Sedang Membaca
Kisah Hikmah Klasik (7): Rahasia Masa Kecil Nabi SAW
Akhmad Khazim
Penulis Kolom

Alumnus Perguruan Islam Matholi'ul Falah Kajen Margoyoso Pati. Mahasiswa Pascasarjana Universitas Al-Azhar.

Kisah Hikmah Klasik (7): Rahasia Masa Kecil Nabi SAW

Gua Hira, Tempat Nyepi Nabi Muhammad S.a.w

Kisah masa kecil Nabi sebagai manusia termulia, bahkan makhluk termulia, sudah barang tentu diketahui oleh setiap muslim. Mulai dari nama orang tua, kelurga, serta orang-orang yang ada di sekitarnya merupakan maklumat yang lazim dimengerti. Hanya saja ada beberapa rahasia yang mungkin belum begitu jamak diketahui, khususnya bagi orang awam.

Muhammad bin Abdullah dilahirkan dalam keadaan yatim. Ia ditinggal oleh sang ayah sejak umur dua bulan dalam kandungan. Setelah itu pun Nabi ditinggal oleh sang ibu pada umur enam tahun serta ditinggal sang kakek saat umurnya baru delapan tahun. Keadaan ini bukanlah satu kejadian tanpa sebuah hikmah.

Sejak kecil Nabi diasuh jauh dari kehangatan sang ibu, apalagi sayang ayah. Disini terdapat hikmah yang begitu jelas. Salah satu hikmah tersebut adalah mencegah kemungkinan orang yang meragukan kenabian Muhammad SAW. Keadaan Nabi yang demikian menutup kemungkinan bagi orang yang beranggapan bahwa Nabi serta ajaran yang dibawa olehnya sekedar merupakan hasil ajaran dan doktrin semata dari sang ayah ataupun kakek. Anggapan ini sangat mungkin ada, mengingat posisi sang kakek –begitupun sang ayah— merupakan orang terpandang dalam masyarakatnya. Bagaimanapun seorang ayah ataupun kakek menginginkan para anak turunnya menjaga trah yang dimiliki.

Baca juga:  Kisah Hikmah Klasik (2): Instruksi Umar bin Khatab ke Munkar Nakir

Oleh karena kemungkinan di atas, maka masa kecil Nabi yang jauh dari didikan keluarga terdekatnya secara otomatis menolak tuduhan yang mungkin timbul seperti di atas. Hal ini semakin jelas ketika kita melihat paman Nabi, Abi Thalib. Meskipun ia dikaruniai umur panjang, hanya saja ia tidak beriman kepada Nabi, padahal paman Nabi hidup menyertai Nabi hingga sebelum hijrah. Kalau memang dakwah yang diserukan Nabi memiliki intervensi berupa trah kelurga, maka seharusnya sang paman meninggal dalam keadaan beriman kepada Nabi. Tapi justru keadaanya adalah sebaliknya.

Disamping itu, keadaan masa kecil Nabi yang demikian, mengajarkan kepadanya untuk tidak bergantung kecuali hanya kepada Tuhannya. Keadaan ini menafikan tumbuhnya sifat manja dan ketergantungan pada kenikmatan duniawi yang mungkin timbul dari Nabi kecil. Hingga akhirnya Nabi tidak jatuh terhadap rasa cinta pada harta serta jabatan.

Hal lain yang perlu diketahui adalah terkait wanita yang menyusui Nabi, Halimah as-Sa’diyah. Semula, sebelum rumahnya kedatangan bayi Nabi, keadaanya sangat memprihatinkan. Tanahnya tandus serta gersang. Hingga akhirnya, setelah kedatangan bayi Nabi, tanah yang semua gersang berubah menjadi hijau dan subur. Secara otomatis, hewan ternak miliknya pun menjadi sehat dan subur, setelah sebelumnya kurus karena kurangnya pakan.

Baca juga:  Kisah Hikmah Klasik (27): Tobatnya Lelaki Sombong di Tangan Yazid Al-Busthami

Kejadian ini dengan jelas menunjukan tingginya derajat Nabi –meski masih bayi— di hadapan Tuhan. Pernyataan ini menjadi benar, bukan klaim semata, dilandaskan pada sebuah analogi. Sebagaimana kita tahu bahwa syariat mengajarkan untuk tabaruk dengan orang-orang saleh, begitupun dengan anak turun Nabi ketika meminta hujan. Maka, jika orang saleh dan anak turun Nabi bisa memberikan berkah, lantas bagaimana dengan Nabi sendiri? Pastilah jauh lebih memberikan berkah. Ini sesuai dengan firman Allah: “Aku tidak mengutus mu (Muhammad) kecuali untuk menjadi rahmat bagi alam semesta” QS. Al-Anbiya’: 107.

Selain hal di atas, ada juga kejadian dada Nabi yang dibedah oleh malaikat Jibril. Saat itu, Nabi kecil tengah bermain dengan dua orang anak. Kemudian datanglah Malaikat Jibril membedah dada Nabi. Malaikat mengeluarkan tempat setan yang ada pada tubuh manusia, membasuhnya dengan air zamzam, kemudian mengembalikan ke tempat semula, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Muslim dari sahabat Anas bin Malik.

Kejadian ini mengandung hikmah, sebagaimana diungkapkan oleh Syekh Al-Buthi, bahwa yang terjadi bukanlah proses pencabutan kelenjar keburukan yang ada pada tubuh Nabi. Jika memang yang dilakukan adalah menghilangkan kelenjar keburukan, maka setiap orang jahat bisa langsung menjadi baik dengan mengoperasi kelenjar tersebut. Hikmah sebenarnya dari kejadian tersebut adalah proses mempersiapkan diri Nabi sejak kecil untuk menerima wahyu.

Baca juga:  Jalan Tobat Pemuda Tersesat (4): Ibrahim bin Adham, Ketika Berburu Justru Mendekatkan Diri pada Tuhan

Dengan demikian, proses ini merupakan proses maknawi. Hanya saja ia ditampakkan dalam bentuk fisik dengan tujuan memantapkan dan lebih memudahkan orang-orang dalam mengimani dakwah Nabi (Dr. Muhammad Said Ramadhan al-Buthi, Fikhu as-Shirah an-Nabawiyyah, Dar al-Fikr, Bairut, 2021).

Hal-hal di atas sekiranya perlu pola pikir umat muslim. Sehingga, dengan demikian seorang muslim mampu men-counter anggapan-anggapan miring yang ditujukan kepada Nabi Muhammad.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
3
Ingin Tahu
1
Senang
2
Terhibur
1
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top