Alfan Khumaidi
Penulis Kolom

Penulis kelahiran Banyuwangi. Alumni Blokagung yang kini domisili di Old Cairo, Mesir.

Kisah Ahli Ibadah yang Bercinta dengan Kuda

Semangat beragama haruslah didadasari dengan ilmu yang memadahi. Setidaknya jika tidak berilmu minimal memiliki sandaran bertanya perihal ibadah, hukum, akhlak, dan dan ilmu-ilmu yang lengkap. Syukur syukur memiliki guru yang tidak hanya alim, abid, dan keren secara sosial.

Hanya semangat tapi tanpa didukung dengan keilmuan yang baik tentu akan berujung petaka. Permasalah permasalahan sekarang kian kompleks sebab banyak orang yang semangat tapi kurang teredukasi denga baik.

Abdullah al-Haddad dalam Risalatul Muawanah mengutip sebuah kisah dalam al-Futuhat al-Makkiyah karya Ibnu Arabi.

Nukilan ini saya kira salah satu bentuk “inshafnya” Al-Haddad pada Ibnu Arabi. Kita tahu bahwa ia salah satu ulama Aswaja yang melarang membaca buku-buku Ibnu Arabi. Tapi dalam beberapa karyanya ia justru kerap mengutip dari orang yang ditahdzirnya sendiri. Itu menunjukkan bahwa tahdzirnya bukan karena isi kitab-kitab itu melenceng melainkan banyak diksi dan istilah yang digunakan oleh Ibnu Arabi, termasuk Abdul Qadir al-Jilani, yang rentan dipahami tidak semestinya.

Ibnu Arabi berkisah, dahulu kala di sebuah kampung di Maghrib (Maghrib dulu meliputi Maroko, Tunisia dan yang lain. Kalau modern ini disebut Maghrib maka maksudnya Maroko) ada seorang yang rajin beribadah. Bahkan ia tidak keluar rumah kecuali hanya untuk sembahyang di masjid terdekat. Waktunya di rumah diisi dengan ibadah. Ia juga tidak menikah, alias menjomblokan diri. Barangkali dipikirnya menikah bukan ibadah dan justru menghalanginya untuk beribadah!

Baca juga:  Hidayah itu Terserah Allah

Masyarakat tahu ia kapan hari membeli seekor kuda. Tapi aneh. Ia mahal-mahal memebeli kuda tapi tidak pernah tampak menungganginya barang sekali dua kali, pergi ke pasar atau sekedar olah raga. Ya minimal untuk jalan-jalan di ujung sore.

Kuda itu barang mahal. Ia komoditi mewah yang tidak semua orang mampu untuk membelinya. Kalau sekarang barangkali bisa disamakan dengan mobil yang lumayan mewah. Lah mahal mahal membeli mobil kok malah sama sekali tidak pernah dipakai. Siapa pun yang tahu pastinya juga ingin bertanya.

Ada juga tetangga yang tidak kuat menahan gejolak pertanyaan. Akhirnya ia bertanya kenapa kudanya tidak pernah tampak diajak keluar. Ia, orang yang ahli ibadah ini, menjawabnya dengan penuh mantap dan bangga:

“Saya membelinya bukan untuk keperluan jalan-jalan atau keluar jauh, tapi untuk menjaga gejolak nafsu saya.”

Iya. Ia membeli kuda untuk disetubuhi kalau pas lagi nafsu, hasrat bercinta. Barangkali ia berpikir sederhana soal luapan nafsu bilogis nan manusiawi itu. Kalau memang lagi pengen disalurin, ya bisa pakai hewan, salah satunya kuda. Tidak perlu menikah lalu harus memikirkan bekerja untuk nafkah, mikir anak dan segala hal konsekuwensi dari menikah. Dan semua itu mungkin dipikirnya ibadah yang kurang afdal.

Baca juga:  Jakfar ibn Abi Thalib: Laki-laki Surga, yang Paling Mirip dengan Nabi

Ia tidak tahu kalau menyetubuhi hewan itu dosa lagi hina. Dipikirnya baik-baik dan sah-sah saja. Makanya hal yang wajib secara global bagi seluruh umat muslim adalah mengetahui segala kewajiban yang diwajibkan untuknya (tentu juga harus tahu cara menunaikan kewajibannya itu) berikut segala hal haram yang harus ditinggalkan.

Semangt beragama, apalagi yang lebih krusial seperti ibadah, tanpa didasari atau ditashih kepada guru terlebih dahulu membuat potensi masalah kian besar.

Karena jahil juga, ulama berkata, bahwa tidurnya orang yang berilmu sangat jauh lebih bagus daripada ibadahanya orang yang jahil dalam ibadahnya. Makjleb kan?

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
1
Terhibur
1
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top