Sejak Amr bin Ash dan ribuan tentara membuka Mesir pada tahun 20 H, Mesir menjadi salah satu pusat keilmuan Islam. Banyak sahabat yang menetap di Mesir sampai wafat.
Sejak itu pula, Kota Fustat, yang dibangun dan menjadi ibu kota pertama Mesir era Islam itu, mulai menjadi jantung Mesir.
Sahabat disusul tabiin Mesir yang melimpah membuat para ulama banyak berkunjung ke Mesir, bahkan hijrah menetap hingga wafat. Salah satu yang singgah untuk belajar dan mengambil berkah di Mesir adalah Imam Thabari (224-310 H). Ulama kesohor yang dijuluki syeikhul mufassirin itu. Bahkan banyak ulama yang menyebut bahwa beliau “mujtahid mutlaq” yang punya mazhab fikih sendiri.
Ulama selalu ada jalan untuk bertemu dan kenal dengan ulama lain kendati pada waktu itu tidak saling kenal wajah. At-Thabari sangat masyhur. Nama dan kealimannya lebih dulu dikenal dari pada sosoknya. Di Mesir ia ketemu dengan Muhammad bin Ishaq bin Khuzaiman yang lebih populer dengan nama Ibnu Khuzaimah. Muhaddits kenamaan yang punya shahih Ibnu Khuzaimah.
Tidak berhenti di situ, dua ulama itu lalu takdir mempertemukan dengan Muhammad bib Nashr al-Marwazi. Faqih kenamaan mazhab Syafi’i dari Asia Tengah yang, kata Ibnu Shalah, selevel dengan al-Muzani dalam berijtihad memilih ikhtiyarat yang berbeda dengan Imam Syafi’i.
Tiga ulama itu kemudian bertemu dengan Muhammad yang lain, Muhammad bin Harun ar-Ruyani.
Keempat ulama yang sama-sama di negeri asing itu melakukan perjalanan bersama sampai kehabisan bekal dan kelaparan.
Hari sangat terik. Mereka singgah di salah satu tempat tinggal kosong. Kondisi perut sudah tidak lagi bisa ditunda. Keempatnya kocokan, nama siapa yang keluar berarti ia yang dapat tugas keluar rumah meminta makanan atau kudapan untuk mereka berempat.
Nama yang keluar adalah Ibnu Khuzaiman. Ia minta waktu untuk wudu dan salat. Ia bergegas salat. Khusyu dan pasti lama. Tiba-tiba ada suara ketukan dari pintu. Setelah dibuka, orang itu mengaku utusan gubernur Mesir.
Utusan itu tidak banyak basa-basi. Ia langsung tanya secara spesifik, “Siapa di antara kalian yanh bernama Muhammad bin Nashar?” lalu menyerahkan sekantung kain berisi 50 dinar.
“Siapa yang bernama Muhammad bin Jarir?” Diberikan kantung kain dan koin emas yang lama.
“Mana yang bernama Muhammad bin Harun?” Lalu diberi hadiah yang sama persis. Masing-masing 50 dinar.
Dari empat orang yang belum diberikan haknya hanya Ibnu Khuzaimah yang sedang shalat. Ia tidak menanyakan mana yang bernama Muhammad bin Ishaq yang pasti yang sedang shalat.
Setelah itu ia bercerita, “Yang mulia gubernur sedang tidur siang, lalu ada seorang yang datang di mimpinya memberi tahu bahwa ada beberapa Muhammad yang sedang sangat kelaparan di tempat yang ia sebut namanya. Gubernur bergegas bangun lalu memberikan empat kantung kain ini untuk diberikan ke kalian. Kalau nanti kurang silahkan lapor, nanti ditambah,” pungkasnya.
Terlepas dari benar tidaknya cerita yang dinukil oleh Yaqut dalam Mu’jam al-Udaba dari as-Sam’ani juga al-Khatib al-Baghdadi dalam tarikhnya itu, cerita ini menunjukkan kebeningan hati mereka sehingga tiada hijab yang menghalangi doa yang dilangitkan dan betapa pemerintah, yang dalam hal ini diwakili oleh pemerintah wilayah, sangat memeperhatikan ilmu dan ulama.