Naskah Melayu merupakan naskah yang paling banyak ditemukan di Indonesia. Salah satunya naskah yang berjudul Hikayat Abu Sama atau disingkat dengan HAS. Naskah ini merupakan naskah populer di kalangan masyarakat Melayu. Mengapa demikian? Sebab, melalui inventarisasi naskah, naskah ini berjumlah lebih dari 1 atau dalam filologi disebut dengan naskah jamak. Terhitung melalui studi katalog naskah ini berjumlah 16 buah, tersebar dan tersimpan di Indonesia 6 buah, Belanda 8 buah, Inggris 1 buah, dan Perancis 1 buah.
Hikayat Abu Sama atau ada juga yang menyebut Hikayat Abu Samah adalah naskah Betawi yang diadaptasi dari kesusastraan Melayu. Naskah ini memiliki beberapa versi bahasa yang digunakan antara lain bahasa Melayu, Jawa, Sunda, Aceh, dan Hindustan. Dalam kesusastraan Melayu, naskah yang terdapat di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI) diketahui dari studi katalog milik Van Ronkel ada 6 buah naskah yang disimpan. 1 dari 6 buah naskah tersebut menyebutkan bahwa naskah HAS ditulis pada tahun 1239 H (1823) oleh Muhammad Cing Saidullah. Dilihat dari deskripsi naskah melalui OPAC PNRI, HAS berjumlah 69 halaman, dengan ukuran naskah: 19,5 x 15,5 cm, ukuran blok teks: 15 x 10,5 cm, dan satu halaman terdiri dari 15 baris.
Naskah HAS koleksi PNRI sudah pernah diteliti sebagai skripsi oleh mahahasiswa Universitas Indonesia (UI) yang bernama Muhammad Hamidi pada tahun 1989 dengan judul Hikayat Abu Samah : Sebuah Pustaka Sastra Lama dan diteliti oleh Fitri Apriani Lestari sebagai lanjutan dari penelitian Hamidi untuk dijadikan objek skripsi pada tahun 2012 dengan judul Hikayat Abu Samah: Edisi Teks, Perbandingan Tokoh dan Penokohan, Serta Hukum Islam. Pada penelitian Hamidi (1989) objek naskah yang digunakan adalah ke-6 naskah HAS milik PNRI dengan tujuan untuk dibandingakan. Setelah dibandingkan ke-6 naskah tersebut disimpulkan bahwa teks HAS ada 2 kelompok berdasarkan alur bagian penghukuman Abu Samah. Kelompok pertama, Abu Samah dihukum satu kali, sedangkan kelompok kedua Abu Samah dihukum dua kali. Sementara itu, penelitian Lestari (2012) objek naskah yang digunakan adalah naskah PNRI dengan kode W 76 yang dibandingkan dengan naskah HAS milik Leiden dengan kode cod. Or. 1720 dari segi tokoh, alur, dan amanat dari perbandingan kedua naskah HAS t. Akhir penelitian yang didapat secara garis besar kedua naskah HAS baik dari PNRI maupun Leiden memiliki kesamaan, dari segi tokoh, alur, dan amanat.
Berbeda halnya dengan naskah HAS dari PNRI, naskah HAS juga disimpan oleh Perpustakaan Prancis (Bibliotheque National de France) dengan kode naskah Malayo Polynesien 65. Tidak banyak diketahui metadata HAS dari Prancis ini. Namun, melalui kolofon (tulisan akhir naskah), naskah HAS ditulis pada tarikh 1824, dengan menggunakan aksara Arab-Melayu (aksara Jawi) dan berbahasa Melayu. Teks ditulis menggunakan tinta hitam dan merah. Kertas yang digunakan jika dilihat dari bentuk digitalnya adalah kertas kuning Eropa. Pada akhir naskah tidak disebutkan nama penulis/penyalin naskah, tetapi disebutkan bahwa naskah ini ditulis di Betawi pada Kantor Sekretaris Government hari Senin, bulan Oktober, pukul 11.30 WIB.
Sisi menarik dari HAS adalah menceritakan tentang salah satu sahabat Rasulullah yang bernama Umar bin Khattab yang pada saat itu menjadi khalifah atau pemimpin bagi umat muslim mengerjakan hukum Allah atas perbuatan anaknya yang bernama Abu Sama akibat zina dengan perempuan Yahudi hingga memiliki seorang anak. Dikisahkan bahwa anak Umar ini yang bernama Abu Sama adalah seorang lelaki yang memiliki wajah tampan, memiliki suara merdu dalam membaca ayat suci Al-Quran, dan lemah lembut perilakunya. Pada awal kisah naskah ini diceritakan sebagai berikut:
“Wabihi nasta’in bilahi alli.”
“Ini hikayat cerita daripada Amirul Mukminin Umar Ibn Katab radiallahu ‘alanhu mengerjakan hukum Allah Taali atas anaknya yang bernama Abu Sama.”
“Diceritakan oleh orang yang ampunya ceritera di dalam sahibulhikayat tatkala wafat Abu Bakar Sidiq radiallahu ‘anhu. Maka Amirul Mukminin itu pun akan ganti khalifah. Maka Umar itu pun terlalu keras akan hukumnya daripada segala khalifah yang lain. Maka tiada terikut oleh orang dalam dunia pekerjaannya mengerjakan hukum Allah Subhana wa Taali dan agama Islam. Syahdan, maka tiada sekali-kali tiliknya pada yang jahat lagi, maka Amirul Mukminin Umar itu pun kepada masa itu. Dibunuhnya bapaknya dengan senjata, sebab ia tiada mau masuk agama Islam. Dan dibunuhnya anaknya dengan camati, sebab ia berbuat zina supaya takut segala umat Nabi Muhammad Rasulullah Saliallahu ‘alaihi wa salam. Dan barang siapa tuan-tuan membaca dia atau mendengarkan dia supaya ia menjadi ingatan kepada dirinya tuan-tuan sekalian beroleh rahmat daripada siksa azab Allah Taali. Demikianlah diceritakan oleh orang empunya ceritera.” (HAS, hal 1-3)
Secara ringkas naskah ini menceritakan tentang anak Umar Ibn Khattab yaitu Abu Samah yang mulanya kedatangan penyakit demam dan sakit kepala yang tak kunjung sembuh. Maka ia meminta izin kepada ayahnya, untuk pergi keluar rumah hendak berjalan-jalan ke tanah lapang dengan tujuan agar sakitnya berkurang. Kemudian, sampailah ia ke rumah orang Yahudi, hingga ia ditawari untuk mampir ke rumah tersebut. Akhirnya, Abu Sama pun mampir dan menceritakan tentang siapa dirinya dan sakitnya kepada orang Yahudi tersebut. Orang Yahudi pun memberikan sebuah obat yang katanya dapat menyembuhkan penyakit Abu Sama. Tanpa diketahui Abu Sama, ternyata obat yang diberikan itu adalah segelas arak atau minuman keras yang memabukkan. Setelah meminum segelas arak itu, Abu Sama merasakan pusing dan mabuk hingga ia tak sadarkan diri. Dalam kondisi tersebut, Abu Sama tanpa sengaja menyetubuhi anak perempuan orang Yahudi tersebut hingga ia hamil dan memiliki anak yang mirip dengan Abu Sama. Akibat dari perbutan itu, Abu Sama dijatuhi hukuman cambuk atau didera 100 kali di hadapan orang banyak oleh ayahnya sendiri, Umar bin Khattab. Di akhir kisah, Abu Sama meninggal dan dimasukkan ke surga oleh Allah.
Banyak pelajaran dan amanat dari cerita naskah Hikayat Abu Samah, diantaranya kasih sayang seorang ayah sekaligus sebagai seorang pemimpin harus memiliki sifat bijaksana. Umar Ibn Khattab dengan bijaksananya, memilih menghukum anaknya sendiri yang telah berbuat salah. Padahal di sisi lain, ia sebagai seorang ayah merasa tidak tega untuk menghukum anaknya. Namun, Umar lebih menegakkan hukum Allah dibandingkan dengan kasih sayang terhadap anaknya.