Sedang Membaca
Catatan Penting Satu Abad NU: Sang Pendobrak Kejumudan Fikih Politik
Ahmad Khoirul Fata
Penulis Kolom

Pengajar di Jururusan Sosiologi Agama, Fakultas Ushuluddin & Dakwah IAIN Sultan Amai Gorontalo.

Catatan Penting Satu Abad NU: Sang Pendobrak Kejumudan Fikih Politik

Fikih Peradaban

PBNU di bawah pimpinan Gus Yahya telah memulai langkah besarnya: menginisiasi Religion 20 di Bali beriringan dengan gelaran G-20 dan menggelar Halaqah Fikih Peradaban di seantero Indonesia. Forum R-20 mempertemukan tokoh-tokoh agama negara-negara G-20 dengan tujuan menjadikan agama sebagai bagian dari solusi bagi dunia.

Ini merupakan langkah “keluar” yang dilakukan NU untuk turut serta menciptakan perdamaian dunia. Sementara untuk “kedalam” umat Islam, PBNU menggelar Halaqah Fikih Peradaban. Gelaran ini telah dimulai di seantero Indonesia yang berpuncak pada Muktamar Internasional Fikih Peradaban di Peringatan 1 Abad NU di Sidoarjo.

Dalam pemaparannya di Halaqah Fikih Peradaban di Gorontalo bulan lalu, Ulil Abshar Abdalla menjelaskan bahwa pertemuan ini digelar karena kenyataan masih banyaknya umat Islam yang belum bisa menerima realitas politik modern yang berubah. Terdapat beberapa kelompok umat yang wacana politiknya terkerangkeng dalam nalar politik Islam era kekhilafahan Utsmani dan abad-abad sebelumnya. Mereka susah beradaptasi dengan dunia politik modern yang ada saat ini, bahkan sebagian darinya menolak institusi politik modern seperti demokrasi, nasionalisme, kedaulatan rakyat, dan sebagainya.

Dengan demikian, Halaqah & Muktamar Fikih Peradaban merupakan upaya “kedalam” untuk menyiapkan umat Islam memasuki dunia modern dengan nalar politik baru berbasis kaidah fikih. Tulisan ini mencoba mengungkap urgensi forum Fikih Peradaban tersebut bagi umat Islam kontemporer.

Dari Krisis ke Transformasi

Kegamangan umat Islam saat ini tidak lepas realitas historis yang panjang, di mana Islam menjadi kekuatan politik dominan di masa lalu dengan segala superioritasnya. Di era modern Barat mulai pasang naik dengan segala superioritasnya, sementara Dunia Islam justru mengalami arus surut peradaban. Kolonialisme Barat atas Timur (Dunia Islam) dan pembubaran Khilafah Utsmani di awal abad ke-20 menimbulkan krisis hebat di Dunia Islam. Tiba-tiba keadaan terbalik: Barat superior dan Islam inferior.

Baca juga:  Pemetik Puisi (25): Yudhistira ANM Massardi, Ya Allah, Orde Baru

Kondisi ini disebut Azyumardi Azra (2016) sebagai “masa terjadinya krisis terberat dalam sejarah peradaban Islam.” Selain karena kondisi umat Islam yang sedang sakit, krisis tersebut juga disebabkan oleh benturan dengan negara-negara Barat yang menyebabkan dunia Islam terjatuh dalam jurang imperialisme dan kolonialisme. Dampak lanjutannya ialah munculnya krisis identitas di kalangan umat Islam.

Barat menyebarkan peradaban mereka ke seluruh dunia melalui globalisasi dan kolonialisasi. Tujuannya adalah homogenisasi tradisi dan kebudayaan yang berbeda di seluruh dunia, serta hegemoni mereka atas Timur (Ejaz Akram, 2004). Akram pun melihat globalisasi telah mengakibatkan kerusakan yang sistematis pada lembaga-lembaga tradisional di negara-negara non-Eropa.  Proses ini, tegas Bassam Tibbi (2009), membawa luka abadi pada umat Islam, yang di kemudian waktu diartikulasikan dalam berbagai aksi politik dan kekerasan sebagai sebentuk respon pertahanan-budaya (a defensive-cultural response).

Peradaban Barat modern itu dianggap asing dan tidak memiliki akar sejarah bagi umat Islam. Umat Islam, jelas Azra, sejak dulu sudah akrab dengan konsep dar al-Islam dan dar al-harb, namun kemudian dibingungkan dengan konsep nation state ala Barat. Sebagai sesuatu yang asing konsep politik Barat itu dianggap Akram telah merusak tatanan kelembagaan politik tradisional, memecah belah kesatuan umat, menyebabkan terjadinya desakralisasi dan amoralisasi proses politik, evolusi ke negara bangsa yang mengancam keamanan dunia Islam, dan munculnya problem demokrasi di dunia Islam.

Di tengah situasi krisis ini muncul beberapa pemikir dengan ide-ide yang berbeda: al-Kawakibi menyerukan nasionalisme Arab, Muhammad Ali Pasha mempelopori nasionalisme Mesir, sedangkan nasionalisme Turki disuarakan oleh Namik Kemal dan Zia Gokalp. Di kalangan pemikir Arab yang beragama Kristen juga muncul gagasan nasionalisme Arab yang dibangun di atas akar sejarah pra-Islam.

Baca juga:  Nahdlatul Ulama, Istana, dan Kontestasi Pemilu

Selain gagasan nasionalisme, juga muncul gagasan Pan-Islamisme dengan tokohnya: Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, dan Rasyid Ridha. Munawir Sjadzali menyebut ketiga tokoh tersebut sebagai penggerak salafisme baru dengan ide utama satu ikatan politik umat Islam dalam bentuk Pan-Islamisme. Bukan hanya ide, upaya merevitalisasi institusi kekhilafahan juga pernah dilakukan melalui Kongres Khilafat di Mesir dan Hijaz, namun semua upaya gagal. Salah satu sebabnya adalah ego masing-masing pemimpin negara Arab untuk menjadi khalifah baru.

Meski demikian, pada momentum yang penuh ketegangan itu telah terjadi transformasi dalam pemikiran politik Islam modern, dengan mulai diperkenalkan konsep “negara Islam” sebagai alternatif pengganti bagi negara khilafah. Tokoh yang dianggap sebagai teoritisi awal “negara Islam di era modern” adalah Rasyid Ridha (w. 1935).

Ridha melakukan transisi yang halus dari khilafah ke negara Islam. Dia menggunakan nomenklatur yang terasa baru dalam dunia modern dan terkesan paradoks, yaitu al-dawlah atau al-hukumat al-Islamiyyah. Pada era sebelum itu sudah mashur istilah khilafat atau imamat untuk menyebut negara atau pemerintahan. Menurut Hamid Enayat (2001), upaya Ridha itu tidak lepas dari keinginannya untuk mereorganisasi khilafah, namun di saat bersamaan dia juga menginginkan sebuah entitas baru yang secara institusi dan fungsi belum ada sebelumnya.

Ada dua tujuan yang ingin dicapai Ridha: 1). Prinsip kedaulatan rakyat; 2). Membuka kemungkinan membuat hukum buatan manusia. Tujuan pertama bisa dilakukan dengan syura antara penguasa dengan rakyat, di mana ulama ditempatkan sebagai perwakilan rakyat Sedangkan tujuan yang kedua dilakukan melalui ijtihad. Di sini Ridha menempatkan syariah sebagai pihak yang memiliki otoritas untuk menolak qanun (hukum positif). Jika terdapat pertentangan antara qanun dengan syariah, maka syariah yang dibenarkan karena qanun merupakan subordinat dari syariah.

Baca juga:  Dongeng (Masih) Berkhasiat

Belum Selesai

Meski Ridha telah berupaya menawarkan konsep “al-Dawlah/al-hukumat al-Islamiyah” sebagai institusi politik Islam di era modern, dan pemikir-pemikir lain menawarkan negara kebangsaan, namun tawaran itu tidak disambut dengan tangan terbuka oleh umat Islam. Terdapat beberapa kelompok Islam yang terus memimpikan kembalinya institusi politik “khilafah”, baik dengan cara yang soft dan damai semacam Hizbut Tahrir, maupun yang ekstrem seperti ISIS.

Sedangkan, sebagian besar umat Islam yang bisa menerima institusi politik modern pun tampak masih canggung hidup dalam institusi “negara bangsa”. Dalam institusi negara modern misalnya, dikenal konsep kewarganegaraan yang tidak didasarkan pada identitas komunal. Konsep seperti ini tidak dikenal dalam kosakata fikih siyasah yang dipegangi umat Islam dari dulu hingga kini. Negara modern pun mengenal batas-batasnya yang tegas, berbeda dengan negara Islam model lama (khilafah) yang batas-batas negaranya tidak terdefinisikan secara jelas.

Dengan kenyataan inilah, maka upaya PBNU untuk menggelar Halaqah Fikih Peradaban layak diapresiasi sebagai ikhtiar untuk melanjutkan upaya yang telah dirintis oleh Rasyid Ridha dulu. Di sisi lain, upaya itu juga menandai NU telah “pindah jalur”, dari semula menyelam dalam politik praktis masuk ke jalur yang lebih menusuk ke masalah utama umat Islam, krisis peradaban.   Allahu a’lam.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
2
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top