Sedang Membaca
Resensi Buku: Mengenal Tokoh Legendaris Ki Ageng Selo, Sang Penangkap Petir
Al-Mahfud
Penulis Kolom

Penulis, dari Pati Jateng. Menulis artikel, esai, dan ulasan buku di berbagai media massa.

Resensi Buku: Mengenal Tokoh Legendaris Ki Ageng Selo, Sang Penangkap Petir

Buku Kiai Ageng Selo Hanum Publisher

Ada begitu banyak kisah dan legenda di berbagai daerah di Nusantara. Di antara berbagai kisah tersebut, sebagian terus hidup dan memberikan pengaruh di masyarakat hingga sekarang. Kita bisa melacak kisah-kisah legenda baik lewat literatur pustaka, tradisi lisan di masyarakat, ritual tradisi dan budaya, hingga mendatangi tempat-tempat bersejarah yang masih bisa dijumpai secara langsung.

Di Desa Selo, sekitar 12 km dari kota Purwodadi Jawa Tengah, ada sebuah makam seorang tokoh legendaris yang berpengaruh di masyarakat, yakni makam Ki Ageng Selo. Di beberapa daerah di Jawa Tengah, Ki Ageng Selo dikenal sebagai tokoh dengan kesaktian luar biasa, yakni mampu menangkap atau menakhlukkan petir.

Buku ini menyuguhkan kisah Sang Penakluk Petir tersebut, mulai dari riwayat hidup beliau, silsilah keturunan, hingga berbagai kisah tentang beliau yang menyimpan banyak pelajaran serta berhubungan dengan berbagai tokoh besar, hingga tempat-tempat dan benda bersejarah.

Dijelaskan, Ki Ageng Selo merupakan seorang keturunan kerajaan Majapahit. Kakeknya adalah Raden Bondan Kejawen, putra raja Majapahit terakhir dalam tahta kerajaan yang bernama Brawijaya. Dalam Historia.id, dijelaskan Bondan Kejawen ini merupakan anak dari perkawinan Prabu Brawijaya dan istrinya yang paling muda yang berasal dari Wandan atau Bandan (Pulau Banda Neira).

Ki Ageng Selo hidup di masa Kerajaan Demak, tepatnya pada masa kekuasaan Sultan Trenggana, awal abad ke-16. Di waktu muda, Ki Ageng Selo dikenal dengan nama Bagus Songgom. Ia seorang petani yang disiplin membagi waktu. Meski rajin bekerja, shalat lima waktu tetap ditegakkan. Sampai-sampai, nama sawah yang beliau garap dikaitkan dengan ibadahnya, yaitu sawah “Subanlah”. Ketika menggarap sawah, beliau selalu berdzikir membaca tasbih “Subhanallah”, sehingga masyarakat sekitar menyebut sawahnya sebagai sawah “Subanlah” (hlm 11).

Baca juga:  Menyingkap Keberadaan Hantu “Islamisme” Ikhwanul Muslimin

Menaklukkan petir

Kisah yang begitu lekat dengan sosok Bagus Songgom atau Ki Ageng Selo adalah kisah awal mula beliau menaklukkan petir. Dikisahkan, suatu hari Bagus Songgom sedang mencangkul di sawahnya. Saat itu, langit mendung dan gerimis turun. Tiba-tiba, datang seorang kakek menuju ke arahnya dengan diiringi kilat menyambar-nyambar dan gemuruh halilintar dahsyat.

Kakek tua tersebut berubah menjadi naga, dan berubah wujud berkali-kali menjadi makhluk mengerikan. Sebagian sumber menyebut makhluk tersebut adalah petir berwujud naga. Merasa terganggu, Bagus Songgom marah dan terjadi perkelahian antara keduanya diiringi petir yang menggelegar. Singkat cerita, Ki Ageng Selo berhasil mengalahkan makhluk tersebut dan mengikatnya di sebuah pohon Gandri di depan rumahnya.

Mendengar berita tertangkapnya petir oleh Ki Ageng Selo, datanglah Sunan Kalijaga menemuinya dan memerintahkan untuk dihaturkan ke Sultan Bintoro di Demak. Ki Ageng Selo pun membawa kakek yang terus berubah-ubah wujud tersebut ke Demak. Di kesultanan Demak, datanglah seorang nenek yang menyiramkan air ke tubuh kakek tersebut. Lalu, suara petir menggelegar dan kakek nenek tersebut menghilang (hlm 15).

Kisah tersebutlah yang membuat Ki Ageng Selo dikenal luas sebagai penakhluk petir. Kisah Ki Ageng Selo menaklukkan petir diabadikan dalam ukiran pada Lawang Bledheg atau pintu Masjid Agung Demak. Sampai sekarang, pintu tersebut masih bisa kita lihat. Ukiran pada daun pintu tersebut memperhatikan motif tumbuh-tumbuhan, suluran, jambangan, mahkota mirip stupa, tumpal, camara,dan dua kepala naga yang menyemburkan api .

Baca juga:  Sabilus Salikin (13): Kalbu Rasul sebagai Tempat Wasilah

Kehebatan dan keberanian Ki Ageng Selo dalam mengalahkan petir membuat beliau terkenal dan disegani. Tak hanya dalam hal ilmu kanuragan, namun juga ilmu-ilmu agama. Semua ilmu-ilmu tersebut ia peroleh dari ayah, guru-gurunya, juga dari Sunan Kalijaga. Beliau ajarkan ilmu-ilmu tersebut kepada seluruh keluarga dan muridnya. Di antara beberapa ajaran mendasar yang beliau turunkan kepada murid dan keturunan beliau adalah: 8 jam untuk bekerja, 8 jam untuk istirahat, dan 8 jam untuk bermunajat kepada Allah Swt (hlm 16).

Kebersamaan dan kedermawanan

Selain kesaktian dan ketaatan dalam beribadah, buku ini juga memaparkan berbagai kisah menarik yang menggambarkan karakter positif yang bisa kita pelajari dari sosok Ki Ageng Selo. Di antara kebiasaan tersebut adalah membangun suasana guyub atau kebersamaan di tengah masyarakat, kesederhanaan, serta tidak mementingkan kepentingan sendiri.

Di padepokannya, ada kebiasaan belajar dengan cara makan bersama (kenduri), dengan sang guru duduk di tengah untuk berdoa. Selesai berdoa, semua makan bersama dengan anjuran makan secukupnya (tidak kekenyangan) kemudian baru dilanjutkan dengan belajar, baik ilmu kanuragan, ilmu kejawen, maupun ilmu agama.

Ketika bertani, Ki Ageng Selo juga berusaha membangun kebersamaan dengan melibatkan banya orang. Ki Ageng Selo  adalah seorang petani yang memiliki lahan sawah luas. Setelah panen, beliau mengadakan syukuran dan mengumpulkan para murid, keluarga, dan warga desa untuk makan bersama. Bahkan, orang-orang juga boleh membawa hasil panen tersebut namun tidak boleh diperjualbelikan.

Baca juga:  Progresivisme Santri Kota dari Tahun 1990an hingga Sekarang: Sebuah Wawancara dengan Mochamad Sodik (1)

Selain tentang kebersamaan, ini juga menggambarkan betapa dermawan sifat Ki Ageng Selo kepada sesama manusia, serta betapa tinggi rasa syukur beliau kepada Sang Pencipta. Dijelaskan di buku ini, semua yang ditunjukkan Ki Ageng Selo tersebut mencerminkan penerapan ajaran beliau untuk tidak mendahulukan kepentingan pribadi, apalagi nafsu keduniawian. Ki Ageng Selo lebih menitikberatkan pada kesakten jati dan keprawiran jati, yaitu agar murid-muridnya bisa menjadi linuwih, pinunjul bijaksana, berjiwa lapang dada dan berbudi luhur (bowo leksono), (hlm 18).

Selain menyuguhkan kisah legendaris, apa yang menarik dari buku ini adalah kisah tersebut disuguhkan dalam enam bahasa, yakni bahasa Indonesia, bahasa Jawa, bahasa Inggris, bahasa Jepang, bahasa Arab, dan bahasa Mandarin. Dalam pengantarnya, dijelaskan bahwa kisah dikemas dalam enam bahasa agar cerita rakyat lokal ini dapat dibaca tak sekadar pembaca lokal namun juga para pembaca dari kalangan orang asing, sehingga bisa dikenal tak hanya di Indonesia, namun juga di seluruh dunia.

Judul               : Kiai Ageng Selo Sang Penakluk Petir
Penulis             : Abdul Rakhim, dkk.
Penerbit           : Hanum Publisher
Tahun              : 2019
Tebal               : 320 halaman
ISBN               : 978-623-90396-7-7

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
2
Terhibur
2
Terinspirasi
3
Terkejut
0
Scroll To Top