Pada 1983, Gus Dur pernah menulis esai yang cukup panjang sebagai pengantar untuk kumpulan tulisan (antologi) tentang Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA). Bukan semata-mata perkara ketebalan jumlah lembar, yang dalam edisi cetak mencapai 16 halaman, apa yang digubah Gus Dur itu bagi saya sangat mengesankan.
Tulisan tersebut, oleh Gus Dur diberi judul Benarkah HAMKA Seorang Besar? dan menjadi hidangan pembuka, menyertai artikel-artikel lain kala itu, yang ditulis oleh para tokoh kondang, seperti Mukti Ali, Harmoko, A. Syaikhu, Adnan Buyung Nasution, Djohan Effendi, dan masih banyak lagi.
Membaca tulisan Gus Dur ini, saya banyak belajar dan menyerap informasi berharga. Di antaranya tentang seni dan strategi kritik, menulis tentang seseorang. HAMKA yang namanya harum dan bersinar memperoleh pujian sebagai sastrawan, budayawan, ilmuwan, ahli ilmu-ilmu agama Islam, ulama, mubalig, politisi, penganjur asimilasi etnis, pembimbing orang yang ingin memeluk agama Islam, pendidik, dan pemimpin, namun di hadapan Gus Dur justru dijungkirbalik, remuk redam, hancur lebur.
Gus Dur mencincang predikat mulia HAMKA layaknya tukang jagal menyayat daging sembelihan. Meski kadang, Gus Dur mengapresiasi HAMKA setinggi langit, tapi di saat bersamaan, ia menjatuhkannya hingga terkapar. Diangkat lagi, dijatuhkan lagi. Begitu seterusnya hingga akhir tulisan.
Gus Dur memberi tips jitu dalam menulis tentang seseorang, dan ini sering saya ingat.
“Untuk menulis tentang seseorang, terlebih dulu harus meletakkan pandangan kita sendiri terhadap orang itu. Harus tahu siapa diri kita, sebelum mencoba mengerti orang lain. Dengan demikian, secara sengaja kita memasukkan unsur subjektivitas ke dalam kerja kita, walaupun bukan subjektivitas yang timbul dari hubungan pribadi dengan orang yang kita tulis (personalized subjectivity). Titik tolak kita bukanlah bagaimana kita berpapasan terhadapnya, melainkan dari titik mana kita akan melihat dirinya, lingkungannya, dan peranan yang dilakukannya dalam lingkungan tersebut”, tulis Gus Dur.
Kitik sastra
Perhatikan uraian berikut ini, bagaimana Gus Dur mengoperasionalkan kritik konstruktif bernada de(kon)struktif pada diri HAMKA sebagai sastrawan, misalnya. Karya-karya sastra yang ditulis HAMKA, menurut Gus Dur, semasa ia masih muda, belum memiliki kebulatan pandangan tentang manusia, selain kebutuhan menampilkan tokoh-tokoh beberapa karyanya sebagai “muslim yang baik”.
Simpati yang ditunjukkan HAMKA kepada tokoh-tokoh utama yang senantiasa bernasib malang, pada umumnya berbau kecengengan sikap.
Gus Dur membandingkan dengan karya-karya sastra dunia, yang, alangkah jauhnya dari kadar watak tragis dan simpati Dostoievski atas tokoh-tokoh utama semua novelnya, atau katakanlah “keberadaan bisa-biasa saja” (ordinariness) tokoh nelayan tua yang harus bertempur melawan ikan hiu dalam karyanya Hemingway, The Old Man and The Sea.
Apa anehnya orang putus cinta lalu melarikan diri ke Makkah, atau “terputus lakon” dengan jalan tenggelam bersama sebuah kapal, seperti dikisahkan HAMKA dalam Di Bawah Lindungan Ka’bah dan Tenggelamnya Kapal van der Wijck? Kata Gus Dur, tidak ada yang istimewa, karena tidak diletakkan dalam sebuah tema besar yang benar-benar terasa universal. Kalaupun dicoba untuk dikaitkan dengan “nasib kemanusiaan”, maka hanyalah secara sambil lalu, sama sekali tidak memiliki kedalaman.
Pendapat di atas tidak berarti Gus Dur menolak perlunya “sastra lokal” dengan keterbatasannya sendiri, karena pada analisis terakhir sastra hanya akan melahirkan karya-karya raksasa kalau diletakkan dalam konteks lokal.
Bagi Gus Dur, kisah tentang perang dan damainya Tolstoy tidak akan mengagumkan dan mencekam kalau tidak diletakkan dalam lokasi kalangan bangsawan dan kelas menengah Rusia kala itu.
Begitu juga kuatnya warna lokal Jakarta di masa permulaan revolusi kita dalam karya Mochtar Lubis Jalan Tak Ada Ujung memberinya kekuatan luar biasa sebagai sebuah karya sastra.
Gus Dur menilai, meskipun karya-karya sastra HAMKA mengasyikkan untuk dibaca, karena warna lokalnya begitu hidup menggambarkan keadaan para pelaku yang hampir semuanya muslim taat yang menjadi perantau di tanah orang, tetapi tidak terasa adanya jalinan yang mengangkat masalah yang dihadapi para pelaku itu untuk menjadi masalah umum kemanusiaan.
Persoalan Hamid dan Zainuddin diputar balik tetap hanyalah merupakan persoalan mereka sendiri-sendiri, bukan persoalan kita semua. Paling-paling persoalan sejumlah anak muda yang kebetulan bernasib sama.
Hal itu berbeda dengan masalah ketakutan begitu mencekam yang dialami guru Isa dalam Jalan Tak Ada Ujung, yang membuatnya menjadi impoten.
HAMKA tidak menimbulkan apa-apa dalam diri kita di luar rasa kasihan dan simpati sesaat kepada diri mereka belaka, tetapi kemalangan guru Isa (yang jauh lebih dahsyat, karena menyangkut fungsi biologis dan sekaligus keberadaan seksualnya sebagai seorang pria) mengajarkan kepada kita pentingnya arti menyelesaikan ketakutan-ketakutan.
Kata Gus Dur, “Kalau mampu kita hilangkan ketakutan yang ada dalam diri kita, maka kelemahan yang ada tidak lagi akan menjadi kelemahan, bahkan berubah lagi menjadi kekuatan”.
Demikianlah kritik sastra Gus Dur dalam membaca HAMKA. Di luar bidang itu, tentu, jika Anda membacanya langsung secara utuh, maka semakin lengkap penderitaan HAMKA dalam kapasitasnya sebagai budayawan, ilmuwan, ahli ilmu-ilmu agama Islam, ulama, mubalig, politisi, penganjur asimilasi etnis, pembimbing orang yang ingin memeluk agama Islam, pendidik, dan pemimpin.
Dari keseluruhan tulisan Gus Dur itu, akhirnya saya tahu pula akan dua hal. Pertama, ketika HAMKA berkunjung ke Pakistan untuk menghadiri forum Islam dan memutuskan gerakan Ahmadiyah sebagai paham yang terlarang, maka ia juga membakar buku-buku yang diterimanya dari gerakan tersebut.
Kedua, pangkalan kegiatan yang diinisiasi HAMKA berupa masjid Al-Azhar di bilangan elite Kebayoran Baru, Jakarta, bermula “pengambilalihan halus” tanah wakaf milik orang-orang NU, tetapi tidak terkelola dengan baik, akhirnya kompleks yang berdiri teguh di tempat itu menjadi bukti sebuah kerja monumental tersendiri.
Pada akhirnya, analisis Gus Dur terhadap karya-karya sastra HAMKA berbanding lurus dengan persepsi umum tentang HAMKA sebagai tokoh agama (ulama).
Gus Dur mengingatkan, kalau dilihat dari “kacamata keras”, fungsi HAMKA sebagai mubalig hanyalah untuk melupakan kita sebagai bangsa dan kenyataan-kenyataan pahit yang ada di depan mata. Atau kalau digunakan ketegorisasi Marxis, apa yang dibawakan HAMKA hanyalah “opium” bagi rakyat jelata. (atk)
memangnya gusdur ahli sastra.apa karya sastranya.orang bisa menilai dan mengkritik ahli komputer ya ahli komputer juga.saya menilai kritiknya tdk objektif.terus ngapain juga kritik hamka kayak iri saja dengan keharuman namanya yg jelas2 jujur tegas tdk kompromi dg penguasa.kalau org2 muhammadiyah mau bikin kritik utk gusdur mungkin bisa berjilid2 bukunya.dan kalau org2 pencinta dan pendukung hamka mau kritik gusdur itu bisa dijawab semua.