Kiai dalam masyarakat Jawa-Islam merupakan tokoh keagamaan kharismatik yang bisa dibandingkan dengan istilah ajengan di masyarakat Sunda dan syeh di masyarakat Minangkabau. Dalam bahasa Jawa, istilah Kiai dipakai untuk tiga jenis gelar berbeda. Pertama, gelar kehormatan bagi barang-barang yang dianggap keramat, misalnya seperti Kiai Garuda Kencana yang dipakai untuk sebutan kereta emas keraton Yogyakarta.
Kedua, gelar kehormatan untuk orang-orang sepuh pada umumnya. Ketiga, gelar yang dianugerahkan masyarakat pada seorang ahli agama Islam yang memiliki pesantren atau menjadi pimpinan pesantren. Menurut Habib Quraish Shihab, seorang kiai mempunyai beberapa tugas utama yang harus dijalankan sesuai dengan tugas ke-Nabian dalam mengembangkan kitab suci. Tugas-tugas tersebut antara lain; menyampaikan ajaran sesuai perintah Allah SWT, menjelaskan ajaran agama sesuai al-Qur’an, memutuskan perkara yang sedang dihadapi oleh masyarakat, dan yang terakhir memberikan contoh pengalaman.
Secara sosiologis, sebenarnya penghargaan terhadap seorang kiai merupakan pengakuan alamiah masyarakat. Pengakuan itu didasari sebuah proses yang cukup panjang, setidaknya bisa dilihat dari jasa dan pengabdian seorang kiai yang nyata dan faktual dalam kehidupan masyarakat. Selain itu, ada beberapa faktor yang menyebabkan munculnya pengakuan masyarakat terhadap seorang kiai; Pertama, silsilah intelektual keluarga (geneatica intellectual), kedua, faktor kedalaman ilmu (deep knowledge), ketiga, ketinggian moral (high morality), keempat, faktor karomah dari Allah SWT yang bisa berupa ilmu ladunni (spiritual power).
Kiai dan Transmisi Pendidikan Tabib
Pada umumnya, upaya pelestarian ajaran dan praktik penyembuhan Islam tidak jauh berbeda dengan cara pendidikan yang dilakukan seorang Kiai dalam tradisi pendidikan pesantren. Upaya-upaya itu dilakukan dengan beberapa cara; pertama, memberikan pengajaran kitab kuning kepada santri baik dengan cara sorogan maupun bandongan. Kedua, transmisi yang paling jamak dilakukan dilakukan kiai adalah mewariskan secara langsung ilmu tabibnya kepada anak dan keturunannya. Ketiga, transmisi ilmu dengan cara memberikan langsung kepada seseorang. Keempat, ilmu tabib diwariskan jika diminta atau dituntut dengan maksud untuk diamalkan.
Sumber pengetahuan kiai tabib dibentuk oleh tradisi literasi (kajian kitab kuning) dengan otoritas teks yang diadopsi dari al-Qur’an dan Hadits serta kitab kuning yang ditulis oleh para ulama’ klasik ber bahasa Arab dalam berbagai disiplin ilmu termasuk bidang penyembuhan. Teks kitab kuning secara independen diposisikan sebagai sumber utama dalam mencari formula dan resep penyembuhan di saat kiai tabib melakukan praktik penyembuhan. Isi daripada kitab tersebut yang selanjutnya ditafsirkan dan dipraktikkan oleh kiai tabib sesuai dengan kebutuhan pasien.
Terdapat beberapa perbedaan pendekatan kiai dalam menafsirkan dan mempraktikkan isi kitab penyembuhan. Perbedaan pendekatan tersebut antara lain: pertama, bersifat tekstual-formalis sebagaimana isi kandungan kitab tanpa melakukan reduksi sedikitpun, artinya kiai tabib akan mengikuti cara sebagaimana bunyi teks tanpa ada interpretasi baru dalam melaksanakan penyembuhan. Kedua, bersifat tekstual-fungsional di mana seorang kiai dalam menggunakan bahan rujukan kitab kedokteran disertai kombinasi terhadap hal-hal baru dari hasil pengalaman dan pengetahuan dalam upaya penyembuhan. Misalnya, Kiai Hannan Ma’shum dalam menangani pasien, beliau mengambil beberapa sumber rujukan kitab tabib seperti Syams al-Ma’arif dan Sullam al-Futuhat yang ditulis oleh beliau sendiri sebanyak 15 jilid.
Makna Tradisi Penyembuhan
Dalam tradisi penyembuhan di pondok pesantren, proses doa merupakan unsur paling penting di antara unsur-unsur yang lain. Doa bukan hanya sebatas placebo effect (sugesti) bagi pasien tetapi juga menjadi senjata bagi umat Islam dalam menyelesaikan segala persoalan yang bersifat fisik maupun psikis. Fakta historis menyebutkan bahwa praktik penyembuhan dengan mengandalkan doa-doa yang dilakukan kaum terdahulu berhasil dengan baik. Doa dengan ragam macamnya menjadi ruh penyembuhan dalam tradisi pesantren. Tanpa sebuah doa, tradisi penyembuhan di dunia Islam tidak akan mempunyai eksistensi dan tidak akan tumbuh berkembang hingga sekarang.
Fakta menunjukkan bahwa, kiai tabib menggunakan teks doa sebagai media penyembuhan, misal ijazah dan rajah yang diberikan kiai tabib kepada masyarakat dengan menuliskan potongan ayat yang diambil dari al-Qur’an. Kalau kita telisik kembali, isi teksnya memuat doa yang disesuaikan dengan kebutuhan dan persoalan yang dihadapi masyarakat. Dengan demikian, makna penyembuhan kiai tabib bukan hanya sekadar mengubah sugesti negatif menjadi positif (placebo effect) akan tetapi juga mempunyai nilai-nilai spiritual yang sangat mendalam. Esensi tradisi penyembuhan oleh kiai tabib tidak hanya dimaknai sebatas tindakan merekayasa perasaan psikologis seorang pasien, lebih dari itu penyembuhan oleh kiai tabib sampai pada tingkatan transendental dengan Tuhan.
Ada sebuah pola yang unik antara pasien dan kiai tabib, yaitu pola interaksi simbolik dimana pasien meyakini bahwa kiai tabib mempunyai kekuatan. Di sebagian masyarakat, prestise besar diberikan kepada para kiai tabib yang mempunyai kemampuan terkenal dan hampir dikaitkan dengan status sosial yang tinggi. Apalagi, faktor kejujuran, kerelaan dan kesalehan kiai tabib memperkuat keyakinan masyarakat akan kemampuan kiai tabib dalam menyembuhkan segala penyakit, sehingga apapun yang diberikan oleh kiai tabib akan diterima dan dilaksanakan. Sementara itu, kiai tabib sendiri berkeyakinan bahwa kekuatan yang dimilikinya bersumber dari kalam agung yang hanya dimiliki Allah SWT.
Selain dimensi placebo effect (sugesti yang bersifat psikis) yang diaktualisasikan melalui kepasrahan pasien terhadap kiai tabib, ada dimensi lain dari tradisi penyembuhan ini, yaitu dimensi dakwah. Dalam menyebarkan ajaran Islam sebagai kontinuitas dakwah, kiai menempuh beberapa pendekatan yaitu antara lain melalui jalur pendidikan dan pengajaran di pesantren, melalui dakwah, seruan dan bimbingan kepada umat Islam untuk menjalankan syari’at Islam secara kaffah, baik dilakukan secara lisan (bi al-lisan), tindakan nyata (bi al-hal), maupun melalui jalan politik (as-siyasah). Sebagai salah satu implementasi pendekatan dakwah bi al-hal, kiai tabib menempuh jalan nyata melalui tradisi penyembuhan di masyarakat.
Motivasi dalam penyembuhan tidak didasari oleh sikap pragmatisme atau penguasaan material dalam membaca peluang usaha kesehatan, melainkan didasari oleh semangat menjalankan fungsi manusia sebagai khalifah di bumi yang bertujuan amal sholeh. Oleh karena itu, hal inilah yang mendorong kiai tabib untuk mendedikasikan jiwa dan raganya untuk membela agama Allah. Terakhir, yang tak kalah pentingnya adalah tradisi penyembuhan sebagai kesalehan sosial. Manusia secara fitrah merupakan makhluk yang hidup berdampingan dan saling membutuhkan satu sama lain. Ada sebuah proses asah, asih, dan asuh. Dalam upaya melestarikan tradisi penyembuhan Islam, kiai tabib berusaha menyempurnakan identitasnya sebagai makhluk yang Allah ciptakan untuk menebar kebaikan, kasih sayang di muka bumi dan membantu penyembuhan penyakit pada masyarakat. Hal itu dilakukan kiai tabib tanpa pamrih, dengan sebuah keikhlasan tanpa mengharap imbalan.
————————–
Judul Buku: Kiai Tabib; Khazanah Medical Islam Indonesia
Penulis: M. Syamsul Huda
Penerbit: LKiS
Tahun Terbit: 2020
Tebal: xii + 226 halaman; 14,5 x 21 cm
ISBN: 978-623-7177-34-0
Peresensi: Alfan Jamil