Ziarah merupakan aktivitas mengunjungi suatu tempat yang oleh peziarahnya biasanya diyakini mengandung unsur-unsur sakral (suci). Secara leksikal bahasa, kata ziarah diserap dari bahasa Arab ziyarah, yang berarti berkunjung atau mengunjungi sesuatu. Namun secara teknis, kata ini menunjuk pada aktivitas mengunjungi tempat atau lebih tepatnya makam tertentu, seperti makam Nabi, wali, pahlawan, kerabat keluarga, dan lain-lain.
Sebagian besar umat beragama di dunia menjalankan praktik ziarah sebagai bagian dari ungkapan rasa keberagamaan di samping ritus-ritus keagamaan yang ada. Para pemeluk agama Buddha, misalnya, meyakini kesucian tempat kelahiran Sang Buddha di Kapilavastu, tempat Sang Buddha mencapai pencerahan rohani di Bodh Gaya, tempat Sang Buddha untuk kali pertama menyampaikan ajaran di Benares, dan tempat Sang Buddha mencapai Parinirwana di Kusinagara. Di keempat tempat yang dianggap suci itulah umat Buddha melakukan ziarah (Sunyoto, 2007).
Di kalangan umat Katolik, ziarah dilakukan dengan mengunjungi tempat-tempat suci seperti kelahiran Yesus di Nazaret, Taman Getzemani, Bukit Golgota, Basilika Santo Petrus, Lourdes, Taizé, Gua Maria di Pohsarang, Kediri dan Sendangsono. Umat Yahudi atau Yudaisme berziarah ke Yerusalem, sedangkan umat Islam berziarah ke Mekkah.
Umat Hindu konon paling banyak memiliki tempat ziarah, misalnya Allahabad Arunachala, Ayodhya, Chidambaram, Dakshineshwar, Dharmasthala, Dwarka, Gaya, Guruvayoor, dan Hampi; umat Bahai berziarah ke Haika. Di Kyoto, Jepang, umat Shinto berziarah ke kuil-kuil dan doa dipanjatkan dengan menuliskan keinginan yang ingin dikabulkan.
Di luar bidang keagamaan, ziarah juga dilakukan di tempat orang bersejarah lahir atau disemayamkan. Mausoleum Lenin di Lapangan Merah Moskow sangat populer dikunjungi, tidak hanya oleh komunis tetapi juga turis dari manca negara. Demikian pula dengan makam Mao di Lapangan Tiananmen, Cina ramai dikunjungi turis manca negara. Di Indonesia, makam Bung Karno memiliki pesona untuk masyarakat Indonesia berziarah; begitu juga dengan makam raja-raja di Imogiri dan Wali Sanga (Indriarti, 2007).
Konteks Islam
Dalam agama Islam, ziarah yang berarti mengunjungi pemakaman dapat dilacak awal mulanya dalam doktrin hadis Nabi, yang menganjurkan umat muslim untuk berziarah kubur. Oleh Nabi Muhammad, dikatakan dalam hadis itu, tradisi ziarah kubur mula-mula dilarang karena ia khawatir akan terjadi syirik (menduakan atau menyekutukan Tuhan). Namun larangan itu berubah statusnya menjadi anjuran (sunnah), yang bertujuan agar setiap manusia mengingat mati, sadar diri siapakah kita dan untuk apa hidup di dunia, yang dengannya diharapkan semakin meningkatkan ibadah kepada Sang Khalik.
Legalitas ziarah dengan maksud tersebut dapat dicermati dari hadis Shahih riwayat Muslim, al-Tirmidzi, Abu Dawud dan Ibnu Majah. Hadis riwayat Muslim menyebutkan bahwa Rasulullah bersabda: “Aku (dulu) melarang ziarah kubur, (sekarang) berziarahlah kalian. Riwayat al-Tirmidzi menyatakan, “Aku (dulu) melarang kalian ziarah kubur, dan Muhammad sudah diizinkan menziarahi kubur ibunya, maka berziarahlah kalian, karena hal tersebut dapat mengingatkan pada akhirat”. Sedangkan hadis riwayat Abu Dawud dan Ibnu majah lebih lugas lagi karena diterangkan bahwa berziarah pada makam orang-orang nonmuslim juga diperbolehkan, untuk mengingat orang-orang yang menolak panggilan iman.
Namun demikian, ziarah sebagai kunjungan ke makam-makam atau ke tempat-tempat suci—seperti yang terkait dengan para wali—sempat memperoleh kritik dari beberapa ulama. Suara paling keras berasal dari para pengikut Hanbali. Ibn ‘Aqil (w. 1119), Ibnu Taymiyyah (w.1328), dan Ibn Qoyim al-Jawziyah (w.1350) adalah beberapa nama yang dapat disebut.
Reaksi para pengikut Wahhabi tak kalah kerasnya. Ketika pasukan tentara di bawah pimpinan putra-putra Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab (w. 1791) dan Muhammad bin Su’ud (w.1765), berhasil menguasai Mekkah dan Madinah serta daerah sekelilingnya, mereka lalu menghancurkan makam serta segala peninggalan keluarga Nabi. Mereka menolak segala bentuk ziarah dan tindakan ritual yang brhubungan dengannya, karena di mata kelompok Wahhabi itu, semuanya dapat membawa pada upaya penyekutan (syirk) dan bid’ah.
Dari sanalah, kritik keras beserta kecaman yang dilakukan kelompok Wahhabi tersebut dalam perjalanannya, bahkan hingga saat sekarang, mendapat reaksi beragam dari sejumlah kalangan yang pendapat-pendapatnya berseberangan dengan pengikut Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab. Bagi mereka yang tidak setuju dengan pandangan kelompok Wahhabi berpendapat, bahwa ziarah sesungguhnya jauh dari perbuatan syirk dan bid’ah. Sebaliknya, dengan ziarah, merupakan amaliah yang dengannya seseorang—meminjam pendapat Agus Sunyoto (2007)—mengandung makna rohaniah (untuk) mengingat kembali, memperkuat keyakinan, menyadari kefanaan hidup di dunia, dan memperoleh berkah keselamatan.
Bagi masyarakat yang menganut Islam tradisional, fatwa-fatwa kaum Wahhabi yang melarang ziarah kubur dianggapnya angin berlalu. Banyak di antara mereka dengan sangat khusyu’ tetap menjalankan ritual ziarah ke makam-makam yang dianggap “keramat”, sebagai media untuk mendekatkan diri kepada Sang Pencipta. Bahkan ada kalanya, tradisi ziarah ke tempat-tempat suci, tidak lagi sebagai ritual temporal pada waktu-waktu tertentu saja, tapi lebih dari itu, sudah menjadi bagian tak terpisahkan dalam kesehariannya untuk beribadah dan mengabdi kepada Sang Pencipta.
Dalam hal ini, saya ingat Gus Dur, sebagai peziarah ulung. Banyak orang tahu, walaupun ia tokoh besar, mantan presiden RI, dan bahkan ada yang menggapnya sebagai seorang ‘wali’, ziarah ke tempat-tempat suci tetap ia lakoni, hingga detik-detik jelang akhir hayatnya. Ziarah yang terakhir pasalnya ke makam ayah dan kakeknya—hadratus syaikh Wahid Hasyim dan Hasyim Asy’ari—di Jombang, seolah menjadi petanda, kalau dirinya juga akan diziarahi oleh masyarakat luas. Dan terbukti, hingga saat ini, makam Gus Dur terus dipadati oleh peziarah.
Pada diri Gus Dur pula, di antara kiprah dan peninggalan hidupnya yang disingkap oleh banyak orang ialah soal ziarah dan laku spiritual yang ia tempuh. Ziarah memainkan peran yang penting pada dua tataran: kunjungan ke makam-makam di satu pihak, dan peran ziarah itu dalam kehidupan spiritual di lain pihak.
Hanya saja, menurut Henri Chambert-Loir dan Claude Guillot (1995)—seorang antropolog Perancis, yang memasukkan situs-situs makam di Indonesia ke dalam peta ziarah dan wali di dunia Islam—disebabkan kekurangan dokumentasi, maka menyusun sejarah tradisi ziarah di Jawa bukanlah hal yang mudah.
Ziarah di Tanah Jawa
Praktik ziarah kiranya masuk di Jawa bersamaan dengan agama Islam. Makam-makam para pendakwah penyebar ajaran Islam di Jawa, yang kebanyakan dilengkapi dengan hiasan dekoratif yang kaya, bercorak arsitektur bangunan khas abad ke-16, berarti agaknya didirikan segera sesudah wali yang bersangkutan wafat. Kemegahan bangunan-bangunannya merupakan tanda historis pertama bahwa wali-wali itu dikeramatkan oleh masyarakat.
Apapun halnya, tradisi ziarah sudah terbukti adanya pada paruh pertama abad ke-17. Sultan Agung diketahui mendatangi secara pribadi makam Sunan Tembayat, penyebar agama Islam di Jawa Tengah, dan menyuruh makam itu dilengkapi dengan bangunan-bangunan megah.
Henri Chambert-Loir dan Claude Guillot dalam bukunya, Le culte des saints dans le monde musulman (diterjemhakan ke dalam bahasa Indonesia menjadi Ziarah dan Wali di Dunia Islam), menceritakan, kalau seorang musafir Perancis bernama Tavernier, ketika singgah di Banten, terkejut melihat betapa banyak kuburan keramat di kota itu. Diketahui pula bahwa pada waktu itu juga kaum bangsawan Banten acap menziarahi makam wali leluhurnya, yakni Sunan Gunung Jati. Pada abad ke-17 itulah kiranya muncul aneka tulisan tentang “musawaratan”, majelis Wali Sanga.
Kecenderungan mengeramatkan para wali Islam berkembang dengan pesat. Di daerah-daerah agraris di pedalaman pulau Jawa, semakin maju penyebaran agama Islam, semakin pengeramatan tersebut mengambil alih kultus-kultus yang lebih kuno. Seperti Serat Centini, karangan sastra Jawa abad ke 18/19 yang mengisahkan pengalaman beberapa santri di sekeliling pulau Jawa, memperlihatkan dengan jelas pada waktu itu makam-makam para wali Islam hanyalah satu di antara sekian jenis tempat-tempat keramat yang ada di Jawa.
Masing-masing wali mempunyai perbedaan karakter dan perlakuan dari para pengikut dan pengagumnya. Simak misalnya tentang cerita pengikut Sunan Ampel di Surabaya yang berusaha memayungi makam Sunan Ampel dengan kain tenda. Tetapi konon, upaya pertamanya gagal karena tenda penutupnya terbakar. Upaya tersebut terus dilakukan hingga tiga kali, namun selalu berakhir dengan terbakarnya tenda tertutup. Pernah terjadi, salah satu kain penutup tertiup angin kencang diseberangkan hingga ke pulau Madura. Maka tidak heran, sampai saat ini makan Sunan Ampel masih tetap terbuka, dipayungi oleh langit yang bebas. Hal ini berbeda dengan makam wali-wali lainnya, yang atasnya selalu tertutup (Suyono, 2007: 73).
Karena itu, fenomena ziarah kubur bukan saja soal ibadah dan perilaku agama. Dapat dilihat dari perkembangannya di berbagai negara di Timur Tengah dan di benua India, aspek sosial dan politiknya juga tidak kurang penting, antara lain melalui peranan berbagai tarekat. Sifat ini pun dapat membawa sorotan baru pada sejarah perkembangan fenomena ziarah di Indonesia, apalagi mengingat pada masa kini kuburan-kuburan keramat yang paling terkenal dijadikan obyek pariwisata, sedangkan perilaku ziarah dipromosikan sebagai program unggulan pariwisata nasional.
Amat sulit mengetahui dengan tepat jumlah pengunjung makam-makam karena tidak ada data statistik apapaun, termasuk di situs-situs yang paling terkenal. Kalaupun tersedia buku tamu di pintu masuk, ternyata hanya sementara orang saja yang mendaftarkan diri, sedangkan penjumlahan yang dilakukan kemudian bahkan lebih kacau lagi. Jumlah total situs pun mustahil diketahui.
Ada puluhan ribu makam keramat di Jawa, yang satu sama lainnya sangat berbeda jumlah pengunjungnya. Lalu lintas peziarah tiada hentinya, terutama pada bulan Rabiulawal, yaitu pada bulan kelahiran Nabi Muhammad saw diperingati, dan juga sekarang-sekarang ini menjelang bulan Ramadan.