Islam merupakan agama yang komprehensif. Ia masuk dalam semua lini kehidupan manusia. Setidaknya ada tiga terma besar yang dibawa olehnya, akidah, syariat dan akhlak. Pada pembahasan kali ini saya akan fokuskan pada bagian yang syariat. Terma ini merupakan satu bagian yang lekat kaitannya dengan tindakan mukalaf serta kaitannya dengan hukum yang melingkupinya. Meskipun ini merupakan terma bagian, hanya saja ia memiliki cakupan yang sangat luas. Ia mencakup metodologi, hasil hukum, penerapan hukum serta hal lain. Ada hal yang menjadi fokus utama dalam terma ini dan ini yang akan saya coba kupas. Fokus utama itu adalah konsep hukum.
Secara bahasa, hukum bisa diartikan sebagai “memutuskan”. Dalam istilah umum, ia diartikan sebagai: “Menisbahkan sesuatu pada hal lain atau menegasikannya”. Adapun hukum syariat ia memiliki makna: “Khitab Tuhan yang berhubungan dengan prilaku manusia dewasa baik yang bersifat tuntutan, pilihan atau yang lebih luas dari sekedar perilaku mukalaf”. Ini adalah definisi yang digaungkan oleh ulama-ulama Usul. Oleh karenanya pada pembagiannya akan ada sedikit perbedaan antara hukum menurut ahli usûl fikih dengan terma yang diusung dalam ilmu fikih.
Ulama Usûl fikih mengartikan hukum –berlandas pada definisi yang ada— sebagai nafsul khitab, dengan demikian pembagiannya menggunakan kata yang muta’addi, seperti Îjâb, tahrîm dan lain-lain. Adapun pembagian hukum yang ada dalam buku-buku fikih, bukan melihat pada nafsul khitab, akan tetapi lebih melihat pada sesuatu yang terkena khitab (muta’allaqul khitab). Ketika dicermati lebih dalam, maka perbedaan yang muncul bukan berlandas pada definisi yang berbeda antara keduanya. Perbedaan itu hanya merupakan perbedaan sudut pandang. Dengan demikian hukum serta pembagian yang dibawa dalam buku fikih bukanlah hukum yang bersifat azaly, karena ia merupakan perbuatan mukalaf yang terkena khitab, bukan khitab itu sendiri.
Hukum, mengacu definisi diatas, dapat dibagi menjadi dua bagian. Pertama, hukum taklîfi. Ia adalah hukum yang memiliki konsekwensi “memberatkan”. Dari sini ada lima macam hukum: (I) Hukum Îjâb: Adalah khitab Tuhan yang meminta seraya ada tuntutan untuk melakukannya (Lihat: Fahruddin ar-Râzi, Al-Mahsul, hal 74). Contoh dari hukum ini adalah:
ٱلزَّانِيَةُ وَٱلزَّانِى فَٱجْلِدُوا۟ كُلَّ وَٰحِدٍ مِّنْهُمَا مِا۟ئَةَ جَلْدَةٍ (النور: 2)
“Pezina perempuan dan pezina laki-laki, deralah masing-masing dari keduanya seratus kali”
Ayat tersebut adalah hukum îjâb, sebagaimana hukum menurut ahli usûl adalah nafsul khitab. Adapun ketika dilihat dari sudut pandang ilmu fikih, ayat tersebut merupakan dalil dari sebuah hukum. Hukum yang dimaksud disini adalah hukum wajib men-jilid orang yang berbuat zina. Sebagaimana wajib sendiri memiliki definisi: “Sesuatu yang apabila ditinggalkan akan dicela” (hal 76).
(II) Hukum tahrîm, merupakan khitab yang menuntut kita untuk meninggalkan sesuatu (hal 74). Sebagai contohnya adalah ayat:
فَلاَ تَقُل لَّهُمَآ أُفٍّ وَلاَ تَنْهَرْهُمَا (الإسراء 23)
“Maka janganlah sesekali engkau mengatakan kepada keduanya (orang tua) perkataan ‘ah’ dan janganlah kau membentak keduanya”
Ia merupakan khitab tahrîm yang berhubungan dengan larangan berkata “ah” serta membentak kedua orang tua. Perbuatan tersebut memiliki hukum haram dalam ilmu fikih. Adapun definisi haram –sebagai perbuatan yang terkena khitab— adalah kebalikan dari wajib.
(III) Hukum nadb, yaitu khitab Tuhan yang meminta untuk melakukan sesuatu tanpa ada tuntutan. Sedangkan perbuatan mukalaf yang terkena khitab ini disebut mandub. Ia diartikan sebagai sesuatu yang pelakunya akan mendapat pujian, sedangkan meninggalkannya tidak dicela (lihat: Jamaluddin al-Isnawî, Nihâyat as-Sûl, hal 50). Pada firman Allah:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَىٰ أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ (البقرة 282)
“Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu melakukan utang-piutang untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya” ۚ
Ayat tersebut adalah hukum nadb, sedangkan menulis hutang adalah perbuatan yang dihukumi mandub.
(IV) Hukum karahah, ialah khitab Tuhan yang berupa himbauan, tanpa adanya tuntutan. Sedangkan perbuatan yang terkena khitab ini disebut makruh. Makruh ini oleh Imam al-Baidowi didefinisikan sebagai: Sesuatu yang apabila seseorang meninggalkannya akan dipuji, jika melakukannya tidak akan dicela (lihat: Al-Isnawi, Nihayat as-Sûl, hal 51).
(V) Hukum ibahah, ialah khitab yang memberikan pilihan antara melakukan sesuatu atau meninggalkannya tanpa ada sisi yang diunggulkan. Sesuatu yang diperkenankan memilih tadi disebut mubah. Contoh dari hukum ini sangat banyak, antara lain hukum makan, minum, serta ayat yang berhubungan dengan keseharian (adat kebutuhan manusia).
Lima macam hukum diatas adalah pembagian hukum menurut Mutakallimin. Beda halnya dengan Hanafiyah, mereka membagi hukum tidak hanya menjadi lima macam, akan tetapi menjadi tujuh macam. Ada tambahan hukum fardu dan makruh tahrim menurut mereka. Menurutnya, fardu adalah sebagaimana wajib menurut Mutakallimin, hanya saja dalil yang menunjukkan keberadaannya harus qat’i, baik dari sisi transmisi maupun dari sisi dalalah (kepenunjukan). Sedangkan makruh tahrim hampir sama dengan haram pada pembagian Mutakallimin. Bedanya ada pada dalil yang menunjukan. Jika dalilnya qat’i, maka menjadi hukum tahrim, sehingga perbuatannya disebut haram. Apabila tidak sampai pada derajat qat’i maka hukumnya makruh tahrim.