Seberapa sering kita takut? Kenapa kita takut? Banyak sekali ketakutan dari pada keberanian kita. Akhir akhir ini kita disuguhi dengan fenomena ketakutan yang luar biasa.
Tahun kemarin, pemerintah Jokowi takut akan pergerakan HTI yang dianggap meresahkan, lalu HTI secara politis dibubarkan dan organisasinya dilarang. Sekarang, para pemuda berbaju Banser takut akan gerilya HTI, terutama di Jawa Barat, dan ketakutan-ketakutan itu diekspresikan dengan pembakaran bendera.
Benar, bahwa isu pembakaran bendera yang dibesar-besarkan adalah sinyalemen bahwa nyala HTI belum sepenuhnya padam. Mereka tidak bubar barisan, melainkan hanya sementara mundur dari ruang publik untuk merancang strategi yang lain.
Ketakutan suatu kelompok yang menginduk pada organisasi terbesar negeri ini terhadap HTI itu persis dengan ketakutan Orde Baru terhadap Komunisme. Terlepas dari isu pemberontakan yang tidak pernah jelas, para komunis dianggap memiliki idea yang berlawanan dengan Pancasila.
Ketakutan itu berakhir pada pembubaran PKI dan menjadikanya sebagai organisasi terlarang. Narasi yang sama berlaku untuk organisasi lainya yang dibubarkan dengan alasan ketakutan. Pada akhirnya kita bisa melihat, bahwa PKI tidak benar-benar mati. Teori komunisme masih diajarkan di kampus-kampus, Das Kapital masih menjadi buku favorit para mahasiswa, dan simpatisan korban pembubaran PKI masih begitu banyak.
Begitu juga HTI, mereka dipaksa mundur dari ruang politik, akan tetapi paksaan itu membuat mereka maju dalam ruang-ruang dakwah di masjid-masjid, kampus-kampus, dan sekolah-sekolah yang dibiayai negara. Maka tidak heran jika Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah kemudian menemukan bahwa pendidikan keagamaan di Indonesia semakin “syar’i”, intoleran dan anak didik semakin radikal.
Mengelola Ketakutan
Tentu saja kita perlu takut, bagaimana jika organisasi-organisasi radikal dibiarkan, tidak dilarang dan maka akan semakin mengancam eksistensi keagamaan dan keberagaman kita. Di sini, saya akan mengutip Yuval Noah Harari bahwa sekalipun teroris, mereka hanyalah sekelompok kecil dari masyarakat.
Dia mengibaratkan sekelompok kecil ini seperti lalat yang mencoba merusak toko Cina yang besar, si lalat teramat kecil bahkan untuk menggoyang cangkir saja tidak bisa. Lalu si lalat menemukan kerbau, masuk ke dalam telinganya dan mulai berdengung. Si kerbau panik dan ketakutan, lalu berlari kencang dan merusak toko Cina (2013:11).
Apa yang bisa kita petik dalam perumpamaan ini adalah bahwasanya kelompok-kelompok radikal yang intoleran itu sebenarnya kecil. Ketakutan yang berlebihanlah yang menjadikan HTI seolah-olah besar dan punya kekuatan. Sehingga, dalam perumpamaan kerbau yang sebenarnya ingin menyingkirkan lalat, karena ketakutan berlebih malah melukai tubuhnya sendiri.
Kemudian, bisa kita lihat berapa banyak warga NU yang kemudian simpati kepada HTI (setidaknya pada benderanya) dan menganggap Banser arogan, tidak punya etika, narsis, dll. Maka dalam jebakan penilaian etika dan moral (ethical judgment), sesungguhnya Banser telah kalah 1:0 dari rivalnya. Meskipun dalam kacamata yang lain Banser tidak bersalah.
Jika kita kaji, telah ada da banyak study tentang bagaimana kita takut dan apa yang terjadi ketika kita takut terhadap suatu kelompok tertentu. Sedikit yang saya kutip dari Journal of neuroscience bahwa ketika kita takut setidaknya ada tiga hal yang akan terjadi yaitu kita mulai menerima sikap-sikap otoriter, mulai nyaman dengan sikap-sikap otoriter dan menerima prasangka yang dibuat untuk mengukuhkan otoritarianisme.
Untuk menghindari ketakutan seperti ini, maka satu hal yang perlu dilakukan oleh Banser adalah dengan menunjukkan keberanian dan menghilangkan ketakutan. Sebagaimana sikap pemberani, mereka tetap tenang dan kalem meskipun rival membusungkan dada di depan mata dan seolah-olah besar.
Dengan mengelola endapan-endapan ketakutan, kita akan punya banyak waktu untuk menanamkan kewarasan dalam pendidikan yang semakin intoleran, menceritakan kedamaian dalam narasi tanpa ketakutan.
Dari artikel yg saya baca di atas, saya dapat menyimpulkan bahwa sebenarya konflik” yg terjadi sekarang ini ada actor di balik ini semua. Yang patut di curigai yaitu Badan Intelejen Negara (BIN) kenapa??? Dari pengamatan saya tentang konflik yg terjadi sekarang seperti sudah ada peasanan dari orang” yg ingin membenturkan umat dengan umat terutama umat islam Indonesia. Jadi mari bersatu jaga persatuan dan ukhuwah islamiah, bangkit negriku dengan islam ku…
Dan yang lebih menakutkan dari pada musuh adalah setan netijen jaman now yang mudah murka karena headline yang dibuat se-sensasional mungkin ???