KH. M. Hasyim Asy’ari merupakan tokoh Islam tradisionalis yang Ilmu dan pemikirannya melampaui zamannya. Dengan kepribadian Ngemong, menurut A Halim Iskandar, sosok KH. Hasyim Asy’ari (selanjutnya Mbah Hasyim) jadi rujukan para tokoh dari berbagai kalangan dalam hal memecahkan masalah keagamaan dan kebangsaan baik dari kaum agamawan dan nasionalis, bahkan sekuler sekalipun (Jawapos, 23 Oct 2016).
Mbah Hasyim adalah manusia yang lahir di tanah Jawa, Indonesia. Beliau adalah seorang santri dengan segala ketawaddu’an dan penghormatannya kepada Ulama (ahli ilmu). Selain sebagai santri, tidaklah syak, sebagai Kiai sebuah pondok pesantren salaf, PP Tebu Ireng pada masanya, mbah Hasyim sangat mendalam dalam mengenal ide–ide bernegara dan berbangsa. Masyhur, Mbah Hasyim dikenal sebagai pengembara ilmu di tanah Haram, Makkah dan Madinah. Interaksi dengan berbagai macam tokoh dengan latar negara berbeda semakin menemukan momentumnya bagi Mbah Hasyim disana. Setelah proses tholabul ilmi, Mbah Hasyim terlibat dalam deklarasi para perantau ilmu agar saat pulang memberikan perubahan dan mengembangkan syiar – syiar agama Islam di daerah asal masing – masing (Mukani/Berguru Ke Sang Kiai/2016/hal 63). Itu adalah bukti sudah tumbuhnya nasionalisme mbah Hasyim ketika beliau berada dalam pergaulan Internasional sekalipun.
Lebih jauh lagi, mengenai nasionalisme, Mbah Hasyim juga mengikuti tauladan Rasulullah yang juga memiliki kecintaan terhadap tanah kelahirannya, Makkah. Saat sedang menjalani hari – hari awal di Madinah. Kaum Muhajirin sedang tertimpa sakit. Sehingga, Rasulullah berdoa”, Sebagaimana sebuah riwayat Imam Bukhori dari Aisyah yang artinya, “Ya Allah, buatlah kami mencintai Madinah ini seperti cinta kami kepada Makkah atau bahkan lebih banyak lagi. Sebarkanlah kesehatan di Madinah, berkahilah ukuran dan timbangannya, singkirkanlah sakit demamnya dan sisakanlah air padanya”(Shafiyurrohaman Al Mubarokfuri/Sirah Nabawiyah/Cet-46/2016/hal 199).
Sudah menjadi keniscayaan, bagi orang muslim wajib ain (individu) mempertahankan tanah air atau tempat kelahirannya. Hal tersebut jelas terekam dalam Fatwa Jihad Mbah Hasyim (17/09/1945), yang kemudian dikembangkan dan disosialisasikan secara luas pada tanggal 22 Oktober 1945. Jelas sekali doktrin kegamaan memainkan peran pemersatu warga negara mempertahankan RI dari srobotan penjajah untuk kesekian kalinya. Tentu mbah Hasyim menyadari, keberlangsungan kehidupan beragama akan sangat dipengaruhi oleh stabilitas negara. Hal tersebut, bisa kita refleksikan dari dampak melawan kebijakan Jepang, Seikerei.
Stabilitas negara tentu akan sangat tergantung pada jiwa dan sikap nasionalisme dari para penduduk negara. Semakin kuat ikatan persaudaraan, maka akan semakin menambah akumulasi faktor penentu kedaulatan dan keutuhan negara. Tepat kiranya, bila Jargon KH M Hasyim Asy’ari-menurut Kiai Said Agil Siradj/NU Online- Hubbul Wathon Minal Iman menjadi suatu idiom dan bentuk nasionalisme kaum santri, meskipun bukan hadits.
Disisi lain, soal beragama, setelah membaca berbagai studi tentang beliau, penulis mendapat pemahaman, yakni penekanan Mbah Hasyim soal agama ialah bahwa agama merupakan institusi moral melalui proses wahyu ilahi kepada para Nabi atau Utusan. Dengan beragama, orang diharapkan akan mendapatkan pengajaran perbaikan moral sebagi tujuan penciptaan (khuluq adzim). Selain itu, agama juga bisa disebut pula institusi ritual kepada dzat Yang Maha Ghaib. Dengan kata lain, orang beragama ialah mereka yang banyak melakukan ritual dan peribadatan kepada Sang Pemilik Agama sejati, Allah SWT (wama kholaqtul jinna wal insa illa liya’buduun).
Oleh karena itu, sebagai pakar Hadits, Mbah Hasyim berpesan kepada siapapun agar berhati–hati dari mana ilmu agama diperoleh. Dengan maksud, bahwa Mbah Hasyim menekankan pentingnya koneksi riwayat keilmuan dari guru ke guru hingga sampai ke Rasululluh. Dari sini bisa dipahami, bahwa jangan sampai para generasi milenial sekarang ini maupun yang akan datang melupakan otentisitas atau tradisi sanad sebuah ajaran, agar benar–benar dapat dipertanggungjwawabkan. Supaya, para penerima ajaran memperoleh terang (kesabaran dan harapan) bukan kegelapan (emosi / frustasi).
Kesadaran ‘aqli dan agama (syar’i), bahwa dalam rangka menunjang pelaksanaan tugas kehambaan, manusia membutuhkan wawasan dan bekal tentang tempat bergaul dengan kelompok masarakat, dalam konteks ini bernegara. Agama dan negara jelas sesuatu yang tidak sama, namu kedua saling menguatkan, dengan tugas dan fungsi masing – masing. Dalam hal demikian, penekanan Negara (siasat) adalah mewujudkan suatu tatanan negara yang sejahtera, nyaman, damai dan tentram. Hal yang sama juga menjadi gagasan besar agama, bahwa agama hadir untuk memberikan rahmat bagi smesesta alam. Sebagaimana keterangan tentang hal ini dalam Kitab Imam al Mawardi dan Ahkam As – Sulthoniyah.
Lebih dari itu, segala upaya di atas oleh Mbah Hasyim ingin menyampaikan bahwa agama merupakan kebenaran. Dan kebenaran tentu memerlukan upaya – upaya terorganisir, agar kebenaran tetap terjunjung tinggi. Dan Mbah Hasyim sejalan dengan Sayyidina Ali ra, “kebenaran yang tidak terorganisir akan terkalahkan oleh kabathilan yang terorganisir”. Kebenaran – kebenaran ajaran agama meliputi: menjunjung tinggi persaudaran, merekatkan persatuan dan dan menegakkkan keadilan. Dengan kata lain, seruan – seruan kebaikan itu tidak akan terwujud tatkala tidak ditopang dengan kekuatan negara atau nasionalisme.
Hal-hal di atas menunjukkan bahwa perjuangan mbah Hasyim terkait agama dan nasionalisme yang besar memang beralasan sangat kuat. Mbah Hasyim percaya bahwa kehidupan agama tidak terlepas dari stabilisasi negara yang bersangkutan. Untuk itu mbah Hasyim sangat gigih dalam ngrumat agama dan negara Indonesia ini.