Sedang Membaca
Zairah di Kawasan Kota Tua Kairo (1): Makam al-Hafizh al-Iraqi
Alfan Khumaidi
Penulis Kolom

Penulis kelahiran Banyuwangi. Alumni Blokagung yang kini domisili di Old Cairo, Mesir.

Zairah di Kawasan Kota Tua Kairo (1): Makam al-Hafizh al-Iraqi

Whatsapp Image 2020 06 16 At 19.27.48

Jika Jumat untuk penghulu hari bagi umat Muslim, Sabtu sebagai hari bakti Yahudi dan Minggu sebagai hari ibadah umat Krsiten, maka Kamis (sampai Jumat sore) adalah hari dianjurkan ziarah.

Di Mesir jika kalian melewati komplek pemakaman umum lalu ada ibu-ibu yang menjajakan bunga dan kalian sedang lupa hari, yakinlah bawa hari itu adalah Kamis, atau Jumat.

Tiga bulan suntuk tidak bebas keluar. Keluar harus pakai masker dan siang terasa sempit sebab ada jam malam sejak pukul 6 malam sampai pukul 6 pagi. Selama ini jam malam berubah-ubah sih. Sebelum puasa, saat puasa dan lebaran jam malam di Mesir berubah.

Waktu yang tepat untuk keluar adalah pagi. Pagi di musim yang belum terlalu panas cum musim pagebluk adalah pagi yang tanpa polusi. Sepi dan anginnya yang segar sekali. Tanpa direncakan Kamis pagi kemaren kita putuskan rute jalan-jalan sekitar rumah sekalian sowan ke Syekh Ibnu Hisyam al-Asnhari penganggit mughnil labib dan qathrunnada yang masyhur itu. Tanpa direncakan juga saat menuju Ibnu Hisyam, kami melewat masjid Sidi al-Iraqi.

Kawasan kami tinggal di Gamaleya masuk Old Cairo. Kairo asli di era dibentuknya oleh Jauhar al-Qaid era Fatimiyah pada Abad 4 H. Old Cairo yang kecil diputari benteng raksasa adalah pusat pemerintahan, intelektual, ekonomi dan segala hal. Dua istana besar dan kecil Fatimiyah di sini. Al-Azhar, madrasah-madrasah dan khanqawat [tempat para sufi berkontemplasi] berdiri di sini. Berjajar gagah seolah saling tak mau kalah.

Jejak intelektual di daerah sini bukan hanya bangunan era Fatimiyah, Ayubiyah, Mamluk hingga Ustmaniyah, tapi juga para ahlul bait dan ulama tidak sedikit yang dimakamkan di sini.

Kali ini saya hendak bercerita al-Hafizh al-Iraqi yang kita ziarahi Kamis kemarin. Sosok besar guru takhrij (istilah bahwa kealim allamahan murid lahir dari sang guru) al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani sebagaimana kata al-Hafizh as-Suyuti dalam Husnul Muhadharah. Ibnu Hajar tentu memang punya banyak guru, baik guru riwayah atau dirayah, tapi guru inti beliau adalah al-Hafizh al-Iraqi ini. Jika muridnya saja (Ibnu Hajar) jadi amirul mukminin fil hadits, bagaimana sosok sang guru?

Baca juga:  Cadar di Pesantren NU

Sebagaimana kita tahu secara spontan dari laqab atau julukannya: al-Iraqi, beliau asal dari Irak. Dari laqab ini juga ada beberapa penulis yang keliru sehingga meyakini bahwa al-Iraqi adalah ulama Irak yg hidup dan meninggal di Irak.

Namun itu bukan berati beliau ulama Irak. Beliau lahir dan meninggal di Kairo. Saat kemelut politik di Irak, ayahnya yang masih berumur 9/10 tahun diboyong ke Mesir oleh dua pamannya.

Husein, sang ayah, kemudin mukim di Kairo. Di sebuah daerah bernama Mansyeat al-Mehrani pinggir sungai Nile. Menurut penelitian Syekh Prof. Ahmad Ma’bad Abdul Karim saat menyusun disertasi, daerah itu sekarang jatuh antara RS Qasr el-Aini Lama dan Famm el-Khalij square dekat Nile, bukan di Bab el-Louq meski di sana sekarang ada sebuah daerah dengan nama yang sama.

Di sanalah tahun 725 H tokoh ilmu hadits besar bernama Abdurrahim itu lahir. Nama lengkap berikut laqab, kuniyah dan nisbat daerah adalah Zainuddin (laqab] Abul Fadhal [kuniyah] Abdurrahim [namanya] bin Husein bin Abdurrahman bin Abu Bakar bin Ibrahim.

Sejak kecil ia sudah hafal alquran berikut kitab-kitab yang lain. Mula-mula ia serius dalam menekuni ilmu qiraat, lalu nyegoro dalam ilmu fikih dengan berguru pada al-Isnawi dan Ilmu Hadis kepada ibn Jamaah.

Guru-gurunya memuji kecerdasan al-Iraqi. Pujian dari para guru yang menjadi tokoh besar di masanya seperti al-Isnawi, Ibnu Jamaah, Taqiyuddin as-Subki dan lainnya adalah penghormatan yg tidak bisa dinilai. Kendati ia multidisiplin, tapi yang paling terkenal dari beliau adalah kepakarannya dalam ilmu hadis sampai-sampai gurunya, al-Isnawi, menjukukinya sebagai Hafizhul ashr!

Baca juga:  Meresapi Segarnya Taitung (3): Jejak Takeshi Kaneshiro di Mr. Brown Avenue

Keseriusan dan ketekunannya dalam belajar membuat al-Iraqi mengundur waktu menikah. Ia menikah umur 36 tahun dengan memperistri anak tentara Mamalik yang umur belasan tahun. Kelihatan tidak selevel memang, tapi keduanya sangat harmonis. Itu dibuktikan keduanya kompak melakukan perjalanan panjang ke Damaskus demi untuk belajar. Melakukan rihlah haji berkali-kali berikut mukim di Hijaz.

Istrinya sosok pembelajar yang baik. Al-Iraqi adalah suaminya berikum gurunya. Ia belajar hadis dan ulum syar’iyah lain pada suaminya hingga meninggal terserang pandemi Thaun dalam keadaan hamil di samping suaminya.

Dari istrinya itu lahirlah anak yang kelak menjadi ulama besar juga lagi produktif menulis. Ia adalah Waliyudin Abu Zur’ah Al-Iraqi. Dididik oleh ayahnya sebelum berguru kepada ulana yang lain. Membersamai ayahnya selama 40 tahun, sampai beberapa karya ayahnya yang tidak selesai kelak ia yang yang meneruskan. Di antaranya adalah kitab hadis berjilid-jilid syarah at-Taqrib yang berjudul Tharhut Tastsrib.

Beliau ulama yang sangat produktif. Melahirkan anak didik yang menjadi ulama diperhitungkan, juga produktif. Yang paling masyhur adalah dua alfiyahnya. Alfiyah dalam ilmu hadis dan alfiyah dalam sirah nabawiyah. Para ulama kemudian banyak yang mengkaji alfiyahnya. Baik dengan cara menghafalnya, mengajarkannya, meringkas atau nemberi anotasi atasnya.

Selain itu jika kita membaca cover kitab Ihya Ulumiddin Imam Ghzali, kita dapati ada catatan kaki sebuah takhrij hadis dalam Ihya yang berjudul al-Mughni fi takhriji ma fil ihya minal akhbar, itulah takhrij hadis ihya kesohor karya al-Hafizh al-Iraqi yang ditulis sebelum menikah.

Beliau terus menebar ilmu dan kebaikan hingga wafat pada tahun 806 H di umur 81 tahun.

Nasib makamnya kini tanpa jejak. Tak ada tanda-tanda sedikitpun di mana letak jasad al-Hafizh al-Iraqi dan anaknya, Abu Zur’ah al-Iraqi dikebumikan. Hanya bangunan masjid dengan nama Abdurrahim al-Iraqi. Itu saja.

Baca juga:  Menyambangi Pesantren Tua Balekambang

45 tahun lalu, atau tepatnya pada tahun 1975, Syekh Prof. Ahmad Ma’bad saat melakukan investigasi letak makam al-Hafizh al-Iraqi guna keperluan penulisan disertasi. Beliau masih temukan ada makam berikut papan nama di sana. Tepatanya jika kita masuk masjid makamnya ada di sebelah kiri kita.

Sebagaimana dituturkan oleh Syekh Prof. Ahmad Ma’bad, dulu hanya makam, tak ada bangunan sebab di kawasan sana masih longgar. Setelah ada sekelompok orang yang hendak membongkar dan memindahkan makamnya untuk digunakan lahan parkir mobil, Syekh Muhammad Ahmad Athiyah menggerakan masyarakat sekitar untuk bersama membangun masjid di atasnya.

Persinggungan keras antar yang pro dan kontra terus berlangsung. Banyak yg meragukan bahwa di sana ada makam, sebab sepelemparan batu dari sana ke arah utara ada kompleks pemakaman umum di mana kelak Ibnu Khaldun, Al-Maqrizi, Ibnu Hisyam dan Ali al-Khawash dimakamkan. [Kini dua nama pertama yg saya sebut hilang tidak terdeteksi lagi. Sayang sekali]. Tentu itu cukup beralasan bagi pihak kontra ragu keberadaan makam. Di sebelah timurnya juga terdapat komplek pemakaman shahra’ al-mamalik atau dikenal dengan Qarrafah al-Mujawirin.

Akhirnya untuk membuktikan mereka membongkar makam dan ditemukan jenazah dengan kain kafan yang masih utuh dan di bawah kedua kalinya ada satu jenazah lagi. Buku-buku sejarah dan biografi menyebutkan bahwa Abu Zur’ah al-Iraqi dimakamkan di bawah kedua kaki ayahnya.

Bangunan masjid sekarang terhitung baru. Di sana juga ada dar munasabat atau semacam aula. Depan aula asri ada pepohonan.

Mencari masjidnya mudah. Ke Gamaleya, tanya tempat arena olahraga Nadi Syabab Gamaleya. Dari Nadi Syabab, seberangnya ada gang. Masuk ke sana. Lurus. Di ujung kalian akan temukan masjid dengan nama Masjid Sidi al-Iraqi.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Scroll To Top