Sedang Membaca
Gus Dur dan Karamah Kewalian
Ali Usman
Penulis Kolom

Menulis tema-tema agama dan politik. Pengurus Lakpesdam PWNU DIY.

Gus Dur dan Karamah Kewalian

Abdurahman Wahid (Gus Dur), sang guru bangsa, dan bapak pluralisme, memang telah berpulang ke haribaan Ilahi, di penghujung tahun 2009 lalu. Saat ini, ramai digelar peringatan 40 hari meninggalnya Gus Dur. Dan entah mengapa, sosok Gus Dur seolah masih hidup di dalam setiap sanubari masyarakat Indonesia. Ia hidup lewat pemikiran-pemikirannya yang diwariskan kepada generasi penerusnya.

Tidaklah heran, jika refleksi ide-idenya tentang demokrasi, agama, budaya, dan lain-lain, terus bergema disuarakan oleh mereka yang peduli terhadap nasib bangsa ini. Di luar itu, banyak juga orang bertanya-tanya, mengapa antusiasme masyarakat begitu besar, walau hanya sekadar ikut serta mendoakan sang Gus?

Tak terbayangkan, sejak Gus Dur dikebumikan di Jombang 31 Desember 2009, dan hingga hari ini, masyarakat masih bejibun dan memadati pelataran makamnya. Mereka yang berziarah layaknya berkunjung ke tanah suci Mekkah; batu nisan Gus Dur pun dicium bak Hajar Aswad yang terselip di Ka’bah. Atas fenomena ini, ada sebagian kalangan berkomentar sinis terhadapnya, bahwa mereka (baca: pengikut Gus Dur) telah mempraktikkan syirk (menyekutukan Tuhan), dan dianggap bid’ah. Benarkah demikian?

Persepsi yang demikian itu saya kira sangat naif dan terlalu gegabah dalam menjustifikasi suatu perkara, apalagi menyangkut urusan agama. Mereka yang sinis terhadap perilaku peziarah, sesungguhnya bertindak sebagai subjek atau outsider, tapi tidak berusaha memahami dari kacamata objek atau insider. Posisi objek seringkali dalam keadaan tertindas dan dicerca habis-habisan oleh mereka yang bertindak sebagai subjek.

Dalam asumsi subjek, objek seolah harus “ditundukkan”. Begitupula dalam konteks peziarah makam Gus Dur, yang menurut kaum agamawan tertentu dianggap menyimpang dari ajaran agama yang “asli”, dan karenanya wajib diluruskan. Padahal kalau kita mau berempati, perilaku pezirah Gus Dur seperti yang disebutkan di atas, sebenarnya merupakan bagian dari penghormatan yang disertai rasa kagum—yang dalam bahasa agama disebut karamah—terhadap diri sang Gus.

Baca juga:  Sajian Khusus: Ngaji Qiraah Sab'ah

Kewalian Gus Dur

Banyak orang percaya, kalau Gus Dur sesungguhnya bukan manusia biasa. Ia adalah wali Allah (waliyullah)—sebagaimana juga melekat dalam diri kakek dan ayahnya: hadratus syaikh Hasyim Asy’ari dan Wahid Hasyim. Dan karenanya, sangat wajar bila penghormatan sebagian masyarakat yang menziarahi makamnya terlihat berbeda dengan orang kebanyakan.

Bahkan dalam batas-batas tertentu, seorang kawan berkomentar menarik soal ketokohan Gus Dur. Bahwa menurutnya, “andai saat ini zaman sunan, Gus Dur layak menyandang wali ke-10 setelah Sunan Kalijaga, atau wali ke-11 setelah Syekh Siti Jenar”. Komentar ini rasanya tidak berlebihan jika kita menyimak ragam sikap dan statemen-statemen Gus Dur yang memicu kontroversi. Sebuah perilaku yang sangat mirip dengan para wali di masa-masa “pengenalan”—saya lebih suka menyebutnya demikian dari pada “penyebaran”—Islam di bumi nusantara.

Sesuai dengan maknanya, kata wali berarti dekat, kekasih, atau yang mendapat bimbingan atau pemeliharaan. Kata waliyyun, artinya orang shaleh yang ketaatannya terus-menerus kepada Allah, tanpa diseling-selingi oleh perbuatan maksiat. Yusuf bin Ismail al-Nabhani dalam kitabnya, Jami’ Karamat al-Auliya’, mengatakan, apabila seseorang dekat kepada Allah disebabkan ketaatan dan keikhlasannya, dan Allah pun dekat kepadanya dengan melimpahkan rahmat, kebajikan, dan karunianya, maka pada saat itu terjadilah kewalian.

Baca juga:  Non Muslim di Lautan Pemikiran Al-Ghazali

Jadi segala perbuatan dan ucapan pada diri seorang wali merupakan tindakan yang diridhai oleh-Nya. Unsur Ilahi dan manusiawi melebur jadi satu menjadi satu kesatuan. Jika yang demikian telah terjadi, resiko dan konsekuensinya memang sangat besar. Penentangan dan kecaman kepada si wali acapkali terjadi. Hal ini saya kira juga berlaku pada diri Gus Dur.

Semasa hidup, Gus Dur seringkalai banyak disalahpahami oleh kebanyakan orang. Apa yang ia utarakan dianggap mengada-ada. Tetapi setelah melewati rentang waktu, orang baru sadar dan membenarkan pernyatan-pernyataanya, kalau DPR, misalnya—seperti yang pernah disinggung Gus Dur—layaknya “taman kanak-kanak”.

Dalam salah satu hadis qudsi yang sangat populer disebutkan, Rasulullah Saw. bersabda, Allah Ta’ala berfirman: “Barangsiapa yang memusuhi wali-Ku, berarti ia menantang-Ku untuk berperang. Dan tidaklah seorang hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku yang lebih Aku cintai seperti melaksanakan apa yang Aku wajibkan padanya. Dan hamba-Ku senantiasa mendekatkan pada-Ku dengan ibadah-ibadah sunnah sehingga Aku mencinta-Nya. Maka bila Aku mencintainya, Aku menjadi pendengarannya di mana ia mendengar; menjadi matanya di mana ia melihat; menjadi tangannya di mana ia menyentuh; dan menjadi kakinya di mana ia berjalan”.

Al-Quthub Abu al-Abbas al-Mursi, menegaskan dalam kitab yang ditulis oleh muridnya, Lathaif al-Minan, karya Ibn Athaillah al-Sakandari, bahwa waliyullah itu diliputi oleh ilmu dan makrifat-makrifat, sedangkan wilayah hakikat senantiasa disaksikan oleh mata hatinya, sehingga ketika ia memberikan nasihat seakan-akan apa yang dikatakan seperti identik dengan izin Allah. Dan harus dipahami, bagi siapa yang diizinkan Allah untuk meraih ibarat yang diucapkan, pasti akan memberikan kepada semua makhluk, sementara isyarat-isyaratnya menjadi hiasan indah bagi jiwa-jiwa makhluk.

Baca juga:  Inggit Ganarsih, Perempuan di Samping Soekarno

Itu sebabnya, Allah menegaskan dalam Q.S Yunus: 62-63, “Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran pada mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa”. Sampai di sini, memang tidak ada yang tahu secara pasti apakah Gus Dur benar-benar seorang wali atau bukan. Tetapi jika dilihat dari respons, antusiasme, dan pengaruhnya yang sangat besar pada sendi-sendi kehidupan masyarakat dan bernegara, yang tidak hanya berpengaruh di kalangan muslim, tapi juga di semua agama dan golongan serta ideology, Gus Dur mungkin mendekati predikat wali itu.

Yang pasti, kepergian Gus Dur membuat duka bagi semua orang seantero negeri ini. Jadi mereka yang saat ini masih larut dalam kesedihan, dapat ditafsirkan betapa masyarakat Indonesia dan dunia mempunyai kesan positif terhadap Gus Dur, baik semasa hidup maupun hingga ajal menjemputnya.

Hal itu semakin menguatkan pendapat Syekh Muhammad Husain al-‘Adawi dalam kitabnya, al-Mathalib al-Qudsiyah fi Ahkam al-Ruh wa Atsariha al-Kauniyah, yang menjelaskan bahwa limpahan karunia Allah kepada wali-wali berupa karamah, baik pada masa hidup maupun sesudah matinya, adalah suatu hal pasti di kalangan tokoh yang memahami ajaran-ajaran makrifat, bahkan juga di kalangan lain, karena tidak ada alasan menolaknya, baik berdasarkan logika maupun berdasarkan ayat al-Qur’an ataupun hadis Nabi Saw.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top