Sedang Membaca
Meningkatkan Keimanan dengan Pertanyaan
Akhmad Siddiq
Penulis Kolom

Dosen Prodi Studi Agama-Agama dan aktif di Moderat Muslim Institute (MMI) UIN Sunan Ampel Surabaya.

Meningkatkan Keimanan dengan Pertanyaan

Agama secara umum menuntut kepatuhan total dari pemeluknya. Ketika seseorang meyakini sebuah kepercayaan atau agama, artinya ia harus menyiapkan dan menyerahkan diri untuk melaksanakan ajaran-ajaran yang terkandung di dalamnya. Dalam ajaran Islam pengertian ini setidaknya bisa dipahami dalam istilah kaffah, yakni upaya melaksanakan ajaran Islam secara totalitas. Selain itu, kata al-Islam secara harfiah juga bisa berarti “pasrah” dan “menyerah”, al-khudhu’ wa al-inqiyad.

Meski demikian, bukan berarti bertanya dan mempertanyakan ajaran agama yang harus diyakini dan patuhi menjadi sesuatu yang dilarang. Bagaimanapun, dengan beriman seseorang tidak lantas harus mematikan penalaran dan pemikirannya, termasuk ajaran Islam yang sama sekali tidak mengebiri kemampuan berpikir pemeluknya. Justru sebaliknya, rangsangan dan anjuran agar seseorang berpikir banyak disebutkan dalam teks-teks agama.

Misalnya, kalimat afala tatafakkarun (tidakkah kalian berpikir), afala ta’qilun (tidakkah kalian menalar), dan sejenisnya yang banyak disebutkan dalam Alquran. Mari kita kutip dua ayat saja terkait dengan hal ini.

“Ah (celakalah) kamu dan apa yang kamu sembah selain Allah. Maka apakah kamu tidak berpikir?” (QS. Al-Anbiya’: 67)

“Katakanlah: Aku tidak mengatakan kepadamu, bahwa perbendaharaan Allah ada padaku, dan tidak (pula) aku mengetahui yang gaib dan tidak (pula) aku mengatakan kepadamu bahwa aku seorang malaikat. Aku tidak mengikuti kecuali apa yang diwahyukan kepadaku. Katakanlah: ‘Apakah sama orang yang buta dengan yang melihat?’ Maka apakah kamu tidak memikirkan(nya)?” (QS. Al-An’am: 50)

Dua ayat di atas memiliki konteks dan asbabun nuzul yang berbeda, tetapi keduanya mempunyai kesamaan dalam kalimat penutup, yakni menggunakan redaksi yang bermakna ajakan, anjuran atau motivasi kepada pembacanya untuk senantiasa berpikir dan memikirkan ajaran-ajaran agama.

Baca juga:  Ketika Gus Dur Menulis Mahatma Gandhi

Dalam konteks ini, saya meyakini bahwa tidak ada yang salah (dan patut dipersalahkan) ketika seorang muslim kemudian mempertanyakan doktrin-doktrin keislaman. Misalnya, seseorang yang mempertanyakan tentang alasan kenapa diwajibkan untuk pergi haji, puasa, membayar zakat, salat, bahkan mempertanyakan kenapa tuhan harus satu. Menurut saya, semua pertanyaan tersebut “sah-sah saja.”

Jika ditelisik lebih mendalam, tentu jawaban dari pertanyaan-pertanyaan di atas akan tersingkap. Allah Yang Maha Mengetahui sejatinya sudah tahu dengan sebenar-benarnya bahwa di antara hamba-hambaNya ada yang mbeling (lebih kerennya “kritis”), yang seringkali mempertanyakan perintah-perintahNya. Maka, Allah juga menyiapkan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu, sehingga hamba yang mau berpikir akan dapat menemukannya.

Ketika seorang Muslim bertanya-tanya kenapa harus salat, misalnya, Alquran memberikan banyak penjelasan. Salah satunya, seperti yang termaktub dalam surat Al Ankabut (29)  “salat itu mencegah seseorang dari perbuatan keji dan munkar.” Selain itu, salat dapat dijadikan sebagai solusi untuk mendapatkan ketenangan hati, li tatmainnal qulub, sementara di sisi lain ia juga dapat berfungsi sebagai kontrol emosi-sosial. Karena, pada dasarnya Islam mengajarkan bahwa seharusnya ada korelasi antara ibadah personal dengan kesalehan sosial.

Terkait pertanyaan tentang mengapa seseorang harus berderma dan berzakat, Islam menerangkan bahwa kekayaan itu tidak boleh hanya dinikmati dan didominasi oleh segelintir orang atau golongan kaya. Seperti yang dijelaskan dalam surah Al Hasyr (7), Kaila yakuna dulatan baina al-aghniyaa minkum. “Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, untuk Rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu.

Baca juga:  Terorisme dan Media (3): Jalan Damai Lawan Jalan Brutal

Ketika muncul pertanyaan perihal puasa, Alquran menjelaskan dalam surat Al Baqarah (182), “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” Selain menjelaskan kewajiban berpuasa yang juga telah diberikan kepada orang-orang sebelum umat Muhammad, ayat ini juga menjelaskan bahwa tujuan dari puasa itu sendiri semestinya adalah mencetak pribadi-pribadi yang bertakwa.

Bahkan ketika mungkin terbersit di hati seseorang pertanyaan mengapa tuhan hanya satu, Alquran menegaskan bahwa “andai saja ada tuhan-tuhan lain selain Allah, niscaya langit dan bumi akan hancur.” (QS. 21:22) Oleh karena itu, keyakinan tentang keesaan Allah (ahad) harus dipahat secara kuat dan mendalam. Dalam ayat lain Alquran menegaskan “Katakanlah (wahai Muhammad): Dialah Allah yang Esa.” (QS. 112: 1)

Dari penjelasan di atas, bagaimanapun, beragama adalah proses untuk membangun kepatuhan yang dapat bertahan (dan harus dipertahankan) di tengah derasnya arus pertanyaan kritis umat manusia. Beragama bukan semata kondisi dimana seseorang memiliki keyakinan akan hal-hal yang gaib dan supranatural, titik, melainkan upaya dinamis merawat keyakinan itu tumbuh dan menjaganya dari hama keraguan dan ke-masygul-an.

Dengan beragama, secara tidak langsung, seseorang kemudian memiliki konsekuensi yang harus ditaati. Namun, hal demikian, sependek pengetahuan saya, membutuhkan lebih banyak pemikiran dan pertanyaan supaya menjadi lebih dinamis. Sebuah keyakinan tanpa senggolan pertanyaan dan cubitan kegalauan ibarat telaga mati: indah dilukis tapi membosankan saat dikunjungi.

Baca juga:  Merawat Manuskrip di Masjid Kuno Pasukan Pangeran Diponegoro

Dalam ayat lain, Alquran bahkan mencibir “kemalasan” orang-orang yang hanya ingin beragama dengan modal keyakinan statis dan keimanan yang mati. Mereka berandai-andai bahwa keyakinan dan kata-kata sudah cukup untuk mengantarkan mereka menuju keselamatan, tanpa mau berpikir mendalam dan beramal nyata.

Perihal ini disampaikan dalam surah Al Ankabut (2-3) “Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: ‘Kami telah beriman’, sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.”

Akhirnya, bertanya dan mempertanyakan ajaran agama adalah bagian dari proses menguji keimanan diri seorang pemeluk agama. Apakah selama ini kita, sebagai pemeluk agama, sudah memahami dengan benar apa yang kita imani? Apakah kita merasakan kenyamanan dan kedamaian saat menjalankan ajaran agama yang kita peluk? Apakah ada dampak, spiritual maupun sosial, dari kepatuhan kita terhadap ajaran agama? Pertanyaan-pertanyan semacam ini, saya yakin, akan memperkuat bangunan keimanan dan keberagamaan seseorang.

Wallahu a’lam. (RM)

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
1
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top