Jika waktu kita tarik 14 abad ke belakang, tepatnya pada awal Islam hadir di Mekkah, banyak sumber yang menyebut bahwa dari sekian banyak penduduk Mekkah hanya ada 17 orang yang bisa baca tulis. Sumber yang sering menjadi acuan ini adalah al-Baladzri dalam Futuhul Buldan. Sumber lain menyatakan lebih dari itu. Lebih banyak dari angka al-Baladzri. Salah satunya adalah angka simpulan kajian historis al-Waqidi.
Sumber kontemporer menyebut angka yang mengejutkan lagi. Ada lebih dari seratus orang yang bisa baca tulis, sebagaimana dikatakan oleh Ahmad al-Ahmadiyin dalam al-Wuquf ‘alal ummiyah sebagaimana dikutip oleh Khalid Muhammad Abduh dalam Ummiyatun Nabi.
Well, berapa pun angka yang bisa baca tulis disebut, tetap saja ia adalah bagian kecil dari penduduk seantero Jazirah Arab, bahkan sekawasan Mekkah saja. Yang paling dominan tetap saja ummi alias tunaaksara yang maknanya tidak bisa membaca juga tidak bisa menulis.
Kendati demikian bukan berarti masyarakat yang diapit oleh dua imperium berperadaban besar Romawi dan Persi itu tidak punya budaya dan peradaban dalam tata bahasa yang normalnya dikuasi oleh mereka yang pandai baca tulis. Justru sejak era pra Islam panggung-panggung syair ada di mana-mana, salah satu yang besar adalah di Pasar Rakyat Okaz. Penyair selalu lahir di lembah gersang itu. Kritikus sastra kian melimpah.
Sejarah bahkan menyebut bahwa pada waktu itu karir sebagai penyair dan sasrtawan adalah karir yang mulia. Sangat mulia. Saking mulianya jika ada penyair pendatang baru, keluarga akan merayakan sebagaimana perayaan kemenangan perang. Penyair yang lolos dari para kritikus namanya akan semerbak di seantero jazirah.
Mereka memiliki kecerdasan di atas rata-rata. Sisa-sisanya masih bisa kita temukan di era kiwari ini dengan wujudnya anak yang belum akil balig sudah hafal Al-Qur’an luar kepala padahal ia belum bisa baca tulis. Dengan ad-dhabt (hafalan) yang tamm (sempurna) inilah, sebagaimana dalam disiplin ilmu hadis, riwayat bisa sampai kepada orang kedua, ketiga, dan seterusnya, dengan aman tanpa mengurangi esensi sama sekali. Dan tentu saja dengan terpenuhinya syarat lain seperti tersambungnya sanad, ‘adalah, tiada illat juga tidak ganjil atau syadz.
Belakangan “peradaban” tunaaksara tapi pandai bahkan alim allamah yang luar biasa itu masih ada. Tidak menutup kemungkinan di era sekarang juga ada.
Di antara yang sedikit, ganjil tapi menakjubkan itu dua tokoh mutaakhirin. Kebutaaksaraan kedua tokoh ini disepakati oleh semua sumber dan semua orang, baik yang mendukung ataupun yang kontra.
Pertama, Maulana Sidi Ali al-Khawash (w. 949 H) guru spiritual Syekh Abdul Wahhab as-Sya’rani.
Bisa kita bayangkan, karir intelektual yang begitu luhur, punya banyak karya, murid dari al-Hafizh as-Suyuthi (w. 911 H), Syekh as-Syihab ar-Ramli dan Syeikhul Islam Zakaria al-Anshari dan waktu itu pernah juga tersiar kabar bahwa beliau, sebagaimana Imam Suyuti, mengaku sebagai mujtahid mutlaq, itu bisa sangat menaruh hormat lahir batin pada orang saleh, tunaaksara tapi alim allamah seperti Syekh Ali al-Khawash. Itu menunjukkan bahwa sosok Syekh al-Khawash bukan orang saleh biasa. Bukan orang sembarangan!
Bukti lain pengaruh maha guru pada Syekh Sya’rani adalah beliau mulazamah (membersamai) dengan serius dan merekam sebagian fatwa-fatwa keagamaan dan kalam sufi sang guru dalam sebuah kitab khusus berjudul al-Jawahir wad-Durar.
Kitab itu berisi jawaban dari pertanyaan-pertanyaan Sidi Syekh Sya’rani pada maha guru seputar tafsir ayat atau hadis, fikih, akidah, suluk dan lain sebagainya. Sesekali ada dialog di sana. Jawaban-jawaban beliau membuat siapa pun akan terhenyak jika tahu beliau buta huruf.
Kedua, adalah Maulana Syekh Abdul Azizi ad-Dabbagh (w. 1031 H). Ulama keuturunan Sy Hasan bin Ali bin Abi Thalib itu masyhur juga lewat fatwa dan kalam hikmah yang direkam oleh muridnya dengan judul al-Ibriz. Murid yang mendokumentasi kalam sang guru juga bukan ulama sembarangan. Ahmad bin al-Mubarak yang populer dengan nama nisbatnya, as-Sijilmasi, itu ulama ilmu kalam kenamaan. Memiliki banyak peninggalan ilmiah yang juga bernas.
Membaca dua kitab rekaman itu kita tidak akan percaya kalau beliau berdua tunaaksara! Secara rasio dari mana ilmu-ilmu itu jika ia tidak mendengar dan membaca secara intensif. Jelas hal ini tidak masuk di akal, akan tetapi kebeningan hati mereka menjadikan ilmu batin xitu turun bagai rintik hujan.
Dan yang paling tidak masuk akal lagi adalah tokoh yang ketiga yang dicatat oleh Syekh Abdul Hay al-Kattani dalam Fahrasul Faharis bahwa Syekh Sulaiman al-Jamal yang punya Hasyiah atas Fathul Wahhab dan Hasyiah atas Tafsir Jalalain itu tunaaksara!
Okelah, Syekh Al-Khawash dan Syekh ad-Dabbagh sebagian fatwa dan kalamnya ditulis oleh orang lain, “masih mending”, nah ini, ada sebuah anotasi atau hasyiah yg berjilid-jilid atas kitab serius seperti fikih dan tafsir, apalagi Fathul Wahhab, katanya penulisnya tunaaksara.
Sampai kolom ini ditulis, penulis masih mendapati satu sumber saja yang meriwayatkan secara jelas seraya menyertakan bagaimana ulama Al-Azhar itu belajar, mengajar dan menulis dalam kondisi buta akasara. Yaitu riwayat Syekh Abdul Hay al-Kattaniy. Itu artinya masih membuka sangsi, sebab riwayat-riwayat lain misal al-Jabarti dalam ‘Ajai’ibul Atsar justru secara eksplisit menggunakan redaksi qa-ra-a alias beliau membaca sendiri. Apalagi al-Jabarti sama-sama ulama Mesir. Sezaman dan sama-sama di Al-Azhar. Dan lagi, pengantar Syekh al-Jamal di awal hasyiahnya atas Fathul Wahhab menunjukkan fakta sebaliknya.
Ala kulli haal, Wujudnya para ulama seperti ini ada di antara kita sebagai bukti bahwa ilmu itu hak prerogatif Allah, nyatanya banyak yang bisa baca tulis tapi tidak bisa menanfaatkan potensinya.
Mungkin saja ada yang berpikir bahwa ini mustahil, kenapa tidak mungkin terjadi? Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam saja tunaaksara dan justru itu titik mukjizat beliau dan sebagai burhan bahwa Allah Maha Memberi Ilmu dan Maha Kuasa.