Sedang Membaca
Bulan Sya’ban dan Tradisi Nyekar

Pengajar di kota Semarang, bisa dijumpai di akun iInstagram: Anam Kuthut Wringinjajar (m_khoiru_a).

Bulan Sya’ban dan Tradisi Nyekar

Ziarah Kuburjpg 15cbf84c1ab8a029986e95ca71bb39a5 600xauto

Dalam perhitungan tanggal, selama setahun terdapat dua belas bulan. Ketetapan banyaknya jumlah bulan dalam waktu satu tahun itu sudah ditentukan oleh Allah dalam al-Qur’an surah at-Taubah ayat ke-36.

Arti dari ayat tersebut berbunyi, Sesungguhnya jumlah bulan menurut Allah ialah dua belas bulan, (sebagaimana) dalam ketetapan Allah pada waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya ada empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menzalimi dirimu dalam (bulan yang empat) itu, dan perangilah kaum musyrikin semuanya sebagaimana mereka pun memerangi kamu semuanya. Dan ketahuilah bahwa Allah beserta orang-orang yang takwa.”

Dalam kalender Hijriyah terdapat beberapa bulan yang telah dimuliakan. Satu diantaranya adalah bulan Sya’ban. Kalender Hijriyah kini telah memasuki bulan Sya’ban. Kalau orang Jawa biasanya menyebut bulan Sya’ban dengan sasi Ruwah.

Orang-orang Indonesia sangat memegang teguh tradisi yang sudah berjalan di negeri ini. Lebih-lebih orang Jawa ketika memasuki sasi Ruwah, mereka akan mempersiapkan diri untuk melaksanakan tradisi Ruwahan.

Biasanya pada tradisi Ruwahan tersebut berbentuk ritual peribadatan mengirim doa-doa kepada para anggota keluarga yang sudah meninggalkan dunia. Orang-orang yang sudah meninggal dunia hanya meninggalkan alam dunia, mereka sudah pindah ke alam kubur. Alam ini sudah berbeda. Orang-orang yang beriman kepada Allah akan meyakini bahwa ada kehidupan di alam kubur.

Baca juga:  Menjejak Keprak: Pagelaran Wayang Purwa Sebagai Sebentuk Meditasi

Alam kubur ini sebagai alam pemisah antara alam dunia dengan akhirat. Selama belum terjadi kiamat, manusia-manusia yang sudah meninggal dunia sedang menjalani hidup di alam yang berbeda yaitu alam barzah atau alam kubur. Sehingga mereka yang sudah meninggal arwahnya atau ruhnya sudah berada di alam yang berbeda. Hanya jasadnya rusak di himpit oleh tanah.

Antar alam yang berbeda tersebut, kita yang masih hidup di alam dunia boleh saling mengirim doa untuk para leluhur yang sudah mendahului kita. Nabi Muhammad pernah suatu ketika di hari yang menjelang senja, nabi Muhammad SAW bersama sahabatnya berjalan beriringan. (Kalau jaman sekarang anak-anak milenial menyebutnya jalan-jalan sore).

Kemudian nabi Muhammad SAW berhenti di suatu kuburan sesudah beliau mengetahui telah terjadi sesuatu di dalam sana (alam kubur). Beberapa saat Nabi Muhammad berdiam diri untuk berdoa di atas kuburan itu. Lalu beliau mencari pelepah kurma dan diletakkan di atas kuburan tersebut.

Nabi Muhammad SAW memberitahu kepada sahabatnya itu setelah mendapat pertanyaan. Bahwa kata nabi Muhammad SAW orang yang sudah di alam kubur itu sewaktu masih hidup di dunia tidak menjaga dirinya dari kotoran najis air seni. Pelepah kurma tadi selama belum mengering akan memberikan keringanan untuk orang yang kesakitan di alam kubur sana.

Baca juga:  145 Tahun Boen Hian Tong; Belajar Berindonesia dan Keberagaman di Rasa Dharma

Mengapa nyekar Tidak Menggunakan Pelepah Kurma? Kalau mendapatkan pertanyaan seperti itu, coba dibalik tanya. Mengapa dia tidak menggunakan unta saat berkendara? Karena hewan unta tidak ada di negara Indonesia. Kalau pun ada, tidak dijadikan sebagai tunggangan pribadi atau kendaran umum.

Di dunia terdapat empat imam madzhab besar yang diakui dunia dan dijadikan sebagai rujukan dalam pengambilan hukum syariat Islam. Dalam menentukan hukum, selain menggunakan dalil naqli juga menggunkan dalil aqli.

Dalil naqli yaitu dalam menentukan hukum syariat bersumber dari kitab suci al-Qur’an dan al-Hadist. Sementara dalil aqli ini berupa ijma’ dan qiyas. Ijma’ itu kesepatakan para ulama dalam menentukan suatu hukum, dan qiyas merupakan perumpaan atau menyetarakan sesuatu yang ingin ditentukan hukumnya dengan membandingkan terhadap sesuatu yang sudah ada hukumnya.

Di setiap negara memiliki letak geografis yang berbeda-beda. Sehingga dalam menentukan hukum pun dilakukan dengan metode yang tidak sama. Hal semacam inilah yang menjadi bagian dari bukti bahwa Islam itu rahmatan lil alamin.

Umat Islam di Indonesia mayoritas mengikuti para ulama yang bermadzhab Syafi’iyah. Karena di Indonesia, khususnya di Jawa jarang atau bahkan tidak ada pohon kurma, maka jika kita melakukan tradisi nyekar, setelah selesai mengirim doa-doa kepada arwah para leluhur tidak bisa meletekan pelepah kurma di atas pusara. Sehingga para ulama Syafi’iyah memperbolehkan menggunakan dedaunan yang ada di sekitar kuburan tersebut sebagai pengganti pelepah kurma.

Baca juga:  Ramadan di Pesantren: Sebuah Kenangan

Tradisi Nyekar dan Menabur Bunga

Kata dasar nyekar itu berasal dari kata sekar. Kata sekar itu sendiri memiliki makna bunga atau kembang. Karena tidak adanya pelepah kurma, para pendakwah ajaran Islam yang terdahulu mereka menggunakan sarana bunga. Selain itu bunga juga mengeluarkan aroma wangi. Bukankah nabi Muhammad SAW menyukai wewangian?

Karena pada saat itu semakin banyaknya orang Islam yang menggunakan bunga untuk di atas pusara para leluhurnya masing-masing. Sesuatu yang sudah berjalan secara terus menerus di suatu lingkungan masyarakat, lama-lama menjadi kebiasaan yang disebut dengan tradisi. Sehingga menaburkan bunga di atas pusara di sebut tradisi nyekar.

Atas dasar di atas, tradisi nyekar bisa menjadi aktualisasi dari wujud kecintaan kita kepada Nabi Muhammad SAW.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top