Bernama lengkap Abu Ishaq Ibrahim bin Manshur bin Zaid al-Ajili, atau lebih dikenal dengan Ibrahim bin Adham. Beliau lahir di kota Balkh, salah satu daerah di Khurasan. Atau kini lebih dikenal dengan Afghanistan. Ia merupakan seorang yang terpandang. Bapaknya merupakan seorang raja. Tak heran jika semasa kecilnya ia terbiasa hidup dengan glamour. Sama sekali ia tak pernah merasakan pahit getir kehidupan. Hal yang membuat ia sama sekali tak berfikir untuk urusan akhirat.
Kehidupan sehari-harinya juga seperti lazimnya keluarga kaya, tak banyak menguras tenaga untuk bekerja. Ia hanya memanfaatkan setiap waktu senggangnya untuk hobi dan kesenangannya. Dan siapa yang menyangka, justru dari kebiasaan menyalurkan hobi tersebut, Ibrahim bin Adham justru tercerahkan. Ia mendapatkan hidayah dan tobat ketika ia sedang berburu. Hobi yang sangat disukainya.
Fariduddin al-Atthor pernah menuturkan kisah pertobatan Ibrahim bin Adham dalam Tadzkirat al-Auliya. Suatu ketika ia hendak berburu hewan buruan di hutan. Ia berangkat dengan menunggang kuda. Tak lupa ia membawa peralatan berburu yang lengkap. Sambil memacu kudanya, ia mengawasi kanan kirinya siapa tahu ada kijang yang dapat di buru. Tiba-tiba seekor kijang sudah berada di bawah kudanya dengan cekatan panah di tangannya ia arahkan pada kijang tersebut. Kemudian busur panah sudah ia tarik ke belakang. Dan, hampir ia lepaskan busur tersebut, tiba tiba kijangnya berbicara.
“Kamu tidak akan bisa menangkapku.”
Kemudian muncul suara lagi. Kali ini tidak datang dari kijang tersebut. Entah darimana datangnya suara itu. Kali ini bernada ancaman.
“Wahai Ibrahim engkau diciptakan tidak untuk melakukan hal ini (berburu). Tuhanmu sama sekali tidak pernah memerintahkan ini.”
Mak jleb.
Perkataan itu dalam, menusuk kesadaran Ibrahim bin Adham. Keinginan untuk mengejar kijang itu pun sirna. Berganti pergolakan batin yang panjang. Keyakinannya selama ini untuk menikmati hidup di dunia ini, seakan goyah. Ia baru mnegetahui tujuan hidup yang sebenarnya. Bahwa, ia tak lain adalah hamba Allah dan pasti akan kembali kepada-Nya. Oleh sebab itu ia memutuskan untuk kembali dan memulai menapaki fase baru dalam kehidupannya.
Dalam riwayat lain, kisah kembalinya Ibrahim bin Adham di jalan Tuhan juga pernah terekam oleh catatan Syekh Muhammad bin Abu Bakr al-Ushfury dalam Mawaidz al-Ushfuriyah.
Suatu ketika, ia seperti biasa sedang menunaikan hobinya di hutan, berburu hewan. Sesampainya di tempat tujuan, ia tidak langsung memulai perburuannya. Ia memilih untuk break terlebih dahulu untuk sarapan. Sambil menikmati suasana hutan yang asri. Sungguh kenikmatan yang hakiki.
Ia pun menggelar permadani, dan menyiapkan beberapa bekal makanan yang telah ia siapkan. Ketika Ibrahim hendak makan, datanglah seekor burung gagak mengambil sepotong roti, kemudian terbang menjauh.
Merasa jengkel atas kejadian itu, Ibrahim bin Adham pun memacu kudanya mengejar burung gagak tersebut hingga ke dalam hutan. Betapa kagetnya ia, ketika ia menemukan burung gagak tersebut memberikan roti tersebut kepada seorang pemuda. Anehnya lagi, pemuda tersebut sedang diikat kedua tangannya seperti seorang yang ditawan.
Melihat itu, Ibrahim bin Adham yang awalnya begitu jengkel dengan kelakuan burung gagak tersebut merasa iba dengan keadaan pemuda tersebut. Ia lantas bergegas melepaskan ikatan tangannya. Pemuda tersebut pun sangat berterima kasih kepadanya dan kemudian bercerita:
“Sesungguhnya aku adalah seorang pedagang. Di tengah perjalanan aku didatangi para pencuri dan mereka mengambil semua harta yang kubawa. Tak cuma itu mereka juga menyakitiku, mengikatku, dan meninggalkanku di tempat ini. Aku sudah tujuh hari berada di tempat ini. Dan setiap hari datanglah seekor burung gagak dengan membawa roti dan duduk di atas dadaku, dia berikan roti dengan paruhnya dan meletakkannya di mulutku. Dan tidaklah Allah meninggalkanku kelaparan pada hari-hari tersebut”.
Mendengar itu, hati Ibrahim bin Adham pun goyah. Ia jadi trenyuh. Bagaimana Allah tetap memberikan jaminan rizki kepada hambanya. sesulit apapun kondisinya. Ibrahim bin Adham kemudian bertobat dan kembali kepada Allah.
Setelah transformasi spiritual itu, Ibrahim bin Adham kemudian memfokuskan diri untuk memperbaiki diri (tazkiyatun nafs). Dan tentunya berguru kepada para ulama waktu itu. Ia memutuskan untuk hijrah ke Mekkah untuk menemui Sufyan At-Tsauri dan Fudhail bin Iyadh. Dalam kesempatan lain, ia juga berkelana menuju Syam untuk menimba pengetahuan di sana. Dan ia betul-betul berkomitmen untuk masuk dalam gerbang tasawuf. Ia mulai menata kehidupannnya.
Bahkan dalam catatan Ibnu Khalikan dalam Wafayat al-A’yan, Ibrahim bin Adham pernah melakukan 15 kali shalat fardhu hanya dengan satu kali wudhu. Itu berarti selama tiga hari beliau selalu suci, tidak pernah tertidur, tidak buang hajat. Ia hanya fokus beribadah. Mendekatkan diri kepada Allah Swt.
Ibrahim bin Adham wafat pada tahun 162 H di kota Jableh, Suriah. Di tempat kematiannya kini diabadikan dengan didirikan Masjid Ibrahim bin Adham yang hingga kini masih ramai dikunjungi peziarah. Wallahhu a’lam.