Alfan Khumaidi
Penulis Kolom

Penulis kelahiran Banyuwangi. Alumni Blokagung yang kini domisili di Old Cairo, Mesir.

Kubah Imam Syafii dan Simbol Perahu di Atasnya

Whatsapp Image 2020 07 06 At 09.32.03

Setelah menumbangkan suara Dinasti Fatimiyah dari dalam dan mendeklarasikan Mesir di bawah kuasa Abbasiyah, Sultan Shalahuddin membangun banyak madrasah guna memulihkan mazhab asal Mesir yaitu Sunni yang sudah nyaris tiga Abad dikuasai Fatimiyah Syiah Ismailiyah.

Mazhab resmi yang ia pilih adalah mazhab Syafii. Salah satu alasan paling nyata selain waktu itu mazhab ini sudah dikenal luas oleh masyarakat Mesir dan dia sendiri bermazhab Syafii, pendiri mazhabnya, Imam Syafii sendiri, melakukan aktivitas intelektual terakhirnya di Mesir, juga meninggal dan dimakamkan di Mesir. Hal ini tentu nilai psikologis yang tidak bisa dibiarkan begitu saja.

Imam Syafii dimakamkan di Qarrafah Shughra (yang kemudian lebih dikenal dengan Qarrafah Imam Syafii) tepatnya di kompleks pemakaman keluarga karibnya saat sama-sama nyantri di Madinah pada Imam Malik. Yaitu Syekh Abdullah bin Abdilhakam yang kelak ia juga dimakamkan di sampingnya.

Sejak dulu makam Imam Syafii sudah menjadi salah satu poros ziarah masyarakat Mesir, hanya saja tempatnya masih ala kadarnya. Sampai datang Sultan Shalahuddin Ayub memugarnya pada tahun 572 H.

Di tahun yang sama beliau mendirikan sebuah madrasah Syafiiyah besar di dekat makam. Madrasah Shalahiyah namanya. Nisbat pada pendirinya. Madrasah yang selesai dibangun tahun 575 H itu juga dikenal dengan nama Tajul Madaaris/Mahkota Madrasah sebab ia kemudian menjadi inti penyebaran mazhab Syafii di seluruh Mesir dan sekitarnya. Madrasah ini terus lestari sampai kelak pengajar dan syeikhul madrasahnya (direktur tinggi madrasah) harus ulama yang menjabat Syeikhul Azhar (grand syekh) juga sebagaimana kata Ali Abdul Azhim dalam Masyyakhatul Azhar saat menceritakan biografi Syekh Ahmad al-Arusi.

Baca juga:  Tari Sintung Sumenep: Susur Galur, Rekacipta dan Pembagian Identitas

Tahun 608 H, Sultan kelima Ayubiyah Sultan al-Kamil membangun kubah yang megah di atas makam Imam Syafii. Di sana pula ibunya dimakamkan. Salah satu kubah tercantik di Mesir itu berbahan kayu yang dilapisi timah.

Kubah dan bangunan penopangnya yang gagah ini kemudian direnovasi oleh Sultan Mamalik Sultan Qaytbai tahun 885 H, lalu disusul oleh Sultan Mamalik Sultan Al-Ghuri. Tak heran jika kemudian gaya bangunan di kubah ini sangat khas Dinasti Mamalik.

Tahun 1186 H/1172 H dipugar kembali sehingga meski nampak klasik tapi masih kokoh. Belakangan, tiga tahun terakhir ini direnovasi lagi dan melakukan penggalian arkeologi di mana kemudian ditemukan beberapa makam di sekitar kubah itu sebagaimana sejarawan berkata bahwa al-Aziz Utsman putra Sultan Shalahuddin dan lainnya dimakamkan di sana meski tidak terdeteksi di sebelah mana.

Kubah ini tak hanya megah dan khas bangunan lawas, tapi sekali pandang pada kubah mata kita akan membentur pada simbol berbentuk perahu mewah.

Kubah kayu berlapis timah dengan simbol perahu di atasnya ini gaya sebagaimana awal dibangun era Ayubiyah. Bukan baru-baru ini. Itu dibuktikan salah satunya dengan syair pemilik burdah yaitu Imam al-Bushiri (W. 695 H) yang memberi kesaksian:

بقبة قبر الشافعي سفينة # رست في بناء محكم فوق جلمود

Baca juga:  Kho Ping Hoo, Kebudayaan, dan Kita

Banyak orang yang menerka bahwa perahu dengan atasnya bersimbol bulan sabit itu untuk memberi makan dan minum burung sebagaimana tradisi orang Mesir sejak dulu sampai sekarang yang menyediakan tempat khusus makan untuk hewan, baik burung atau anjing dan kucing.

Hasan Abdul Wahhab dalam Tarikhul Masajid al-Atsariyah menilai bahwa orang pertama yang mengartikan demikian (maksudnya perahu itu sebagai tempat makanan dan minuman burung) adalah Bahauddin al-Amili yang ziarah ke sana tahun 992 H, kemudian diikuti oleh Abdul Ghani An-Nabulsi dalam al-Haqiqah wal-Majaz yang ziarah ke Mesir tahun 1105 H / 1692 M.

Asumsi ini susah dinalar. Perahu di pucuk kubah setinggi itu sangat tidak mungkin untuk memberi makan burung. Bagaimana mungkin naik turun setiap hari. Apalagi tempat makanan hewan di Mesir, untuk burung sekalipun, tidak ada yang bertempat di ujung tertinggi bangunan. Hasan Abdul Wahhab juga berasumsi demikian. Lalu apakah ada makna filosofisnya?

Simbol perahu itu disebut dengan “usyara”. Nama dari sebuah perahu tidak besar yang mewah di Nile dan danau yang dikhususkan untuk sultan atau petinggi pemerintah.

Perahu tak pernah berjalan di atas darat. Ia di air. Di samudera. Bumi kita didominasi oleh air. Kira-kira tujuh puluh persen permukaan bumi tertutup oleh air.

Baca juga:  Wayang, Medium Komunikasi dan Dakwah Lintas Kelas

Perahu itu sebagai simbol bahwa yang dimakamkan di bawahnya, Imam Muhammad bin Idris asy-Syafii, adalah samudera ilmu (bahrul ulum) yang diyakini sebagai terjemah wujud dari sabda Rasululullah yang berkata, “Alim Quraisy yang ilmunya memenuhi bumi,”

Ala kulli hal, baik yang meyakini usyara itu sebagai wadah makanan burung atau bukan, namun mereka sepakat memberi makna filosofis yang sama seperti di atas.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
8
Ingin Tahu
6
Senang
5
Terhibur
4
Terinspirasi
10
Terkejut
2
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top