Sedang Membaca
Ziarah di Kawasan Kota Tua Kairo (3): Kepiluan di balik Madrasah Imam al-Aini
Alfan Khumaidi
Penulis Kolom

Penulis kelahiran Banyuwangi. Alumni Blokagung yang kini domisili di Old Cairo, Mesir.

Ziarah di Kawasan Kota Tua Kairo (3): Kepiluan di balik Madrasah Imam al-Aini

Whatsapp Image 2020 06 16 At 19.20.04

Di Jalan Muhammad Abduh, belakang Al-Azhar tepat akan kita dapati sebuah bangunan khas bangunan klasik. Ada menara dan kubah. Juga iwan. Itu adalah zawiyah dan madrasah Imam al-Aini yang nampak seperti masjid. Kalau dari Al-Azhar hendak ke kampus, atau sebaliknya, di belokan ujung Haret Duwaidari.

Bangunan ini sudah cukup tua. Dari model tempatnya yang tidak besar, hanya sebuah iwan kecil di timur dan barat, dan ruangan paling utara yang agak besar dari kedua iwan yang kini digunakan untuk shalat jamaah, juga bagian selatan yang kini tempat wudu dan buang air, nampak kalau tempat ini memang dulunya tidak dibuat sebagai masjid, tapi zawiyah dan madrasah. Begitu terkaan Dr. Suad Maher dalam Masajid Masr. Tapi murid al-Aini sendiri, yaitu as-Sakhawi, dalam at-Tibr al-Masbuk sempat menyinggung madrasah ini dengan spesifik digunakan oleh al-Aini untuk tempat berkhotbah (jumat). Itu jelas menunjukkan bahwa selain zawiyah dan madrasah, tempat ini memang diperuntukkan untuk masjid. Apalagi memang ada tempat yang agak luas sebagaimana sekarang digunakan shalat jamaah.

Madrasah ini dibangun 814 H/ 1411 M. Kendati ia makmur dengan orang shalat, para pelajar dan kaum sufi, sebenarnya madrasah ini bingkai dari monokorom pilu pendirinya. Lima tahun setelah ia bangun madrasah ini, tepatnya pada tahun 819 H istrinya, Ummul Khair, wafat dan dimakamkan di sini. 3 tahun kemudian, tahun 822 H, Abdurrahman anaknya menyusul ibunya terkena wabah thaun. Kemudian tahun 833 H empat anaknya, 3 laki-laki dan 1 putri, meninggal terserang wabah thaun juga. Kemudian disusul oleh putri beliau yang lain. Semua dimakamkan di sini.

Baca juga:  Serunya Merayakan Hari Asyura di Maroko

Nasib baik masih bersamanya ketika masih ada anak lali-laki yang masih bertahan menemaninya. Abdurrahim yang kelak meninggal tahun 864 H, juga tokoh yang alim. Seperti ayahnya, ia juga punya syarah atas Shahih al-Bukhari dan juga syarah atas Kanzud Daqaiq dalam fikih hanafi.

Imam al-Aini dengan nama asli Mahmud bin Ahmad bin Musa bin Ahmad bin Husein bin Yusuf bin Mahmud berlaqab Badruddin. Ia lahir di Aintab. Dua kata yang digabung dari “ain” dan “taab”. Sebuah daerah dekat Alepo Syiria yang belakangan bersengketa dengan Turki dan kemudian berakhir dengan masuk wilayah Turki.

Dari daerah inilah ulama besar Hanafiyah yang lahir pada Ramadan tahun 762 H itu dikenal dengan al-Aintabi sebagaimana masyhur di masa itu, makanya as-Sakhawi dalam at-Tibr al-Masbuk menggunakan nisbat ini. Kemudian beliau lebih dikenal dengan al-Aini. Dengan nisbat pada “ain” dengan membuang “taab”.

Ayahnya seorang terpandang di Aintab, jabatan prestis yang dipegang adalah qadhi. Ia tumbuh kembang dan belajar di kampungnya hingga menjadi qadhi di Aintab sebagaimana ayahnya. Tak puas dengan belajar di kampung sendiri, ia rihlah ke Halab atau Alepo, Damaskus, Quds dan Hijaz. Tahun 788 ia ke Kairo dengan membawa segudang ilmu dan harapan. Di sana ia bergabung bersama kaum sufi di Barquqiyah. Terus belajar dan belajar. Berguru kepada para tokoh besar di Kairo seperi al-Hafizh al-Iraqi, Sirajuddin al-Bulqini dan lainnya.

Baca juga:  Dari Nunjungan Menebarkan Kelezatan Mi Tek-tek

Lalu mengajar di al-Muayyadiyah dan al-Mahmudiyah. Sebagai ulama yang produktif, hari-harinya disibukkan sengan mengajar dan menulis. Sehingga pantas saja as-Sakhawi dalam at-Tibr mengatakan bahwa setelah syaikhina, maksudnya al-Hafizh Ibn Hajar al-Asqalani, di masanya tidak ada yang banyak menganggit kitab kecuali Imam al-Aini ini.

Di Mesir ia memegang jabatan sangat prestis yaitu menjadi pejabat hisbah Kairo yang sebelumnya dipegang sejarawan besar al-Maqrizi, menjadi qadhi cum sebagai pengawas wakaf. As-Sakhawi mengatakan bahwa tiada tokoh yang memegang tiga jabatan mentereng sekaligus kecuali al-Aini.

Selain bahasa Arab, beliau juga sangat menguasai bahasa Turki. Karena para penguasa Mamalik itu orang-orang Turki, banyak juga yang tidak bisa bahasa Arab. Termasuk Sultan Barsibay. Oleh sebab itu Sultan kerap mengundang Al-Aini ke istana guna mengajari ulum syar’iyah dengan bahasa pengantar Turki. Ia juga membacakan kitab sejarahnya yang berjudul ‘Iqdul Juman pada Sultan. Karena Sultan tertarik, kitab sejarah itu akhirnya diterjemahkan ke Turki.

Di madrasah ini ada banyak makam. Di Mesir, tentunya di kawasan Arab lain, kubah identik dengan makam. Ini kalau gaya bangunan lama ya. Makanya kalau cari makam di banguna klasik di Mesir mudah saja. Cari mana kubahnya maka di sana makamnya. Sampai ada adagium populer, “tahta qubah turbah. Di bawah kubah itu makam,”. Nah, adagium ini berlaku di Madarasah al-Aini.

Baca juga:  Bincang Santai Bersama Budayawan M. Irfan Afifi

Di belakang tepat ruang yang kini digunakan shalat, atau utara iwan bagian barat yang sekarang digunakan mushala (tempat shalat) bagi perempuan, terdapat pusara. Selain makam istri dan anak-anaknya yang disebut di awal, di pusara ini dimakamkan dua tokoh besar: pendiri madrasah ini yaitu al-Aini sendiri dan Syihabuddin al-Qasthalani (923 H).

Keduanya memiliki syarah atas bukhari. Al-Aini punya Umdatul Qari yang sangat tebal berjilid-jilid itu, al-Qasthalani punya Irsyadussari yang juga sangat panjang. Untuk Syekh al-Qasthalani, menceritakannya harus di tempat lain. Supaya lebih leluasa.

Alhamdulillah madrasah ini sampai sekarang masih makmur. Diuri-uri oleh para masyayikh Al-Azhar. Khususnya dari kalangan Sadah Ahnaf (masyayikh hanafiyah). Sekarang syeikhul madrasahnya Maulana Syekh Prof. Muhammad Salim Abu Ashi al-Hanafi. Guru besar ilmu tafsir yang kecenderungan ilmu aqliyatnya begitu menonjol seperti gurunya, Maulana Syekh Prof. Ibrahim Khalifah allah yarhamuh.

Saat masih sekolah S1 dulu tempat ini sangat berarti dan berkesan bagi saya. Khususnya di tahun-tahun terakhir. Karena ujian kami anak Syariah Islamiyah bakda Zuhur, atau tepatnya pukul satu siang, saya shalat zuhur di masjid ini. Memanjatkan harapan taufiq untuk kelancaran ujian. Sepulang ujian sudah masuk Asar, sambil nuggu bus 80 coret atau 24 jim jurusan Nasr City, saya shalat Asar di masjid depan terminal Darrasah. Masjid Sidi Syekh Sholeh al-Ja’fari. Memanjatkan harapan semoga ujian yang dilalui diberi kelulusan.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Scroll To Top