Kemudian seiring berjalannya waktu, pengetahuan berkembang cepat. Madrasah-madrasah mulai didirikan. Sejurus itu pula, muncul sebuah kebutuhan pusat referensi yang menopang kegiatan siswa. Konsep perpustakaan ala Bayt al-Hikmah pun banyak diadopsi.
Salah satu madrasah yang getol dalam hal ini adalah Madrasah Mahmudiyyah di Mesir. Sebuah pusat kajian dan pembelajaran Islam yang didirikan oleh Jamaluddin Mahmud bin Ali Al-Astadzar, seorang pejabat setingkat menteri yang mengelola keuangan daerah. Ia menjabat pada masa kekuasaan Sultan Nasheer Faraj bin Barquq (1405-1399 M) dari Dinasti Mamluk. Madrasah ini didirikan ada tahun 797 H atau bertepatan tahun 1395 M.
Madrasah ini bukanlah madrasah generasi awal di Mesir. Jauh sebelum itu, pada masa kekuasan Fathimiyyah al-Azhar (359 H) terlebih dahulu berdiri. Ada juga Madrasah Nashiriah di Kota Fustat.
Saat ini madrasah Mahmudiyyah ini tidak lagi bisa kita jumpai. Namun napak tilasnya masih bisa kita saksikan hingga saat ini. Tempat itu kini beralih menjadi Masjid yang saat ini dikenal sebagai Masjid al-Kurdi. Terkadang disebut juga sebagai Masjid Jamaluddin Mahmud al-Astadar. Masjid ini terletak di kawasan Darb al-Ahmar, Kairo, Mesir.
Pada masa itu, madrasah Mahmudiyyah merupakan salah satu madrasah terbaik di masanya. Karena, banyak sekali pengajar yang diragukan lagi otoritas keilmuannya. Madrasah ini secara spesifik mengajarkan fikih hanafi. Dalam hal ini diampu oleh Syekh Ahmad bin al-Atthar . Selain itu dalam bidang hadis Jamaluddin Mahmud mengangkat Ibnu Hajar al-Asqalani sebagai pengajarnya.
Selain menyiapkan pengajar yang otoritatif, Jamaluddin Mahmud juga melengkapi fasilitas Madrasah dengan perpustakaan yang cukup besar.
Perpustakaan ini menjadi pusat referensi sarjana muslim kala itu. Sebut saja nama-nama Ibnu Hajar al-Asqalani, As-Suyuthi, Al-Munawi, Al-Bulqini. Mereka semua pernah menghabiskan sebagian besar waktunya untuk menelaah koleksi perpustakaan ini.
Koleksi perpustakaan ini pada mulanya merupakan koleksi pribadi Qadli al-Burhan Ibn Jamaah (w. 675 H) hasil perburuan seumur hidupnya. Kemudian koleksi yang begitu banyak tersebut dibeli oleh Jamaluddin al-Astadar untuk diwakafkan sepenuhnya untuk perpustakaan Madrasah Mahmudiyyah. Dengan syarat, semua koleksi kitab yang ia wakafkan tidak boleh dibawa keluar.
Kitab koleksi perpustakaan Mahmudiyyah jumlahnya sangat banyak. Pada masa itu, bisa dibilang perpustakaan Madrasah Mahmudiyyah adalah yang paling lengkap. Menurut kesaksian al-Muqrizi, seorang sejarawan klasik Mesir dalam al-Mawâ’idz wa al-‘I’tibâr:
وبهذه الخزانة كتب الإسلام من كل فن
“Perpustakaan ini mempunyai koleksi kitab-kitab Islam dari semua disiplin pengetahuan.”
Ibnu Hajar al-Asqalani dalam Inbâ’ al-Ghumar juga memberikan kesaksian serupa:
إن الكتب التي بها وهي كثيرة جدا من أنفس الكتب الموجودة الآن بالقاهرة
“Kitab-kitab di Perpustakaan Mahmudiyyah ini jumlahnya sangat banyak. Yang mencakup kitab-kitab berharga yang ada di Kairo saat ini.”
Ibnu Hajar mencatat, jumlah koleksi kitab Perpustakaan Mahmudiyyah mencapai 4000 jilid.
Dengan jumlah koleksi yang begitu banyak tersebut, tentu sangat memanjakan pelajar Madrasah Mahmudiyyah. Mereka bisa menelaah referensi-referensi penting di madrasah mereka. Namun mereka terkendala satu hal, mereka tidak bisa mengakses kitab-kitab itu di luar kawasan perpustakaan. Mengingat syarat dari wakaf tersebut adalah tidak boleh dibawa keluar.
Syarat ini, pada kemudian hari memunculkan polemik baru. Karena pada praktiknya, syarat tersebut tidak benar-benar dilaksanakan oleh sang penjaga perpustakaan. Ia dinilai banyak pengunjung ‘tebang pilih’. Ada beberapa ulama yang mendapat akses khusus untuk membawa koleksi perpustakaan di luar kawasan perpustakaan. Seperti yang dilakukan oleh Alamuddin al-Bulqini (w. 868 H) dan al-Hafidz al-Munawi (w. 871 H). Beliau berdua seringkali meminjam kitab kemudian dibawa pulang untuk kepentingan karangannya.
Hal ini tentu menimbulkan kecemburuan di kalangan siswa Madrasah Mahmudiyyah. Mereka pun tidak bisa menerima, karena hal tersebut jelas menyalahi aturan fikih. Seharusnya syarat yang diberikan oleh waqif (orang yang waqaf) haruslah dipenuhi. Sedangkan apa yang dilakukan al-Bulqini dan al-Munawi adalah sebaliknya.
Akhirnya perkara tersebut sampai pada Imam As-Suyuthi. As-Suyuthi sendiri termasuk salah satu pengunjung tetap perpustakaan ini. Ia banyak menulis dan mengambil referensi dari sini.
Menanggapi hal tersebut, As-Suyuthi tampak tenang saja. Ia paham betul, apa yang dilakukan al-Bulqini dan al-Munawi —yang tidak lain adalah gurunya sendiri— tidaklah menyalahi aturan. Mereka punya dalil yang memperbolehkan. Ia pun lantas menulis kitab khusus yang berisi argumen-argumen pembelaan atas tindakan gurunya tersebut. Kitab itu di beri judul Badzl al-Majhûd fî Khizânat al-Mâhmud.
Dalam kitab tersebut Imam Suyuthi memaparkan beberapa argumen yang logis serta dalil-dalil dari para ulama yang dapat dipertanggungjawabkan. Diantaranya adalah beliau memaparkan pendapat dari Imam Ahmad bin Hanbal, yang memperbolehkan syarat wakaf tidak dipenuhi. Sehingga menurut As-Suyuthi, mungkin saja al-Bulqini dan al-Munawi memakai pendapat ini. Dan itu sah-sah saja.
Selain itu, kalau dinalar tujuan Jamaluddin al-Astadar memberikan syarat itu pada wakafnya adalah agar manfaat yang dirasakan bisa lebih luas. Dan keamanan bukunya juga terjaga.
Nah, apabila ada kebutuhan mendesak dari para pembaca untuk mengarang misalnya. Dan tidak memungkinkan untuk dilakukan di dalam Perpustakaan. Maka, tidak apa-apa untuk membawa koleksi tersebut keluar. Dengan syarat ia dapat dipercaya.
Imam Suyuthi juga memberikan catatan tambahan, bahwa koleksi-koleksi yang dapat dipinjam haruslah koleksi yang langka. Artinya koleksi tersebut hanya ada di Perpustakaan Mahmudiyyah. Jika judul koleksi tersebut sudah banyak beredar, dan mudah ditemui di luar perpustakaan, maka meminjam tidak diperbolehkan. Yang kedua, tenggang waktu meminjam juga harus diperhatikan. Sekira kebutuhan menulis dari referensi tersebut sudah selesai maka ia harus segera mengembalikannya.
Setelah risalah atau kitab kecil ini tersiar. Para pengunjung perpustakaan sudah mulai bisa memahami keadaanya. Kegiatan intelektual di perpustakaan tersebut semakin menggeliat.
Polemik lain juga pernah dialami oleh Imam Suyuthi di perpustakaan ini. Bahkan ia mendapat tuduhan serius. Ia dinilai oleh as-Sakhawi telah melakukan ‘plagiasi’ dalam karya-karyanya. Menurut as-Sakhawi, dalam menulis karyanya Imam Suyuthi hanya menyalin naskah-naskah di Perpustakaan Mahmudiyyah untuk diakui menjadi karyanya.
Memang, pada kenyataannya pada saat itu banyak sekali naskah dan manuskrip kitab di Perpustakaan Mahmudiyyah yang tanpa nama alias tidak disebutkan pengarangnya.
Namun, hal ini dengan cepat dibantah oleh As-Suyuthi. Menurutnya tuduhan itu ngawur dan tidak berdasar. Ia berdalih, mana mungkin ia mengakui kitab orang lain di Perpustakaan Mahmudiyyah, sedangkan aturan disana melarang untuk dipinjamkan keluar. Walaupun sebelumnya, ia memperbolehkan meminjam karena darurat. Namun, ia sendiri tidak pernah membawa keluar koleksi perpustakaan. Kalau butuh referensi, ia akan tekun membaca di dalamnya.
As-Suyuthi kemudian menulis kitab bantahan atas tuduhan as-Sakhawi tersebut. Kitab tersebut ia beri judul “al-Kâwi ‘alâ Târikh as-Sâkhawi”. Lewat kitab itu, As-Suyuthi menegaskan bahwa semua karyanya adalah orisinil. Asli buah pikirannya.
Begitulah dinamika yang pernah terjadi di Perpustakaan Mahmudiyyah. Perpustakaan yang telah memberikan sumbangsih besar dalam khazanah intelektual Islam. Imam Suyuthi saja kalau dihitung karyanya mencapai 600 karya, belum lagi ulama-ulama lain yang pernah mencicipi manisnya ilmu di perpustakaan ini.