Sastra, merupakan ungkapan ekspresi manusia berupa karya tulisan atau lisan yang berdasarkan pemikiran, pendapat, pengalaman, hingga ke perasaan dalam bentuk imajinatif, cerminan kenyataan atau data asli yang dibalut dalam kemasan estetis melalui media bahasa. Tidak bisa dipungkiri bahwa sastra telah menjadi bagian penting dalam sejarah kehidupan manusia pada masa lampau. Karena dengan keindahannya, setidaknya sastra bisa membangun peradaban, membangun budaya yang luhur dan santun.
Bahkan sebelum tersebarnya Agama-agama besar keseluruh penjuru bumi, sastra sudah menjadi bagian penting dalam kehidupan umat manusia sebagai seruan kebaikan, sumber hukum, maupun penanda peristiwa yang penting saat itu. Maka tidak mengherankan apabila pada masa lalu kedudukan seseorang yang ahli dalam bidang sastra akan mendapatkan kehormatan karena ilmu yang dimilikinya.
Sejarah juga mencatat bahwa sebelum Islam (sebagai agama samawi terakhir) diturunkan di jazirah arab, kondisi bangsa arab waktu itu sering disebut dengan istilah ”masa jahiliyah” yang jika diterjemahkan secara bebas berarti ‘bodoh’. Meski demikian, pada masa jahiliyah sudah ada sebuah tradisi keilmuaan yang tinggi, yakni bersyair. Masyarakat Jahiliyah waktu itu sering mengadakan festival sastra secara periodik. Ada festival sastra mingguan, bulanan, bahkan tahunan. Maka jahiliyah pada masa ini, menurut sebagian pakar sejarah, bukan dimaknai sebagai kebodohan secara intelektual, melainkan keadaan dan tradisi masyarakat Mekkah saat itu setelah rentang masa fatrah (rentang antara dua nabi) yang jauh dari moral dan norma kemanusiaan.
Suku-suku di Arab yang waktu itu mayoritas mendiami pelosok semenanjung Arabia akan berkumpul di Mekkah saat musim haji tiba. Di samping datang ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji, mereka datang kesana untuk berdagang dan mengadakan perlombaan-perlombaan sastra, seperti berpidato dan melantunkan syair. Salah satu tempat yang berperan penting pada waktu itu adalah Suuq ‘Ukadz (Pasar ‘Ukadz). Di pasar itulah para penyair bersaing dengan ketat dalam ‘festival sastra akhir tahun’ yang diadakan selama kurang lebih 20 hari, maka tidak mengherankan apabila pasar ‘Ukadz disebut sebagai ‘pasar seni’ waktu itu.
Kemudian sajak-sajak yang terpilih sebagai pemenang akan memperoleh imbalan yang tak tanggung-tanggung; ditulis dengan tinta emas, dibingkai, lalu dipajang di dinding Ka’bah. Sebuah apresiasi tertinggi yang diidam-idamkan oleh semua penyair Arab kala itu. Himpunan sajak-sajak terbaik itulah yang dalam catatan sejarah kelak dikenal dengan mudzahhabat (yang ditulis dengan tinta emas) dan mu’allaqat (yang digantung di dinding Ka’bah). Maka tidak aneh apabila para penyair pada masa itu disebut kaum intelektual yang otomatis menguasai ilmu bahasa terutama baca tulis disaat kebanyakan dari bangsa arab waktu itu masih ummi (buta huruf). Disamping itu sebagian besar para penyair pada waktu itu juga menguasai ilmu-ilmu yang notabene penting dan sangat dibutuhkan pada masanya seperti ilmu nujum (astrologi), nasab, tanda jajak dll.
Namun setelah Islam berkembang secara pesat di jazirah Arab dengan Mekkah sebagai pusat awal penyebarannya, juga mempengaruhi geliat aktivitas di pasar ‘Ukadz. Memang banyak faktor yang mempengaruhi redupnya pasar ‘Ukadz tersebut. Salahsatu faktor yang dianggap paling berpengaruh waktu itu adalah hijrahnya Rasulullah SAW. dari kota Mekkah menuju Madinah yang diikuti oleh mayoritas warga Mekkah saat itu yang juga berdampak pada peralihan mata pencaharian yang mayoritas penduduk Mekkah adalah pedagang kemudian setelah tiba di Madinah beralih menjadi peternak ataupun petani kurma.
Tapi di sisi lain sastra sebagai ilmu pengetahuan justru mengalami peningkatan setelah masuknya Islam. Penghapusan sebagian corak kesusastraan Arab Jahiliyyah yang dianggap terlalu vulgar dan amoral dalam pemilihan diksinya dan mulai terciptakannya corak baru yang sesuai dengan Islam juga mempengaruhi semakin berkembangnya sastra saat itu.
Pada masa Islam, beberapa tema yang dahulunya kerap digunakan, mengalami perubahan yang cukup signifikan. Seperti Al-Washf , yang tidak lagi menggambarkan tentang minuman keras, ataupun perjudian, melainkan segala sesuatu yang baik dan terpuji. Lalu Al-hija’ , yang berarti satire, bukan lagi berisi cemoohan atau sindiran jelek yang menyebarkan permusuhan dalam masyarakat. Al-hija’ di masa Islam kerap dipakai untuk menyinggung atau menyindir perilaku orang-orang munafik dan tidak beriman.
Bahasa dalam puisi-puisi pada masa ini juga menjadi lebih halus dan penuh pemaknaan. Hal ini tak lepas dari al-Quran yang diturunkan sebagai mukjizat Rasulullah SAW., yang melalui keindahannya masyarakat Arab kala itu takjub dan terkesima. Namun, ada juga corak yang lama dan dikembangkan oleh Islam yakni di bidang syair (puisi), Seperti sya’ir yang bercorak Al-Madh (puisi pujian), Al-Hamaasah (puisi semangat). Adalagi corak yang masih dipertahankan adalah natsr (prosa) dan khutbah (pidato). Adapun alasan mengapa beberapa corak lama kesusastraan Arab tersebut dipertahankan adalah karena sangat berkontribusi dalam membantu perluasan dakwah Islam didalam jazirah Arab maupun diluarnya, serta memicu timbulnya macam-macam cabang ilmu tata bahasa sendiri seperti timbulnya Ilmu Balaghah, Ilmu Nahwu, Ilmu Arudh, dan lain sebagainya.
Kemudian setelah Islam telah tersebar ke berbagai wilayah diluar Arab, peran sastra juga berpengaruh dalam penyebaran tersebut. Selain sebagai cabang ilmu yang wajib dipelajari oleh para mujtahid untuk merumuskan sebuah prodak hukum dari Al-Quran yang memiliki nilai sastra tinggi, sastra juga digunakan sebagai ungkapan rasa cinta melalui syair yang berisi pujian kepada Rasulullah SAW. atau lazim dikenal dengan shalawat. Sehingga secara tidak langsung shalawat dan sastra melebur dan dengan mudah menjadi identitas dan tradisi tertentu bagi umat Islam diberbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia.
Seperti yang telah kita ketahui, di Indonesia sendiri membaca shalawat seakan telah menjadi tradisi yang sangat populer dikalangan masyarakat kultural melalui langgar dan masjid di pedesaan maupun di pesantren yang rutin mengadakan pembacaan shalawat secara sederhana maupun masyarakat moderat perkotaan yang dikemas megah dalam majlis-majlis ataupun event besar dalam rangka memperingati maulid nabi. Hal tersebut merupakan upaya umat Islam dalam rangka menyuarakan cintanya kepada sang nabi seraya berharap mendapatkan syafaatnya kelak, disisi lain hal tersebut juga merupakan ajang apresiasi sastra yang menurut para ahli adalah “kegiatan mengakrabi karya sastra secara sungguh-sungguh. Adapun dalam mengakrabi tersebut terjadi proses pengenalan, pemahaman, penghayatan, penikmatan, dan setelah itu penerapan.”
Pengenalan terhadap karya sastra dapat dilakukan melalui membaca, mendengar , dan menonton. Kesungguhan dalam kegiatan tersebut akan menuju tingkat pemahaman. Pemahaman terhadap karya sastra akan membuat penghayatan. Sedangkan Indikator yang dapat dilihat setelah menghayati karya sastra adalah jika bacaan, pendengaran, atau tontonan sedih ia akan ikut sedih, jika gembira ia ikut gembira, begitu seterusnya. Hal itu terjadi seolah-olah ia melihat, mendengar, dan merasakan dari apa yang dibacanya. Ia benar-benar terlibat dengan karya sastra yang digeluti atau diakrabinya.
Paling tidak sampai saat ini ada 4 kitab (antologi) shalawat yan sering disenandungkan di Indonesia, yakni antologi Burdah yang berisi kumpulan syair (puisi) karya Imam Al-Bushiri. Kemudian kitab Maulid Ad-diba’i karya Imam Ibn Diba’ yang jika di pesantren ataupun di desa ketika membacakan kitab ini disebut dengan diba’an/dziba’an. Kemudian ada kitab bernama Maulid Simtudduror karya Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi atau dibeberapa daerah dikenal dengan kitab Maulid Al-Habsyi. Dan yang terakhir adalah kitab ‘Iqd Al-jawahir atau yang lebih populer dengan nama Al-Barzanjiy karya Syekh Ja’far al-Barzanji bin Hasan bin Abdul Karim yang kemudian di Indonesia pernah diadaptasi oleh W.S. Rendra bersama Syu’bah Asa menjadi sebuah naskah pementasan teater berjudul “Qasidah Barzanji”.
Dengan demikian, secara tidak langsung proses yang telah terjadi pada pasar seni ‘Ukadz dengan masuknya Islam di wilayah Arab yang berjalan dengan damai juga terjadi di Indonesia melalui tradisi dan agama yang berjalan bersama. Memang agama bisa dikatakan adalah “karya” Allah, sedangkan budaya/tradisi adalah karya manusia. Namun demikian, agama bukan bagian dari budaya dan budaya pun bukan bagian dari agama. Ini bukan berarti bahwa keduannya terpisah, melainkan saling berhubungan erat satu sama lain.