Pada 24 September 1955 di Surabaya, Sukarno dalam kapasitasnya sebagai presiden RI, menyampaikan pidato kenegaraan di depan Kongres Rakyat Jawa Timur. Soekarno oleh forum itu, diundang untuk memberikan wejangan, seputar refleksi menjadi warga dan negara yang kokoh setelah kemerdekaan yang baru seumur jagung.
Dan Soekarno pun gayung bersambut. Di acara tersebut ia hadir dengan penuh gembira. Soekarno yang memang dikenal merakyat, sangat dekat dengan rakyat, bahkan atas kemauannya sendirilah, ia menghendaki agar jangan dikondisikan jauh dengan tempat berkumpulnya rakyat.
Saya ingin mengutip langsung kegelisahan Soekarno itu. “Tadi, tatkala aku baru masuk gedung Gubernuran ini, hati kurang puas. Apa sebab? Terlalu jauh jarak rakyat dengan Bung Karno. Maka oleh karena itulah saudara-saudaraku dan anak-anakku sekalian, maka bapak minta kepada pimpinan agar supaya saudara-saudara diberi izin lebih dekat”.
Dari penggambaran di atas, terlihat terang dan inspiratif tentang bagaimana seorang pemimpin begitu perhatian kepada rakyatnya. Namun demikian, di tulisan ini, saya tidak bermaksud membahas secara keseluruhan isi pidato Soekarno.
Salam, merdeka!
Saya justu tertarik mengemukakan bagian kecil dari pidatonya, itu pun di prolog, yaitu tentang arti penting salam nasional bagi rakyat dan bangsa Indonesia. Bahwa ternyata, Soekarno pernah mempopulerkan salam nasional, bukan berdasarkan sumber dari doktrin agama, atau sekadar mengatakan salam sejahtera, dan lain sebagainya.
Lalu, salam bagaimana yang diinginkan oleh Soekarno? Sederhana, mudah diingat dan diucapkan, yaitu: Merdeka!
Sebuah ungkapan salam, yang sepertinya jarang dilakukan oleh pemimpin formal kita dari tingkat daerah hingga pusat, termasuk pula oleh rakyat secara umum.
Apakah Sukarno mengabaikan ungkapan salam yang lahir dari Rahim agama? Tidak. Coba perhatikan argumen Sukarno di bawah ini.
“Saudara-saudara sekalian! Saya adalah orang Islam, dan saya keluarga negara republik Indonesia. Sebagai orang Islam, saya menyampaikan salam Islam kepada saudara-saudara sekalian, Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarkatuh.
Sebagai warga negara republik Indonesia, saya menyampaikan kepada saudara-saudara sekalian, baik yang beragama Islam, baik yang beragama Hindu-Bali, baik yang beragama lain, kepada saudara-saudara sekalian saya menyampaikan salam nasional, Merdeka!”
Soekarno, di dalam pidatonya itu, justru mengajak rakyat, dan kita semua di zaman sekarang, agar melakukan internalisasi terhadap makna salam, yang artinya adalah damai, sejahtera. Apalah guna tampak taat beragama dengan “mengobral” ucapan assalamu’alaikum, misalnya, sementara di dalam dirinya masih dipenuhi oleh kebencian, dendam membara, pikiran kotor untuk menyakiti orang lain.
Soekarno di masa itu—dan tentu sangat relevan dengan zaman sekarang—justru mengkritik kecenderungan orang atau kelompok tertentu yang lantang mengucapkan assalamu’alaikum, tetapi tidak berbanding lurus dengan perbuatannya yang tidak memberi damai kepada orang lain.
“Marilah kita bangsa Indonesia, terutama sekalian yang beragama Islam hidup damai dan sejahtera satu sama lain. Jangan kita bertengkar terlalu-lalu sampai membahayakan persatuan bangsa. Bahkan jangan kita sebagai gerombolan-gerombolan yang menyebutkan assalamu’alaikum, akan tetapi membakar rumah-rumah rakyat”, ucap Soekarno.
Pekik pengikat
Soekarno menurut saya, dalam hal ini, melakukan dekonstruksi makna salam, dari yang bercorak eksklusif-agama ke inklusif-sosial. Ungkapan merdeka, bagi Sukarno adalah pekik yang membuat rakyat Indonesia menjadi bersatu tekad, memenuhi sumpahnya “sekali merdeka tetap merdeka!”.
Pekik merdeka, menurut Soekarno adalah pekik pengikat, bahkan sebuah cetusan daripada bangsa yang berkuasa sendiri, dengan tiada ikatan imperialisme. Itulah sebabnya, harapan Soekarno, jangan lupa kepada pekik merdeka! Setiap kali kita berjumpa satu sama lain, pekikkanlah, merdeka!
Pernah suatu ketika, tatkala Soekarno kembali dari tanah suci, singgah lagi di Singapura,ia mengaku dikeroyok oleh koresponden dan wartawan, yang menanyakan suatu perkara.
Berikut saya kutip langsung lagi. “Tahukan paduka yang mulia presiden, bahwa tatkala paduka yang mulia presiden meninggalkan kota Singapura di dalam perjalanan ke Mesir dan tanah suci, paduka yang mulia dituduh kurang ajar, kurang sopan, ill-behavior, oleh karena paduka yang mulia memekikkan pekik “Merdeka” dan mengajarkan kepada bangsa Indonesia di sini memekikkan pekik merdeka? Apa jawaban paduka yang mulia atas tuduhan itu?”.
Dijawab oleh Soekarno, “Jikalau orang Indonesia berjumpa dengan orang Indonesia, warga negara republik Indonesia berjumpa dengan warga negara republik Indonesia, pendek kata jikalau orang Indonesia bertemu dengan orang Indonesia selalu memekikkan pekik “Merdeka”! Jangankan di surga, di dalam neraka pun!”