Mengapa komunikasi keluarga penting bagi siswa? Jika orang tua tak lagi mampu membangun komunikasi dengan anaknya, maka generasi-generasi lemah lah yang akan ditelurkan. Orang tua adalah sekolah pertama (madrasatul ‘ula) bagi seorang anak, sehingga berperan vital dalam mencetak pribadi yang berakhlak mulia.
Sayangnya, di dunia tatap layar kini, komunikasi antara anak dan orang tua telah mengalami dekadensi yang sedemikian merata. Yang mana tidak hanya terjadi pada keluarga di kota-kota besar, namun telah merambah kedalam rumah tangga di pedesaan. Khususnya, sejak hadir pabrik garmen dan/atau Perseroan Terbatas (PT) di daerah tersebut.
Memang benar, kebutuhan akan sandang pangan lebih tercukupi dibanding sebelumnya. Pun peluang “kesetaraan” antara perempuan dan laki-laki di desa semakin lebar – karena wanita telah mampu berkarir di industri dan mencari penghidupan sendiri. Sedemikian, keuntungan yang ditelurkan itu tidak sebanding dengan ongkos yang dikeluarkan.
Oleh karena suami istri bekerja, anak tidak lagi berkesempatan untuk berpamitan sekaligus bersalaman saat berangkat dan pulang sekolah. Apalagi menikmati sarapan hasil tangan ibunya. Tidak jarang hubungan yang intim nan sakral itu cukup digantikan dengan sekadar pesan “hati-hati ya di sekolah, jangan lupa beli sarapan” disertai emotikon hati.
Maltreatment Anak dan Tekanan Kerja
Sebagai eks peserta Kampus Mengajar serta guru Bimbingan Konseling (BK) kerap saya menghadapi kasus siswa terlambat hingga tak sopan pada guru. Setelah saya dalami, siswa tersebut pun menyatakan bahwa di rumah ia tak beroleh ajaran sopan santun dan atensi yang cukup dari orang tua. Alih-alih dimarahi dan disalahpahami.
Beberapa waktu lalu misalnya, saya mendapati siswa yang kerap terlambat, pakaiannya lusuh kekecilan, dan hampir selalu membantah guru. Setelah saya ajak bicara empat mata, ternyata ia adalah seorang anak punk. Bukan tanpa sebab, Ia bertindak demikian karena kurang atensi dan kerap diomeli orang tua, bahkan dengan kesalahan yang mestinya dapat ditolerir.
Terjadinya maltreatment semacam itu mungkin karena beratnya tekanan orang tua saat bekerja. Banyak tetangga saya – yang bekerja sebagai karyawan di pabrik garmen – bercerita bahwa makanan sehari-hari mereka selama bekerja adalah umpatan dan kemarahan yang kurang manusiawi. Alhasil, selepas pulang kerja yang tersisa hanya stress dan kelelahan (burnout).
Melihat itu, kemarahan orang tua pada anak barangkali adalah hasil dari mekanisme pertahanan diri (yakni, displacement) yang disebabkan oleh amarah atasannya. Maksudnya, saat orang tua mendapat omelan dari atasan saat bekerja, maka ia mentransfer hal tersebut kepada individu yang dinilai lebih rendah darinya; dalam hal ini anak.
Perilaku seperti itu juga terjadi selama pandemi berlangsung. Sebagaimana studi Rakhmawaty (2022) menunjukkan bahwa orang tua (baca: ibu) mengalami kelelahan fisik serta mental dengan tugas pekerjaan dan merawat anak selama pandemi. Maka “saat berurusan dengan anak,” tulis Rakhmawaty “mereka memarahi anaknya akibat stres di tempat kerja”
Padahal sebenarnya, masa pandemi kemarin adalah kesempatan bagi anak mendapat komunikasi yang berkualitas dari orang tua. Pekerjaan yang dilakukan secara remote menjadi kesempatan untuk memupuk relasi yang berarti. Jika peluang ini disadari, justru pandemi kemarin dapat menjadi momen memperbaiki buruknya komunikasi orang tua dan anak.
Tak berarti saya menganggap pandemi adalah baik. Saya hanya ingin mengatakan, pandemi juga memberi ruang positif bagi manusia untuk memperbaiki diri, khususnya hubungan orang tua anak (parent-child relationship). Pun dalam penelitian Vaterlaus, dkk. (2020) menunjukkan, bahwa relasi orang tua anak yang sehat pada keluarga di Amerika mengalami peningkatan selama pandemi.
Peran Sekolah
Sebenarnya, relasi komunikasi anak dan orang tua dapat tergarap dengan baik melalui perlakuan (treatment) yang sederhana. Umpamanya, setelah pulang kerja, orang tua mengajak anaknya untuk memasak makan malam bersama dll. Yang mana pada momen itu, anak dapat diajak berbincang akan aktivitas sekolahnya, sehingga ia merasa diperhatikan orang tua.
Meski sederhana, sepertinya komunikasi semacam itu agak sukar dilakukan tanpa adanya peran dari pihak bertanggung jawab lainnya: sekolah. Dalam hal ini wali kelas dan/atau guru Bimbingan Konseling. Tugasnya adalah memberi semacam pekerjaan rumah kepada siswa untuk berkomunikasi dengan keluarganya dan lalu mencatatnya.
Dengan tugas membuat catatan komunikasi keluarga semacam itu, saya yakin, kesalahpahaman hingga maltreatment dapat terminimalisir. Selain itu, para guru, utamanya guru BK, juga dapat memanfaatkannya sebagai data awal untuk mengetahui latar belakang siswa, sehingga dapat melekukan intervensi yang tepat saat dibutuhkan.
Semasa menjadi guru BK misalnya, saya menemukan siswa yang selalu terlambat dan terkena “hukuman” kesiswaan. Dan setelah ditelisik, ternyata, sang siswa sudah tak ber-ayah dan harus bekerja melaut hingga dini hari guna memenuhi kebutuhannya bersama orang tua. Bayangkan, jika terdapat catatan komunikasi keluarga, tentunya anak tersebut tak diberikan perlakuan yang keliru oleh kesiswaan.
Di lain sisi. banyak penelitian yang menyebutkan manfaat dari mencatat aktivitas keseharian bagi mental seseorang. Diriwayatkan, BJ Habibie pun menggunakan aktivitas semacam itu guna mengatasi problem mentalnya pasca sang istri wafat. Harapannya, dengan tugas tersebut, siswa juga beroleh media talking cure (katarsis) sehingga dapat menjaga kewarasan mentalnya
Saya percaya, dengan adanya kolaborasi dan kontribusi dari sekolah semacam itu, dapat menjadi wasilah terciptanya komunikasi keluarga yang intim. Juga, peran madrasatul ‘ula yang telah tergerogoti dapat terbangun kembali..
Referensi:
Rakhmawati, F. (2022). Experience of Indonesian Working Mothers during Covid-19 Pandemic. Islamic Research, 5(1), 62-68. Retrieved from http://www.jkpis.com/index.php/jkpis/article/view/128
Vaterlaus, J.M., Shaffer, T., Patten, E.V. et al. Parent–Child Relationships and the COVID-19 Pandemic: An Exploratory Qualitative Study with Parents in Early, Middle, and Late Adulthood. J Adult Dev, 28, 251–263 (2021). https://doi.org/10.1007/s10804-021-09381-5