“Marsiadap Ari,” begitu bunyi semboyan suku Batak yang cukup masyhur di masyarakat. Ungkapan ini menegaskan pentingnya kegotongroyongan dalam menuntaskan suatu pekerjaan.
Gotong royong adalah warisan nenek moyang kita yang harus digairahkan di masa sekarang. Sebabnya semangat itu adalah formula sakti yang telah teruji dalam menyelesaikan pekerjaan sesulit apapun itu.
Bahkan hadirnya sepotong roti pun melibatkan berbagai macam pihak. Tidak akan ada sepotong roti tanpa adanya sinergi serta kolaborasi petani hingga juru masak. Tegasnya, terciptanya roti adalah hasil kegotongroyongan berbagai pihak.
Dalam masa sekarang, peran petani dipegang oleh pembuat kebijakan. Juru masaknya dipegang oleh media massa. Sedangkan konsumennya adalah masyarakat umum.
Sebagai petani, pemerintah dituntut untuk memilih benih kebijakan yang terbaik diantara yang baik; atau yang cukup buruk diantara yang terburuk. Petani juga tidak dapat tidak mempertimbangkan kecocokan lahan dengan benih tersebut.
Tidak tepat jika sifat tanahnya berair, benih yang ditanam adalah kurma. Begitu pula sebaliknya, tidak adil jika benihnya eceng gondok namun ditanam di tanah kering. Sebab setiap tanaman terdapat tempat tumbuhnya masing-masing.
Sebelum menjadi negara yang merdeka, Indonesia telah ditanami beraneka macam benih budaya dan kearifan lokal. Indonesia adalah ladang yang subur akan hal itu. Maka dalam membuat peraturan wajib hukumnya memperhatikan warisan tersebut.
Salah satu warisan yang sudah eksis adalah kebiasaan saling mengingatkan dengan benar dan sabar pada kebaikan (watawashou bil-haqqi watawashou bis-shobry). Kebiasaan inilah yang harus dipupuk oleh pembuat aturan. Maka Undang-Undang ITE yang dicanangkan revisi mesti berorientasi kesana.
Pasalnya, seiring berkembangnya zaman, budaya saling mengingatkan itu lebih banyak dimainkan lewat media maya. Itu pun dengan pelaku (akun) bodong. Dan tak jarang yang dilakukan bukan saling mengingatkan dengan benar dan sabar namun pada kebenaran.
Hal ini tentu keliru, sebab tidak dapat dipertengkarkan antara satu klaim kebenaran dengan klaim lain. Tuhan dan alam tidak menghendaki adanya hal yang lebih benar atau paling benar, namun hanya benar. Jika kita mempunyai kebenaran, maka dimungkinkan itu adalah berapa persen dari kebenaran.
Kebenaran layaknya seperti puzzle rumit bergambar suatu pegunungan. Barangkali kita telah berhasil susun kepingan puzzle bergambar puncak gunung terletak, atau kepingan pohon kelapa terletak, tapi kita tak dapat simpulkan bahwa seluruh teka-teki puzzle telah tersusun dan benar seluruhnya. Kita hanya dapat katakan bahwa satu diantara bagian puzzle telah tersusun.
Nah, begitulah kebenaran. Barangkali kita temukan bagian puzzle pohon kelapa, bukan berarti yang temukan kepingan gambar puncak gunung keliru. Semuanya benar pada proporsi dan presisinya masing-masing. Yang tidak benar adalah saling adu dan saling berkompetisi benar. Sehingga, muaranya adalah destruksi, ketidakamanan, dan ketidaknyamanan sosial.
Berbeda jika yang dijadikan kompetisi dan dilombakan adalah kebaikan. Saling insyaf menginsyafkan menuju kebaikan, maka ujungnya adalah kenyamanan dan kesejahteraan sosial masyarakat. Itulah perintah agama, fastabiqul khoirot (berlomba pada kebaikan), dan bukan fastabiqul haq (berlomba pada kebenaran).
Karenanya, leluhur kita mengajarkan untuk tidak menyemai kebenaran. Kebenaran adalah batu pijak saja. Jika disemaikan, pun pertimbangannya tidak hanya tentang true (kebenaran), namun juga necessity (keperluan), helpful (kebergunaan), dan kind (kebaikan). Maka kita lihat, hasilnya wayang kulit, tembang-tembang, dan tarian-tarian tradisional yang penuh hikmah.
Disini, media massa yang harus mengambil peran dalam memegang tampu tanggung jawab itu. Media massa tidak boleh menjadi penyelenggara kompetisi adu kebenaran di media maya. Media massa hendaknya menjadi “sintesa” atas pergumulan “tesa” dan “anti-tesa” di dalam masyarakat.
Memang sukar menjadi juru masak masyarakat dalam mengupas dan menguliti peristiwa dan fakta yang terjadi. Apalagi moncong senjata kadang menghadap muka, hingga iming-iming sokongan dana. Namun begitulah peran pembawa dan penyebar informasi, harus menanggung risiko demi tugas pelayanan dan edukasi masyarakat.
Apa tugas kita? Kita selaku konsumen harus bijak saat komplain pada peraturan dan kebijakan pemerintah. Konsumen yang bijak tidak hanya menunjukkan ‘’ketidakenakan’’ makanan tersaji. Namun mampu menunjukan ‘’kurang apanya’’ dan “apa yang perlu dilakukan” atas sajian, sehingga bisa diambil tindakan cepat dan tepat oleh penjualnya.
Sebagai penutup, penulis mengajak pembaca selaku konsumen berita untuk bekerja sama dengan media massa dan pembuat kebijakan. Karena, “Satu-satunya hal yang akan menyelamatkan manusia adalah kerjasama” Betrand Russel.