Bapak mertua saya seperti umumnya mertua-mertua lain di Indonesia. Sering sungkan pada menantu dan kadang-kadang menyampaikan hal-hal tertentu lewat cerita atau jalan lain: mulut anaknya. Sebagai menantu, saya juga merasa normal-normal saja layaknya menantu di Indonesia pada umumnya. Sungkan pada mertua dan kadang-kadang merasa perlu menunjukan jika anaknya tak salah pilih orang.
Bapak mertua saya lahir di Wonogiri. Dari ceritanya, keluarga besar di kampung dulu adalah pendukung kelompok nasionalis yang mengagumi Soekarno. Dulu mereka massa Partai Nasionlis Indonesia. Mereka bukan kaum santri.
“Bapak saya agak mirip-mirip kejawen. Di kampung guru ngaji atau ustad mungkin baru ada tahun 80-an,” katanya suatu ketika.
Saya tak tahu persis kapan bapak mertua saya mulai belajar dan menekuni agama. Mungkin sejak ia memutuskan mengakhiri statusnya sebagai karyawan dan fokus berdagang bersama ibu mertua saya lebih dari tiga puluh tahun silam.
Sebagian saudara dekat dan jauh dari kampungnya yang mengalami urbanisasi mengalami proses “islamisasi” serupa. Mereka adalah orang-orang yang ikut dalam gelombang islamisasi di pengujung masa kekuasaan Soeharto.
Beberapa dari mereka mengambil “mazhab” Wahabi sebagai jalan keislamannya Mengapa saya tahu? Sebab saya dengar ceramahnya saat kumpul-kumpul arisan. Bapak mertua saya mengambil jalan ahlussunnah waljamaah, tepatnya Nahdlatul Ulama. Sederhana saja ukurannya untuk kasus Bapak mertua saya: pro-tahlil, pro-siarah kubur, dan memondokkan anknya ke pesantren NU.
Bapak mertua primus, pria mushalla. Rajin ke mushalla saban shalat lima waktu. Shalat awal waktu. Ia merebot mushalla, biasa merawat mushalla dan menjadi muadzin terutama saat Subuh. Kelihatannya, mushalla itu rumah keduanya. Dan di rumah keduanya itu ia jatuh usai berwudhu hingga tulang belakangnya retak dan patah.
Sebagian besar orang-orang mushalla datang tahlilan mendoakan teman atau orang yang dituakan di lingkungan ini. Mereka juga rajin menjenguk saat mertua terbaring sakit di rumah atau di rumah sakit. Sebagian kecil tak ikut tahlilan sebab merasa bukan tradisinya.
“Tidak apa-apa. Kita saling menghormati saja,” katanya jauh sebelum ia jatuh sakit.