Sedang Membaca
Gus Dur di Mata Milenial: Wali yang PenuhTeka-teki
Akbar Malik
Penulis Kolom

Mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro. Menyukai isu-isu seputar keberagaman, kemanusiaan, dan kebudayaan. Sesekali menulis esai di sejumlah media online.

Gus Dur di Mata Milenial: Wali yang PenuhTeka-teki

Saya lahir dan tumbuh di lingkungan perkotaan. Geliat kehidupan dan hiruk-pikuk modernitasnya cukup tinggi. Implikasi dari itu adalah keintiman dengan spiritualitas menjadi rendah. Perjalanan dan penjelajahan spiritualitas perlu ditempuh secara mandiri dan proaktif. Tidak bisa diam menunggu hidayah dari lingkungan sekitar.

Ketika SMA, tahun 2015-2017 an terdapat pantikan perasaan untuk mulai mempelajari Islam lebih jauh. Pada awalnya, perkenalan dengan Islam dimulai dengan mengikuti kajian-kajian “ustaz gaul”. Mereka menggunakan pendekatan dakwah ala anak muda. Cukup berhasil.

Gerakan dan kajian Islam yang digagas para ustaz gaul dalam beberapa waktu membuat saya tersihir. Begitu juga bersama teman-teman yang sedang haus kebutuhan batin, saya rutin mendatangi kajian-kajian itu. Pada masanya, kajian- kajian itu penuh sesak oleh anak muda yang sedang “hijrah”. Seperti konser musik, kajian Islam riuh oleh anak muda yang berjejalan. Salat berjamaah sampai tumpah ke area parkir, akibat tidak cukup di ruangan masjid.

Hype sekali pada saat itu. Ibaratnya, mengikuti kajian Islam itu sudah masuk tren anak muda. Nongkrong pindah menjadi di masjid. Bertemu di kajian. Sepulang kajian mengobrol bersama.

Mengetahui Islam dari kulitnya saja tidak cukup. Saya ingin mengonsumsi dagingnya, yang alot untuk digigit pun tidak apa-apa. Mengikuti kajian Islam ala anak muda tentu bagus, memompa iman agar selalu stabil. Tapi, menurut saya, kurang cukup untuk mendayagunakan akal dan rasa dalam mengamalkan Islam yang lebih komprehensif di kehidupan nyata.

Baca juga:  Berhenti Mengaveling Surga!

Rasa ingin tahu tentang pemikiran Islam membawa saya pada intelektual muslim Indonesia kaliber Quraish Shihab, Gus Dur, Cak Nur, Syafii Maarif, Dawam Rahardjo, juga Cak Nun. Mereka termasuk tokoh intelektual muslim Indonesia yang sering diberi cap miring oleh tokoh lain yang berseberangan pemikirannya.

Alasan saya memilih akrab dengan pemikiran dan gagasan mereka adalah kepunyaan perspektif yang luas. Mereka merumuskan konsep ketuhanan, kemanusiaan, keislaman, dan kebangsaan dengan merujuk banyak sumber. Bahwa Islam pun bisa didialogkan dengan pemikiran filsafat Barat, contohnya. Keterbukaan itulah yang membuat saya cocok dengan pemikiran mereka.

Walau sempat mencicipi pemikiran dari para fundamentalis ketika mengikuti rohis, hati saya akhirnya terpatri untuk mendalami Islam ramah, Islam toleran. Islam sebagai agama harus punya wajah yang manis, tidak bengis. Ia harus dinamis dan sesuai dengan konteks zaman. Selain itu, rupa dan jiwa kemanusiaan yang ditampilkan para intelektual itu yang sangat saya kagumi.

Dari sekian banyak tokoh intelektual tersebut, saya sangat mengagumi Gus Dur. Sebagai milenial yang lahir di tahun 1999, saya sungguh bersyukur bisa mengakrabi pemikiran Gus Dur. Di saat anak muda lain mungkin sibuk dengan Tiktok, saya lebih senang senyap membaca semua tentang Gus Dur. Karya esainya, esai-esai tentang dirinya, sampai biografinya.

Perbincangan tentang Gus Dur tidak pernah surut. Gus Dur dibicarakan oleh semua kalangan. Yang muda maupun tua seakan ingin turut serta memberi kesan tentang Gus Dur. Kalangan profesional yang gelar akademiknya bejibun sampai orang-orang di warteg dan angkringan pun membicarakannya. Gus Dur sungguh pribadi yang inklusif.

Baca juga:  Salaman dan Berpelukan dalam Ajaran Islam

Sebagai anak kemarin sore, saya merasa terlambat menggumuli Gus Dur. Baik pemikiran ataupun kepribadiannya, semua terasa nyaman untuk dikenali lebih dalam. Humornya yang satir dan kegemarannya yang unik adalah salah dua ciri khasnya. Beliau kiai yang menyukai karya seni. Film dan sastra ia nikmati.

Makanya, ketika menjadi pejabat publik, gaya kepemimpinannya yang “nyeni” kental terasa.

Wali yang Penuh Teka-teki

Gus Dur itu wali, ucap banyak orang. Khususnya dari kalangan NU. Memang, pengetahuan Gus Dur itu lintas bidang, ragam keilmuan. Konon juga beliau punya ilmu laduni, suatu kemampuan menyerap ilmu dengan mudah. Ilmu yang langsung diberi Allah.

Kewalian Gus Dur bisa terlihat dari beberapa momen. Pernah ada suatu cerita bahwa Gus Dur sedang tidur dalam suatu obrolan. Tapi ketika beliau bangun, beliau langsung bisa mengikuti alur pembicaraan itu. Itu hanya satu cerita sederhana yang sudah jamak diketahui. Cerita-cerita lainnya banyak dikisahkan orang-orang dalam tulisan ataupun ceramah.

Dengan segala keluarbiasaan pada Gus Dur, terkadang tetap ada hal-hal yang menjadi teka-teki. Tidak bisa dijawab dari sekadar membaca biografinya, atau membaca cerita orang-orang tentangnya. Teka-teki itu terangkum dalam segala keunikannya sebagai pribadi yang lengkap; kiai, intelektual, pejabat politik, budayawan, penulis.

Baca juga:  Berani “Memasak” Gagasan Sendiri: Tentang Filsafat dan Lain-Lain

Keluarbiasaan dalam wajah wali bertemu dengan keunikan dalam segala teka-teki. Kedua hal itu menarik untuk terus dipelajari, dijadikan hikmah dan teladan bagi para anak muda kini. Melalui kewaliannya, kita bisa mengambil hikmah tentang kesungguhan menggenggam ilmu. Sementara dari keunikannya, kita mendapat pelajaran bahwa semua bisa dikemas secara santai dan luwes, tidak melulu serius dan spaneng.

Di mata milenial, terkhusus saya, Gus Dur adalah guru bangsa yang hebat sekaligus unik. Sosok seperti Gus Dur selalu relevan dijadikan teladan. Apalagi di zaman kemajuan teknologi informasi saat ini. Media sosial menjadi ajang unjuk eksistensi kaum muda. Sering kali justru membuat kaum muda larut keasyikkan sehingga lupa untuk menepi dan bergulat dengan sunyi.

Sambil scroll linimasa Instagram, coba sesekali baca tulisan tentang Gus Dur. Di Instagram pun banyak. Setidaknya, dalam keriuhan bermedia sosial kita tetap mendapat kedamaian dari petuah ataupun kesan baik orang-orang tentang Gus Dur.

Bersyukurlah bagi milenial biasa yang bisa mengenal Gus Dur. Milenial yang bukan dari keluarga santri, NU struktural ataupun kultural, tapi murni senang melacak ilmu pengetahuan dari guru sekaligus tokoh bangsa. Perjumpaan itu akan terasa lebih otentik, murni, terlepas dari segala keterkaitan. Dan, rasa syukur itulah yang kita kejar bersama.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
0
Senang
1
Terhibur
0
Terinspirasi
2
Terkejut
1
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top