Sosok ini lahir dari pelosok Jawa bagian Selatan, area yang memiliki kontra budaya dengan area pesisir Utara. Secara geografis, tepatnya desa Tremas Kecamatan Arjosari Kabupaten Pacitan. Daerah ini berada dalam kawasan eks Karesidenan Madiun yang secara kebudayaan tidak jauh beda, baik karya seni, sastra, logat dan dialek bahasa pun juga aktivitas ekonominya.
Dalam kaitanya dengan Jawa Timur, ia berada dalam zona Mataraman. Istilah ini merujuk kepada konsepsi kebudayaan era Mataram Islam. Jauh sebelum itu, namannya adalah Wengker, meliputi Madiun Kota/Kabupaten, Ponorogo, Ngawi, Magetan, dan Pacitan.
Namun, dari wilayah yang distigmakan abangan ini justru lahir sosok agamis-ekspertis nun produktif menulis dalam banyak disipilin ilmu keagamaan. Dia bernama Syekh Mahfudz at–Tarmasi ibn Abdullah ibn Abdul Mannan Dipemonggolo (1285 H/1868 M). Nasabnya sambung dengan tokoh legendaris Majapahit akhir, Prabu Brawijaya V atau Sunan Lawu (tentang silsilah ini masih dalam penelitian lanjut atau debatable). Karyanya yang masih bisa terdeteksi dan dinikmati sampai sekarang ada sekira 20 judul kitab. Semua berbahasa Arab. Salah satu yang akan diulas di sini ialah kitab Syekh Mahfudz yang popular dikalangan ahlul hadits, yakni Kifāyatul Mustafīd lima ‘Ala Minal Asanid.
Kitab ini penulis peroleh dalam versi PDF. Diary fenomenal ini berisi tentang silsilah keilmuan dalam beberapa bidang ilmu yang diperoleh Syekh Mahfudz, di antarannya Ulumul hadits, Ulumut Tafsir, Ulumul Ushul, Ulumul Fiqh, Ulumut Taswwuf wal Aurad.
Dalam penilaian penulis, kitab yang satu ini unik nun berkesan secara pribadi. Hal ini penulis dapati dari gaya tutur kitab ini yang terkesan naratif, story telling dan memorial story. Sebab Syekh Mahfudz dengan sangat jelas menuliskan nama kitab, guru, dan proses ia menyelesaikan pengajaran kitab dan pengembaraan keilmuan dari Tremas hingga Hijaz.
Biasanya, orang yang menulis diary diasumsikan secara psikologis sebagai pribadi yang agak pemalu. Bisa jadi, Syekh Mahfudz juga pemalu, sehingga proses–proses menimba ilmu ke guru–gurunnya beliau abadikan dalam sebuah tulisan. Seperti contoh catatan beliau mengenai pelajaran dan ketuntasan dalam belajar kepada ayahandanya, Syaikh Abdullah:
“Guru–guru tersebut yang pertama adalah orangtuaku, pendidik jiwa dan ragaku, Syaikh Abdullah ibn Syaikh Abdul Mannan Tremas, yang wafat pada 1314 H, yang disemayamkan di Mu’alla, di belakang kompleks pemakaman Ummil Mu’minin Khadijah RA. Dengannya, aku membaca kitab Syarah Al–Ghayah li ibn Qasim al–Ghazi, Manhajul Qawim, Fathul Mu’in, Syarah Al–Manhaj, Syarah As-Syarqawi alal Hikam sampai tamat, kemudian tafsirul Jalalain yang sampai kepada pertengahn surat Yunus AS, dan lain sebagainya seperti ilmu adab dan ilmu–ilmu logika”. (Kifayatul Mustafīd, h. 7).
Pola runut, tutur serta ingatan kenangan yang membekas terhadap kegiatan “ngaji” membuat kitab Kifayatul Mustafīd sangat renyah dibaca. Sudah barang tentu kejujuran akan sangat tampak di dalamnya. Hal tersebut dapat ditemui dalam lanjutan tulisan yang beliau buat dalam kitab ini. Pujian serta kekaguman kepada sang guru beliau ekspresikan dengan penuh khidmat dan tulus. Seperti tulisan beliau kepada Syekh Sayyid Abu Bakr ibn Sayyid Muhammad Syatha sebagai berikut:
“Sebagian dari mereka lagi adalah guru kami yang agung dan panutan kami yang terbaik (sempurna). Dialah yang mengangkatku sebagai keluarga. Aku jadi beruntung sebab terhubung dengan nasab yang mulia, al-‘allamah, al-muhaqqiq, al-fahhamah, al–mudaqqiq, tuan kami Syaikh Sayyid Abu Bakr ibn Sayyid Muhammad Syatha, semoga rahmat Tuhan Sang Pemberi terlimpahkan atasnya. Aku pun mengambil ilmu darinya beberapa ilmu syari’at beserta ilmu–ilmu alatnya, baik yang manqul maupun ma’qul, furu’ maupun ushul. Kemudian sang Syaikh memberikan ijazah kepada ku baik secara khusus (pribadi) maupun umum (publik), apa yang sang Syaikh simpan secara tsabat Syaikh al-‘Allamah Abdullah as–Syarqawi, dan al–‘Allamah as-Sinwani. Oleh karena itu, aku mencukupkan keseluruhan tentang perihal sebagian sanadku dari jalur Syaikh Abu Bakr Syatha, yang mana di dalam kedua kitab itu tertulis. Serta aku cukupkan juga melalui jalur dari guruku Syaikh Madani yang telah dituturkan sebelumnya. Semoga Allah melipatgandakan pahalaku dan pahala para guru–guruku semuanya.” (Kifayatul Mustafīd, h. 8)
Sebagai tambahan, kitab ini dalam istilah ilmu hadis disebut “tsabat”. Istilah ini merujuk ke nama sebuah kitab yang memuat sejumlah silsilah guru dan jalur periwayatan. Adapun jika sukun huruf kedua jadi “tsabt” diartikan “hujjah” atau dasar dalil otoritatif keilmuan. Keterangan ini dijelaskan oleh Syaikh Yasin Padang dalam memberikan otokritik dalam bentuk ta’liq dan tashih terhadap kitab ini.
Selain itu, kitab ini berdasarkan Abdul Malik Ghazali (Jurnal Islamia Vol X No 2 Agustus 2016) disebutkan, kitab ini asli karya Syaikh Mahfudz didasarkan pada naskah asli milik Syekh Abul Faidh Muhammad Yasin ibn Isa al–Fadani al–Makki. Beliau juga sosok ulama asal Padang Sumatera Barat yang masyhur di Haramain abad XX M. Syekh Mahfudz juga digelari oleh Syekh Yasin dengan “Syaikhus Shuyukh” (gurunya para guru).
Sementara Naskah Kifayatul Mustafīd di tangan Syaikh Syekh Yasin sudah berupa ta‘liq dan tashih–annya sendiri. Kitab tersebut dicetak dan diterbitkan pertama kali oleh Mathba‘ah al-Hilbi di Mesir pada 1332 H atas sumbangan dana dari Syirkah Islam di Makkah. Kemudian dicetak ulang lagi oleh Darul Basya’irul Islamiyah Beirut Lebanon pada 1987 sejumlah 46 halaman dan berukuran 17 x 24 cm.
Kitab ini bisa disebut transmisi keilmuan Syekh Mahfudz mulai dari sanad ilmu tafsir, ilmu hadits, ilmu fikih, ilmu alat, ilmu Ushul Fiqh, serta ilmu tashawwuf dan aurad. Sayangnya, keterangan dimulainnya penulisan tidak diperoleh, hanya saja penulisan diselesaikan tertulis pada waktu dhuha hari Selasa, 19 Shafar 1320 H bertepatan dengan 28 Mei 1902 M.
Keterangan di atas merupakan sedikit bukti betapa Syekh Mahfudz merupakan sosok penulis dengan corak dan sentuhan “dairy” atau “jurnal pribadi” dengan bobot kualitas yang mendunia. Kegiatan seperti ini patut jadi pelajaran, tentang signifikannya fungsi literasi, meski bergaya “diary”.
Sebagaimana Psikoterapis Amerika, Kathleen Adams, mengatakan bahwa buku harian bisa dijadikan terapi dan pengajaran untuk diri sendiri. Dengan mendokumentasikan pengalaman hidup, orang dapat mendengarkan suara dalam kalbu. Selain itu, menulis juga kebutuhan tubuh. (Kathleen Adams, Journal to The Self : Twenty – Two Paths to Personal Growth)