Miris dan sedih melihat sikap masyarakat yang menolak jenazah korban Covid-19 dimakamkan di wilayahnya. Begitu parahnya keretakan sosial terjadi di masyarakat sehingga menabrak norma-norma dan etika sosial serta ajaran agama.
Sebagaimana dijelaskan dalam beberapa teks ajaran Islam bahwa kewajiban umat Islam terhadap jenazah muslim adalah mengubur, selain memandikan, menshalati dan mengkafani. Namun rasa ketakutan yang berlebihan, membuat semua itu ditabrak begitu saja.
Menghadapi penyebaran wabah Covid-19 masyarakat seolah terbelah dan terjebak pada sikap ambigu. Di satu sisi muncul masyarakat yang sangat phobia terhadap Covid-19 sehingga sampai hati menolak mayat sesamanya. Di sisi lain ada masyarakat yang meyakini bahwa virus Covid-19 adalah makhluk Allah yang tidak perlu ditakuti, manusia hanya boleh takut pada Allah. Kelompok ini menentang himbauan dan protokol kesehatan yang ditentukan pemerintah dan menyerahkan semua pada Allah.
Tapi anehnya, kelompok yang sering menggaungkan seruan jangan takut virus Covid-19, takutlah hanya pada Allah itu terdiam dan tidak memberikan seruan apapun terhadap sikap masyarakat menolak jenazah yang sudah jelas-jelas melanggar ajaran agama. Mereka tidak membuat pernyataan garang atas nama agama sebagaimana mereka teriak lantang menentang seruan pemerintah agar tidak berkerumun yang sebenarnya tidak melanggar ajaran agama.
Apa yang terjadi mencerminkan adanya sikap ambigu di kalangan kelompok islamis. Mereka peka dan responsif terhadap hal-hal yang bersifat simbolik formal seperti beribadah di masjid. Mereka merasa seolah masjid akan ditinggalkan umat selamanya hanya karena ditutup sementara demi menghindari wabah Covid-19. Mereka berpikir seolah ibadah umat berhenti dan syiar Islam hilang hanya karena dilarang beribadah secara berkerumun. Sehingga mereka melawan dan mengabaikan seruan tersebut dengan berbagai dalih agama.
Sebaliknya mereka menutup mata terhadap ajaran agama yang substansial dan manusiawi. Alih-alih memberikan solusi atau penjelasan yang sesuai dengan tuntunan Islam mereka sama sekali tidak menegur, apalagi bersikap garang kepada masyarakat yang berlaku tidak manusiawi dan jelas-jelas melanggar syariat itu.
Melihat kenyataan ini saya jadi teringat pernyataan Gus Dur yang mengusulkan agar mayat korban tsunami di Aceh dibakar jika tidak bisa dikuburkan secara cepat. Atas usulan ini Gus Dur mendapat kecaman karena dianggap menyalahi ajaran Islam. Tapi Gus Dur berargumen bahwa justru itulah cara mengamalkan ajaran Islam, demi menghindari ancaman wabah yang membahayakan bagi yang hidup.
Menurut Gus Dur, Islam mengajarkan menjaga orang yang masih hidup jauh lebih penting daripada mempertahankan yang sudah mati, karena hukum itu untuk yang hidup bukan yang mati. Dalam konteks ini Gus Dur menggunakan kaidah “dar’ul mafaasid muqaddam ala jalbil mashalih” (mencegah kerusakan harus didahulukan daripada mencari kebaikan) dan prinsip “la dhirara wala dhirar” (tidak boleh melakukan tindakan bahaya dan yang bisa menimbulkan bahaya) juga kaidah “addaruratu tubiihul mahdlurat” (keadaan darurat bisa menggugurkan hukum normal).
Beginilah mestinya sikap seorang ulama dalam menghadapi problem sosial yang dihadapi masyarakat. Memberikan jalan keluar yang kongkrit dan bisa diterapkan dengan perspektif agama. Karena agama bukan semata-mata legitimasi dan simbol untuk gerakan politik memperjuangkan kepentingan kelompok, tapi untuk kemaslahatan bersama.
Untuk menghindari terjadinya penolakan jenazah yang terpapar Covid-19, mestinya pemerintah via ahli kesehatan memberikan informasi secara jelas kepada masyarakat agar mereka benar-benar faham bahwa tempat penguburan jenazah terpapar Covid-19 tidak membahayakan karena dilakukan dengan standar medis dan protokol kesehatan yang ketat. Dengan demikian tidak akan terjadi kesalahpahaman yang membuat masyarakat takut sehingga bersikap menolak jenazah yang akan dikubur.
Setelah itu para ulama dan ahli agama meyakinkan masyarakat dengan mengedepankan argumen-argumen yang sesuai dengan ajaran Islam sebagaimana yang dilakukan Gus Dur saat menghadapi kondisi darurat korban tsunami.
Sikap diam para tokoh agama terhadap kasus ini, terutama mereka yang suka teriak-teriak menggunakan dalil dan simbol agama, tidak saja mencerminkan sikap ambigu, tetapi juga bisa menumbuhkan kecurigaan bahwa sikap keberagamaan mereka itu hanya untuk kepentingan politis utopis.**