Suatu hari datang tamu menghadap Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari. Kepada beliau, tamu tersebut memohon supaya Hadratussyaikh sudi mencarikan menantu untuk anak perempuannya.
Dengan berkelakar, Hadratussyaikh bertanya, “Sampeyan cari mantu yang bagaimana? Yang pinter cari duit atau yang pinter menghabiskan duit?”
“Kalau mau yang pinter cari duit, itu ada orang Tionghoa. Kalau mau yang pinter menghabiskan duit, itu ada santri,” lanjut Hadratusyaikh.
“Saya tidak bisa mencarikan menantu Tionghoa. Tapi kalau santri bisa,” lanjut beliau. “Tapi ya, itu pinternya cuma menghabiskan duit.”
Rupanya, karena menganggap cuma kelakar, sang tamu ini pun mendesak kepada Hadratussyaikh.
“Ya, saya minta dicarikan menantu yang santri.”
“Betul? Sudah dipikirkan akibatnya?”
“Betul, Kiai.”
Benar saja, akhirnya si tamu dapat santri yang pinter ngaji, tapi tidak bisa cari duit.
Berjalan kira-kira tiga bulan, tamu itu sowan lagi ke Hadratussyaikh. Kali ini mengeluhkan menantunya, “Mohon kiai sudi memberi nasihat kepada menantu saya. Sudah tiga bulan dia tidak bekerja. Bahkan, saya belikan sepeda juga dijual.”
Hadratussyaikh tersenyum, “Dulu saya sudah bilang. Mau cari yang pinter cari duit atau yang pinter menghabiskan duit. Sampeyan pilih yang pinter menghabiskan duit. Sampeyan mengeluh lagi. Lalu harus bagaimana?” (Sumber: Tawa Show di Pesantren oleh Akhmad Fikri, AF)