Kami bertemu dan bicara dengan berganti-ganti tema sesuka hati persis 40 hari menuju kepergian pendiri Desantara itu. Dari pagebluk Korona-19 yang menyerang beberapa orang di kelurahan tempatnya tinggal, politik pemerintah, hingga isu-isu kebudayaan kontemporer. Pak Bisri Effendi sempat bertanya bagaimana peta kekuatan militer di era Jokowi pada kami: Mas Muhammad Khoiron, saya, Noviyana, dan Mas Huda. Seolah-olah ia benar-benar tak mengerti dan kami betul- betul paham hingga informasi di mana seragam baju militer Indonesia dibuat.
Mas Muhammad Khoiron, Noviyana, dan Mas Huda pengurus Yayasan Desantara, lembaga yang didirikan Pak Bisri pada 2000. Hanya saya yang bukan pengurus. Siang itu, saya memang ikut mengantar Noviyana menemui Pak Bisri untuk urusan Desantara. Mereka memberi tahu Pak Bisri bahwa lembaga yang dilahirkan dari perasan otaknya itu bakal dihidupkan dengan berbagai kegiatan. Salah satunya diskusi rutin. Mereka meminta mantan peneliti Lembaga Ilmu Penelitian Indonesia itu mengisi diskusi. “Kalau bisa sebulan sekali. Saya akan datang,” kata lelaki kelahiran Jember 1953 itu bersemangat seperti biasanya.
Pertemuan siang itu lalu beralih lagi ke tema lain. Kali ini soal program sertifikasi tanah yang digelorakan Presiden Joko Widodo. “Jika tak mengubah masyarakat dari makhluk ekonomi ke makhluk kebudayaan, sertifikasi tanah itu mungkin tak akan efektif,” katanya sembari tertawa renyah. Tak ada yang berubah dari caranya tertawa sejak pertama kali saya mengenalnya pada 2001. Bedanya, mungkin hanya karena menempel pada kulit wajah yang makin menua.
Lontaran pernyataan itu jelas sedang berusaha menggeser lensa analisis dari kebijakan sertifikasi tanah kepada bagaimana negara memahami dan mengatasi masalah-masalah kebudayaan. Urusan terakhir ini jauh lebih penting di mata Pak Bisri.
Menurut data, pemerintah Joko Widodo sudah menerbitkan sertifikat hak atas tanah sebanyak 11,2 juta lembar. Jumlah ini diklaim melebihi target 10 juta sampai 11 juta lembar sertifikat. Seperti sudah disadari Pemerintah Jokowi, sertifikasi ini bukan tanpa masalah. Dalam struktur yang timpang, sertifikat milik oleh masyarakat itu dapat beralih ke tangan para pengusaha dan pemodal. Masyarakat segera kehilangan alat produksi berikut kebudayaan yang menempel. Situasi yang demikian hanya memeras konsep tanah sekedar alat komodifikasi. Istilah terakhir itu saya sering dengar pula keluar dari mulut Pak Bisri.
Komodifikasi adalah perangkat kapitalisme yang menjadikan obyek, kualitas, dan tanda sebagai alat komoditas yang hanya memiliki satu tujuan: dijual di pasar. Gejala ini sudah barang tentu mendapat banyak kritik. Salah satunya Jurgen Habermas. Kata filosof Jerman kelahiran 1929 itu, meningkatnya gejala komodifikasi oleh perusahaan-perusahaan gigantik telah mengubah seseorang dari warga negara rasional menjadi konsumen yang tak rasional dengan cara yang meredam pertanyaan eksistensi-sosial hanya menjadi perkara uang. Ketimbang Anda dan saya ikut pusing, saya akan menghentikan penjelasan rumit ini. Cukup saya ringkas saja bahwa kebudayaan itu perkara rumit, namun fundamental.
Karena kebudayaan dinilai perkara fundamental bagi manusia, maka dari sana gagasan dan perjuangan-perjuangan Pak Bisri berangkat. Kebudayaan adalah kacamata melihat banyak sisi kehidupan manusia dan tata kelola negara. Tak heran jika Desantara menetapkan moto “Institute for Cultural Studies”, Lembaga Kajian Budaya.
Istilah Cultures Studies biasanya merujuk pada teori dan pendekatan yang mulai berkembang pada petengahan abad ke-20 di Inggris dan terhubung dengan The Birmingham Center for Contemporary Cultural Studies. Lembaga ini diinisiasi dua ilmuwan penting Richard Hoggart kelahiran Leed Inggris dan Raymond Williams dari Wales. Jika ingin berkenalan lebih jauh dengan perkara ini ada baiknya Anda membaca Cultural Studies: Theory and Practice karya Chris Barker dan Emma A Jane.
Jika membaca tulisan dan mendengarkan omongan-omongan Pak Bisri, cutural studies sebetulnya dipilih demi tujuan yang lebih besar lagi: membongkar ketimpangan kekuasaan, membela yang tidak berdaya, dan mempersoalkan pemusatan-pemusatan kekuasaan. Ini pula yang menjadi salah satu semangat dalam cutural studies. Jika bukan untuk tujuan itu, pendekatan ini mungkin bakal dicampakkannya begitu saja seperti rokok yang baru saja dimatikan di atas asbak.
Begitu yang saya simpulkan dari sejumlah tulisan dan hasil wawancaranya di majalah Syirah. Pada Edisi September 2003, Hamim Enha, salah seorang pendiri Syirah dan redaktur majalah Syirah ketika itu, mengajukan pertanyaan ini. “Bagi Anda, memperjuangkan rekonsiliasi melalui Undang-Undang tidak penting?” Sebulan sebelumnya, di MPR ada “keributan”. Fraksi PDI-P menggalang pencabutan TAP MPRS No XXv/1965. Usaha itu ditolak Wakil Presiden Hamzah Haz.
“Bukan tidak penting. Itu tetap penting. Tetapi, kami memang tidak mengarah pada advokasi paralegal. Sebagai sebuah lembaga kebudayaan, kami ingin berulah dalam tataran kebudayaan, yang menyangkut konstruksi image, reproduksi budaya, dan memunculkan budaya-budaya tanding,” jawab Pak Bisri. “Dalam pengamatan saya, upaya-upaya yang menyangkut paralegal seringkali mentok. Hasil penelitian seperti apapun, realitas yang kita tunjukkan selalu tidak dipercaya dan tidak dipakai untuk pembuatan policy. Karena politik dan negara kita punya alunan dan lagu sendiri yang setengah hati untuk melihat hak-hak sipil.”
Di antara ulah Desantara terkait rekonsiliasi itu adalah pelaksanaan halaqah-halaqah kebudayaan atau pertemuan-pertemuan di sejumlah daerah. Orang-orang yang distigma PKI dan komunitas pesantren dihadirkan. Mereka diberi ruang untuk bicara terbuka dan bebas.
Pembelaannya terhadap yang tak berdaya dan mempersoalkan pemusatan-pemusatan kekuasaan, terutama pemusatan atas tafsir tunggal, juga dapat ditemukan dalam tulisan “Kitab Kehidupan” di Majalah Syirah Edisi Desember 2004.
Bermula dari pernyataan Mbah Wo Kucing, tokoh Warok Ponorogo yang ditemuinya, Pak Bisri berusaha menggugat pemusatan tradisi tulis yang membawa dampak buruk bagi kebudayaan masyarakatm termasuk agama. Pak Bisri menyebut dua nama peneliti. Pertama, Amin Sweeney dari Universitas California, penulis Full Hearing. Kedua, Walter Ong sejarawan dan fisilof zsekaligus pastur Jesuit dari Amerika dengan karyanya Orality and Literacy: The Technologizing of the World.
Kedua nama ini disebut untuk menopang argumen bahwa tradisi tulis telah melahirkan penyeragaman dan meminggirkan tradisi lisan seperti orang-orang seperti Mbah Wo Kucing dengan pernyataan “Kitab itu ya diriku ini” atau komunitas kajang di Sulawesi Selatan dengan pernyataan “Kitab itu adalah Pasang Ri Kajang”, dan Komunitas Meratus di Kalimantan Selatan dengan konsep “kitab itu telah kami telan”.
Bukan hanya itu, ia juga berargumen bahwa berbagai gerakan pembaruan dengan beragam label seperti ortodoksi, salafi, liberal progresif, atau inklusif, sebetulnya masih berjalan dari “titik dan Lorong yang sama: teks yang literer.” Pak Bisri khawatir gejala yang bertumpu semata-mata teks itu justru menipiskan kepekaan pada apa yang terjadi dalam kehidupan nyata, terhadap pengalaman dan kesaksian, terhadap apa yang kita alami sendiri. Dengan gagasan ini, ia ingin mengajak orang untuk juga memikirkan dan memberi tempat pada tradisi lisan.
Majalah Syirah sendiri berhutang budi besar pada pak Bisri. Tanpa kelapangan hati dan dorongan alumni Fakutas Adab Sastra Arab IAIN Sunan Kalijaga itu, Syirah mungkin hanya terbit dalam pikiran-pikiran kami, para pendirinya. Kami diberi tempat untuk menggelar diskusi tentang isu-isu kebudayaan dan keislaman. Saya senang bicara dengan Pak Bisri. Banyak orang setuju, jika ia pendengar yang baik. Meski usia kami terpaut jauh, ia senang memposisikan dirinya sebagai teman. Ia murah hati.
Desantara yang dipimpinnya ketika itu menyokong kami bukan hanya lewat gagasan, tapi juga pendanaan hingga majalah ini lebih mandiri. Karena inspirasinya, majalah ini memilih moto “Mengurai Fakta Menenggang Beda”. Salah satu yang diharapkan dari media ini adalah usaha-usaha mempersoalkan pemusatan-pemusatan kekuasaan, khususnya penafsiran keagamaan.
Persis 40 hari setelah pertemuan terakhir kami itu, saya dan Noviyana hanya bisa menemuinya lagi ketika tubuhnya sudah diazankan lalu ditimbun tanah. Saya bersedih ketika melihat anak dan cucu-cucunya mengusap air mata di atas gundukan tanah yang sudah bertabur bunga. Pak Bisri memang telah pergi ke alam lain, tapi tidak gagasan dan warisan-warisannya.