Menjadi berbeda seakan adalah hal yang terlarang kini. Jika kelompok A bersabda X seakan B tak diberi ruang untuk menyatakan Y. Sebaliknya, jika kelompok B bersikap Y seakan tak ada jalan untuk A bersikap sesuai kemauannya. Satu sama lain akan saling merundung kelompok di luar dirinya yang bersikap dan berprinsip tak sama. Tidak hendak sama dengan kelompok tertentu seakan telah menjadi dosa besar.
Di masa ini, kerap kali manusia tak pada derajat manusia dalam bertindak. Tak jarang, kita menjadi Tuhan atas kesalahan orang lain. “Bahwasanya Tuhan memerintahkan ini, dosa besar jika kamu melakukan itu,” ucap kita. Kemudian dengan gagahnya kita melanjutkan, “Ini lho dalilnya dari ayat dan hadis sekian.” Pada tataran tertentu, bahkan, kita berani mencemooh orang lain berlandaskan dalil-dalil yang sakral.
Salah satu dalil yang sering kita pakai sebagai landasan dalam menyampaikan “teguran” adalah hadis “ballighu ‘anny wa law ayatan” (sampaikanlah dariku meskipun itu hanya satu ayat). Berbekal atas seruan hadis tersebut, seminim apapun ilmu yang termiliki, kita langsung berani berdakwah dan secara tiba-tiba menjadi ahli agama sekaligus hakim atas kesalahan orang lain.
Bagi saya, hal itu bukan hanya mengkhawatirkan tapi juga mengerikan. Mengkhawatirkan sebab orang lain tak lagi berani berekspresi dan berpendapat. Mengerikan, karena tak ada satu pun peradaban maju di dunia tanpa hadirnya masyarakat yang memeluk perbedaan. Bagaimana peradaban maju, jika keunikan manusia dibunuh oleh persepsi kaum tertentu?
Sementara itu, jika kita coba lihat secara redaksional, kalimat yang dipakai dalam hadis tadi adalah, “ballighu ‘anny wa law ayatan” (sampaikanlah dariku meskipun hanya satu ayat), dan bukan berbunyi “walaw ayatan ‘anny ballighu.” (meskipun hanya satu ayat dariku, sampaikanlah). Kedua kalimat ini tentu berbeda maknanya. Jika hadis nabi berbunyi sebagaimana bagian yang kedua, maka meski hanya satu ayat yang terpahami, kita wajib menyampaikannya.
Beruntungnya Nabi tak bersabda seperti kalimat kedua, namun mengatakan “sampaikanlah dariku walau hanya satu ayat.” Sebabnya, jika bunyinya seperti ini, maka hadis ini justru tertuju pada orang yang sudah dalam ilmunya. Ibaratnya, penulis ingin menulis sepuluh ribu kata dalam satu artikel, namun karena pihak redaksi hanya membatasi enam ratus kata, saya sampaikan saja seperti aturan, asalkan poinnya sampai. Jadi, bukan berpengetahuan satu dua ayat lalu berdakwah.
Tak dapat dimungkiri memang, manusia mengemban misi mulia mengajak pada kebaikan dan nahi mungkar (Ali Imran: 104). Pertanyaannya, bagaimana menilai suatu itu baik dan mungkar, jika ilmu yang dimiliki hanya satu dua ayat? Bukan kah untuk menilai kualitas suatu pakaian saja kita perlu mengetahui bahan, ukuran, model dan aneka aspek lainnya? Dan seumpama pakaian pula, bukan kah yang baik atau buruk bagi kita belum tentu berlaku bagi orang lain?
Sebab itu, tujuan dari kerja dakwah bukan ma’ruf namun khoir. Kata khoir, secara istilah dapat diartikan sebagai suatu kebaikan yang sifatnya relatif dan personal. Sedangkan ma’ruf adalah suatu kebaikan yang telah disepakati bersama. Sehingga kata kerja yang dipakai dalam Ali Imran ayat 104 adalah yad’u (mengajak) untuk khoir, dan ya’muru (memerintah) untuk ma’ruf. Adapun subjek untuk khoir disebut da’i (pengajak), dan amir (pemerintah) untuk ma’ruf.
Oleh sebab kita bukan amir, namun hanya dai, maka fungsi kita adalah mengajak dan bukan memberi perintah. Alhasil, tak perlu kita gunakan kalimat-kalimat perintah dalam mengajak pada kebaikan yang kita anggap baik. (Sungguh tak benar jika dalam dakwah malah keluar sumpah serapah, umpatan, dan cancian). Sekali lagi, karena apa yang kita pandang baik belum tentu berlaku sama bagi orang lain.
Oleh karena itu, jika kita inginkan kedamaian dan kemajuan, maka wajib bagi kita untuk memperluas cakrawala keilmuwan. Kita juga perlu mengerti bahwa setiap manusia itu unik. Kita harus berani membiarkan saudara kita menjadi dirinya sendiri. Jika dalam kondisi dan konteks tertentu, kita anggap perbuatan saudara kita tak benar atau keliru, cobalah untuk memahami dan tak menghakiminya. Bahkan, biarkanlah ia salah dengan caranya sendiri agar dapat ia pungut pelajaran.
Bukankah pelajaran terbaik adalah belajar dari diri sendiri? Pelajaran terbaik bukan datang dari syair sastrawan maupun mulut motivator, namun ia hadir serta bersinar dari diri sendiri. Belajar dari diri sendiri adalah belajar kesejatian hidup. Bahkan, hemat saya, belajar dari diri sendiri adalah salah satu bentuk belajar mengenal Tuhan. Sebagaimana para sufi, “barangsiapa mengenal dirinya, maka mengenal Tuhannya.”
Mari sama-sama kita terima perbedaan, dan nikmati indahnya mengenal Tuhan.