuan santri belajar ilmu agama kepada beliau berdua, menggali samudera hikmah dan keilmuan yang diniatkan untuk mendekat kepada agama, Tuhan dan kemanusiaan. Dari beliau berdua sesungguhnya kita bisa belajar ngaji ke dalam diri dan iman kita sendiri: jika kita benar meyakini bahwa Tuhan Maha Cinta, mengapa kita masih sibuk meragukan dan merendahkan sesama?