
Ada kata di dalam bahasa Jawa yang tak mudah diterjemahkan, namun tak begitu saja ditinggalkan oleh banyak orang—kualat. Kata ini boleh disejajarkan dengan tulah, azab, atau karma—yang secara substansi merupakan balasan dari Tuhan atas perbuatan buruk yang telah dilakukan manusia. Pada mulanya, istilah kualat terlahir dari rasa hormat masyarakat terhadap sesuatu yang kasatmata dan tak kasatmata—imanen dan transenden.
Kualat merupakan warisan tutur yang sarat makna—semacam kode budaya yang menyisipkan pesan moral dengan cara yang lembut namun mengena. Ia adalah bentuk pendidikan paling halus yang telah diwariskan leluhur kita.
Penggunaan istilah ini identik dengan pelanggaran norma dan etika yang berlaku di tengah masyarakat. Misalkan, anak yang berlaku kurang ajar terhadap orang tua. Maka jika suatu saat tertimpa musibah, ia akan distempel dengan narasi, “kualat karo wong tuwo” (kualat terhadap orang tua).
Misalkan lagi, seorang anak duduk di atas bantal. Lantas ibunya akan berkata—separuh bercanda separuh serius, “ojo lungguh neng bantal, kualat, marahi udunen.” (Jangan duduk di atas bantal, kualat, nanti kamu terkena bisul). Ini bukan bentuk ancaman biologis, petuah medis, ataupun kebohongan yang disengaja. Bukan pula perkara bahwa sebuah bantal mengandung sesuatu yang mencelakakan jika benar-benar duduki. Bukan. Ini tentang pelajaran etika yang dibungkus dengan kepercayaan lokal. Tentang bagaimana menempatkan sesuatu pada tempatnya. Si ibu hendak mengatakan bahwa duduk di atas bantal adalah hal yang melanggar norma—tidak etis. Terlalu panjang jika harus menerangkan sedemikian rupa kepada si Anak tentang urusan etika. Lebih cepat bila diberi istilah kualat. Dan justru karena dibalut dengan rasa takut pada yang gaib, nasihat itu bertahan dari generasi ke generasi. Kalaupun di kemudian hari si anak benar-benar terkena bisul—itu sudah suratan takdir. Semacam Sabda Pandita Ratu.
Ada juga larangan menebang pohon beringin atau kencing di bawahnya di sebuah desa—semacam pamali. Jika melanggar berakibat sakit-sakitan atau paling ringan kesurupan. Konon katanya akan, “kualat karo danyangan” (kualat terhadap arwah penunggu pohon). Sekali lagi ini bukan karena pohon itu dihuni oleh arwah atau jin, meski makhluk astral itu benar-benar ada. Bukan. Ini adalah massage tentang ekologi. Bagaimana manusia harus menjaga ekosistem—menjaga harmoni alam. Kalimat kualat dengan serta merta mengubah pohon menjadi dihormati. Ia menyentuh dimensi yang lebih dalam— tentang batas, penghormatan, dan ketundukan terhadap kekuatan yang lebih besar dari diri sendiri. Hutan tidak terjadi deforestasi. Alam lestari. Tubuh pun urung untuk bertindak sembarangan.
Dari sini muncul sebuah pertanyaan, Apakah pihak yang dilarang tersebut memang tahu bahwa, ‘udunen’ atau ‘danyang’ itu benar-benar sesuatu yang rill?
Dalam kajian filsafat, pertanyaan semacam itu mengarah pada ontologi. Seperti pertanyaan, apakah sesuatu itu benar-benar ada (being)? Ataukah bagian dari realitas lain? Tapi dalam tradisi—yang mungkin sedang punah—pertanyaan semacam itu tak begitu penting. Karena yang urgen adalah efek dari pengucapan. Yang lebih pokok adalah tertanamnya etika dalam di balik adanya larangan yang diselimuti mitos.
Dalam kualat, kita tidak berbicara tentang sebab-akibat yang linier. Ia bukan matematika moral. Bulan kalkulasi religius, melainkan bentuk dari rasa takut. Bukan rasa takut yang pasif, melainkan rasa takut yang menghasilkan tata kelola. Semacam sacred fear—rasa takut yang tak menghina, tapi mengangkat manusia dari makhluk yang sekadar rakus menjadi makhluk yang tahu tempat. Banyak yang kini merasa bahwa segala hal harus rasional, masuk akal, atau ilmiah. Lantas menyebut kualat sebagai takhayul—peninggalan masa lalu yang harus ditinggalkan. Tapi, benarkah begitu?
Bisa kita dicoba, misalkan di sebuah gang sempit yang acapkali dilewati orang. Di gang tersebut sering dikencingi oleh oknum yang tak bertanggung jawab sehingga menimbulkan bau yang mengganggu. Lantas kita ingin menghentikan kebiasaan buruk tersebut dengan menulis di salah satu dinding gang, “dilarang kencing kecuali anjing” atau “ketahuan kencing denda 100 ribu”. Dijamin tak akan digubris. Lalu coba gantilah metode—belilah bunga tabur yang biasa dibuat nyekar ke makam, taburlah di bagian yang dikencingi. Jika perlu bakar dupa atau kemenyan di situ. Dijamin sukses. Karena jika mereka kembali kencing, takut kualat.
Kita sekarang hidup di zaman yang ingin menjelaskan segalanya. Tapi kadang-kadang justru kehilangan sesuatu yang tak terjelaskan. Bahasa kualat mengingatkan kita bahwa tak semua hal bisa dan perlu untuk dijelaskan. Bahwa misteri adalah bagian kecil dari kebijaksanaan.
Dan pada gilirannya, istilah kualat bukan sekadar warisan bahasa, ia adalah metode. Melalui penggunaan istilah ‘kualat’ para leluhur mengajarkan bahwa tidak semua hal boleh dilanggar. Manusia tidak hanya butuh pengetahuan, tetapi juga pengingat. Karena dunia memang tak seluruhnya milik kita—hidup bukan hanya tentang bebas, tapi juga tentang tahu diri. Wallahu a’lam.