Tradisi ziarah makam sudah sangat kuno sekuno eksistensi manusia. Ziarah menjadi kebutuhan, tradisi dan fenomena sosial sebelum menjadi bagian dari syariat Islam. Karena sebuah tradisi maka masing-masing bangsa dan daerah memiliki kebiasaan dan cara yang berbeda saat ziarah.
Jazirah Arab pra Islam didominasi oleh kaum pagan. Penyembah berhala yang mereka buat sendiri, bahkan nyaris tiap suku punya berhala sendiri dan tiap masalah ada tuhannya sendiri. Mereka berpikir kalau masalah kian kompleks maka tempat mengadu harus disektorkan. Kondisi semacam ini tentu rentan terjadi penyelewengan dalam berziarah ke makam orang saleh atau tokoh.
Manusia terkadang butuh dekat secara fisik untuk merasakan emosional yang kuat. Karena itu para tokoh lintas sejarah
, entah baik atau buruk, sebelum melakukan hal besar ia akan melakukan sesuatu sebagai upaya mendekatkan emosional dengan leluhur atau yg ditokohkan. Di antara upaya itu dengan cara tapak tilas atau berziarah ke pusaranya.
Dari latar belakang kondisi sosial budaya masyarakat Arab seperti itu tidak heran jika awal mulanya Rasulullah mengharamkan ziarah hingga kelak saat kondisi mental umat Islam dinilai sudah stabil karena ditopang oleh iman yang percaya bahwa siapapun selain Allah Sang Khaliq tak mampu memberi manfaat atau menimpakan mudarat, juga alasan lain, maka Rasulullah mencabut diktum larangan itu dengan berkata,”Ziarahlah ke makam!”. Kendati arahan ini keluar dengan nada perintah tapi itu tidak bermakna wajib, karena perintah jika datang setelah larangan berarti mubah, tak lagi wajib.
Tidak cukup di ucapan saja, untuk menegaskan ziarah bukan hal yang dilarang lagi, Rasulullah melakukan ziarah ke Baqi’. Bahkan itu terjadi berulang kali! Dari mana kita tahu beliau ziarah beliau berulang kali? Salah satunya dari hadis Sayyidah Aisyah yang menggunakan redaksi “yakhruj/sering kali keluar”. Diksi yang berupa jumlah fi’liyah menunjukkan makna aktifitas yang terulang terus menerus.
Setelah ada legalitas dari penyampai syariat, ziarah tak lagi hanya tradisi, tapi juga bernilai ibadah jika dilakukan dengan cara yang direstui syariat.
Aktifitas ini kemudian diteruskan oleh generasi salaf hingga era kiwari ini. Terlebib ziarah kepada ulama, wali dan orang saleh. Ziarah legendaris generasi salaf yang dikenal oleh semua orang dan diceritakan berulang kali adalah aktifitas ziarah Imam Syafii ke makam Imam Abu Hanifah di Baghdad. Sebuah aktifitas ziarah yang sarat nilai etika kepada ulama senior dan berpengaruh dengan cara saat shalat subuh tanpa qunut di area Imam para Sadah Hanafiyah yang mengatakan bahwa qunut tidaklah sunnah dalam shalat subuh.
Dalam al-Kanzu ats-Tsari, Syekh Soleh al-Ja’fari (1979 M) suatu ketika bercerita bahwa Sidi Syekh Ahmad ad-Dardir (1201) yang punyan nazam masyhur Kharidah al-Bahiyah itu punya keistimewaan sering bertemu Rasulullah. Entah itu yaqzhah wa manama. Maha gurunya, Syeikhus Saadah Maalikiyah al-Allamah Ali ash-Sha’idi, tahu hal itu. Suatu saat beliau berkata dengan suara meminta pada murid kinasihnya ini, “Kalau bertemu Rasulullah lagi tanyakan bagaimana keadaanku ya,”
Pertanyaan yang nampak ganjil. Harusnya kan kita bertanya keadaan orang yang memang kita tidak tahu keadaannya, bukan malah bertanya hal yang kita sudah tahu. Apalagi menanyakan keadaan diri sendiri ke orang lain. Tapi tidak, sekali lagi tidak, pertanyaan ini tidak ganjil sebab beliau ingin tahu diri beliau di mata Rasulullah, bukan di mata umat sebab di mata dan hati umat beliau sudah mendapatkan kehormatan dan posisi sangat tinggi.
Saat Sidi Syekh ad-Dardir bermimpi Rasulullah, beliau mengutarakan pertanyaan titipan itu. Rasulullah menjawab, “Dia orang saleh, hanya saja ia memiliki jafwah atau interaksi yang buruk,”
Mendengar ini Al-Allamah ash-Sha’idi menangis sejadi-jadinya. Syekh ad-Dardir heran, ada apa gerangan dan apa maksud ucapan Rasulullah itu.
Al-Allamah ash-Sha’idi mengartikan bahwa itu teguran bahwa sudah terlalu lama tidak ziarah ke Madinah. Itu artinya sudah sangat lama tiada “pertemuan” secara fisik di tempat di mana Sang Kinasih hidup dan dimakamkan di sana.
Setelah itu beliau meminta untuk mengatakan alasannya tak berkunjung ke Madinah karena kondisi fisik yang telah senja. Tubuh tak lagi mampu melakukan perjalanan darat yang panjang dan melelahkan.
Saat alasan itu diutarakan ke Rasulullah di suatu hari lewat mimpinya, beliau Rasulullah menghiburnya dengan jawaban,”Setiap Jumat sore aku di makam Muhammad ibn Idris asy-Syafii hingga fajar, kesanalah!”
Mendengar kabar itu, beliau, sebagai ulama otoritatif Mazhab Malikiyah cum tokoh besar dan berpengaruh Al-Azhar, memberi tahu para ulama dan santri Al-Azhar. Akhirnya berbondong-bondonglah para masyayikh dan pelajar Al-Azhar menziarahi Imam Syafii sejak petang Jumat hingga fajar Sabtu. Gelombang demi gelombang tak henti-henti hingga menjadi aktifitas komunal. Hingga menjadi tradisi mingguan.
Dua Abad sebelumnya, Syekh Al-Khathib asy-Syarbini (W. 977) penulis al-Iqna’ dan Mughnil Muhtaj kesohor itu, untuk memantapkan menulis kitab salah satu ikhtiyarnya adalah istikharah di pusara Imam Syafii.
Jauh sebelum itu, Sultan Ayubiyah al-Kamil membangun kubah besar di pusara Imam Syafii, juga mengistirahatkan ibunya di samping Imam Syafii. Sebelumnya, Sultan Salahuddin Ayub juga mendirikan madrasah bonafit di sebalah Imam Syafii yang dikenal dengan Madrasah Shalahiyah. Kubah dan madrasah itu tidak bisa kita nafikan, selain tabarrukan dan penghormatan pada Imam, di antaranya tentu sebagai upaya untuk melestarikan dan menghidupkan makam Imam Syafii. Bahkan tabut atau bangunan dari kayu bagian atas dibentuk setengah lingkar di atas pusara Imam Syafii itu dibuat di masa Shalahuddin dan atas perintahnya. Sebagaimana kata sejarawan dan arkolog kenamaan Mesir Hasan Abdul Wahhab.
Apa maksud Sultan Shalahuddin yang dicintai oleh umat lintas mazhab ini membangun tabut di atas pusara Imam Syafii jika bukan untuk memakmurkan makamnya?