Orang-orang sufi punya persepsi yang beda dibanding, katakanlah ahli fikih (fuqaha’) dan ahli kalam (teolog), dalam memaknai haji, yang kini umat muslim seantero dunia beramai-ramai mendatangi kota suci itu. Kaum sufi yang dimaksud dalam tulisan ini, tentu, tidak dalam arti secara keseluruhan, hanya beberapa saja, yang memiliki pandangan “unik”, “nyentrik”, dan “anti-mainstrem”.
Merujuk pada Agus Sunyoto (2007), bahwa di kalangan sufi Jawa seperti digambarkan dalam Suluk Linglung dan Suluk Syekh Malaya yang menuturkan perjalanan rohani Sunan Kalijaga, menarik untuk dieksplorasi di sini.
Dikisahkan bahwa sewaktu Sunan Kalijaga akan pergi haji ke Mekkah dan bertemu Khidr di di perjalanan, Khidr memberi tahu tentang makna rahasia ziarah haji, di mana perjalanan mengunjungi baytullah di Mekkah akan sia-sia jika orang tidak mengetahui apa yang disebut haji, laksana orang-orang kafir menyembah berhala, karena Ka’bah sejati bukanlah bangunan yang terbuat dari tanah, batu dan kayu, melainkan hidayah yang sejati.
Kisah lain yang tak kalah hebohnya datang dari al-Hallaj, seorang sufi agung tersohor sepanjang masa. Sewaktu diminta fatwa oleh seorang tua yang ingin berhaji tetapi tidak mampu, al-Hallaj memberi saran agar orang bersangkutan membuat tumpukan batu berbentuk segi empat seperti Kakbah di Mekkah, kemudian melakukan tawaf mengitari batu itu sebagaimana orang-orang tawaf mengitari Ka’bah.
Fatwa al-Hallaj itu, tentu saja membuat gempar kalangan ulama fiqih yang memaknai Ka’bah di Mekkah sebagai satu-satunya baytullah, tempat orang tawaf, sehingga mereka beramai-ramai menghujat al-Hallaj sebagai manusia sesat yang merusak tatanan agama. Al-Hallaj berpegang teguh pada Alquran yang memandang bahwa hati (qalb) adalah organ yang disiapkan Allah bagi kontemplasi di mana terjadi persatuan mistik antara Yang Mutlak dengan yang nisbi, terutama setelah sirr yang berada di tengah nafsu-nafsu menjadi suci dan dikunjungi oleh Yang Mutlak.
Haji mabrur?
Nurcholish Madjid (1997) juga pernah menulis tentang kisah dramatis sepasang suami istri yang mempunyai niat sangat kuat untuk menunaikan haji. Pasangan ini lalu dengan susah payah mengumpulkan bekal. Karena waktu itu naik haji lewat darat dan jarak yang harus ditempuh adalah ribuan kilometer, maka bekal yang dikumpulkan pun harus banyak.
Dalam perjalanan itu mereka banyak menjumpai pengalaman-pengalaman menarik. Termasuk ketika pasangan ini memasuki sebuah kampung yang kehidupan penduduknya sangat miskin dan sedang dilanda kelaparan. Kondisi kampung yang menyedihkan itu menyntuh hati suami-istri tersebut. Benak keduanya dipenuhi dengan keragu-raguan. Tegakah mereka membiarkan orang-orang mati kelaparan, sedangkan di tangan mereka berdua ada bekal, meskipun itu untuk perjalanan haji yang sudah lama mereka impikan?
Saat suasana terenyuh, terpikirlah oleh pasangan suami-istri itu untuk memberikan saja bekal haji yang sedang mereka bawa. Lalu mereka pulang. Sampai di rumah ternyata pasangan tersebut disambut oleh seseorang yang pakaiannya putih besih. Orang yang belum mereka kenal ini mengucapkan selamat bahwa mereka telah diberkati oleh Allah mendapatkan haji mabrur.
Tentu saja, pasangan itu menyangkal, karena mereka merasa tidak menunaikan haji. Namun orang yang tidak dikenal itu tetap mengucapkan selamat atas kemabruran haji mereka.
Lalu, orang asing yang berpakaian serba putih menghilang. Menurut sebuah cerita, orang yang tidak dikenal itu adalah malaikat yang diutus Allah Swt. Malaikat ini memberikan kabar gembira kepada pasangan suami-istri bahwa dengan sedekah yang diberikan kepada mayarakat yang kekurangan itu berarti (bisa pula) mereka memperoleh haji mabrur.
Dari kisah di atas, setidaknya ada dua hikmah yang bisa dipetik. Pertama, bagi mereka yang bertekad untuk menunaikan haji, meskipun memenuhi kategori “mampu” untuk berhaji, ada baiknya juga memerhatikan lingkungan sekitar, yang membutuhkan uluran kasih.
Kedua, hakikat haji mabrur adalah yang menjadikan orang setelah melakukannya, atau sepulangnya ke kampung, dia memiliki komitmen sosial yang lebih kuat. Jadi meningkatnya komitmen sosial itulah sebetulnya yang menjadi indikasi dari kemabruran. (aa)