Dalam sebuah kisah berkaitan dengan Isra’ Mi’raj, ketokohan Siti Masyitoh yang menjadi tukang sisir putri Fir’aun dan mengimani ajaran Taurat merupakan satu kesatuan kisah yang tidak dapat dipisahkan. Dari situ, Kiai Muhammad Zubairi asal Sumberberas, Muncar, Banyuwangi menuliskan sebuah syair yang berjudul “Syi’ir Masyitoh”.
Kitab syi’ir ini selesai dianggit oleh Kiai Zubairi pada tanggal 21 Jumadil Akhir 1399 / 17 Mei 1979 pada jam 12 malam dan dicetak pada toko kitab Salim Nabhan Surabaya pada tahun 1405 H / 1984 M. Tidak ditemukan keterangan yang pasti kapan syi’ir ini mulai dikarang oleh beliau.
Adapun Kiai Zubairi sendiri dilahirkan pada tahun 1933 di desa Kedungjati, Purwodadi, Jawa Tengah dari pasangan Kiai Zainuddin dan Hj. Habibah. Dari jalur ayahnya, Kiai Zubairi memiliki ketersambungan nasab dengan Kiai Dalhar Watucongol, Magelang, Jawa Tengah.
Pengembaraan beliau dalam menimba ilmu dilakukan dengan berpindah dari satu pesantren ke pesantren lainnya dan di akhir pengembaraannya, Kiai Zubairi menimba ilmu kepada K.H. Abdul Mannan bin KH. Ilyas, pendiri Pondok Pesantren Minhajut Thullab, Sumberberas Muncar.
Ketawadhuan dan ketakziman yang ditampakkan oleh Kiai Zubairi selama nyantri di pesantren Kiai Mannan membuat beliau menaruh simpati terhadap Kiai Zubairi. Untuk mengungkapkan ekspresi kasih sayangnya, Kiai Mannan beserta beberapa Kiai lain di lingkungan Pesantren Minhajut Thullab sepakat untuk menikahkan Kiai Zubairi yang kala itu sudah menginjak usia 35 tahun.
Akhirnya pada tahun 1968 , Kiai Zubairi dinikahkan oleh Kiai Mannan dengan Nyai Alfiyah binti Kiai Faqihudin bin Abdullah Suhud, dari pernikahan ini Kiai Zubairi dikaruniai 7 keturunan. Selain membantu sebagai pengurus di Pesantren Minhajut Thullab, pada tahun 1970 Kiai Zubairi termasuk ulama’ yang pertama kali merintis kegiatan sosial santunan anak yatim di Kabupaten Banyuwangi. Dimana sebelumnya, kegiatan ini hanya dilakukan secara individual saja.
Bersama Kiai Luqoni Mannan dan Kiai Fachruddin Mannan (putra Kiai Mannan), Kiai Zubairi menata sistem pengajaran di pesantren Minhajut Thullab, baik itu di lembaga formal dan non formal. Selain itu, Kiai Zubairi juga aktif menulis sebuah kitab dalam bentuk syi’iran selain kitab syi’ir Masyitoh ini, tercatat sebagai berikut beberapa karya Kiai Zubairi yang telah ditemukan oleh Komunitas Pegon, antara lain: Syi’ir Poro Sesepuh (Syiir bermetrum rajaz tentang komitmen kebangsaan-keagamaan ulama sepuh NU), Syi’ir Ulan Handari (Syiir tentang prediksi huru hara yang akan terjadi di zaman akhir), dan Syiir Jawahirul Adab (Syiir tentang pelajaran akhlakul karimah).
Menurut salah satu pegawai dari toko kitab Salim Nabhan ketika penulis berkunjung ke sana, ia menuturkan kepada penulis bahwa Kiai Zubairi dahulu kala sering mencetakkan kitabnya di toko kitab Salim Nabhan ini sebagai bahan penunjang dalam kegiatan belajar mengajar.[1] Pada tanggal 12 Agustus tahun 2000, Kiai Zubairi yang kala itu menetap di depan pesantren Minhajut Thullab berpulang ke haribaan Ilahi di usianya 67 tahun saat beliau berada di Ketapang.
Adapun Syi’ir Masyitoh ini apabila ditelisik lebih lanjut memiliki pola meterum (bahr) hajz tamm/sempurna. Sementara isi dari syiir ini terbagi menjadi 24 sub bab yang membahas tentang perjalanan kisah Isra Mi’raj Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam. Dibuka dengan 4 bait awal pada qasidah shalawat badar dan ditutup dengan beberapa bait yang memuat sedikit profil beliau beserta asal usulnya.
Pembahasan mengenai Siti Masyitoh dalam syiir karya Kiai Zubairi ini dapat kita temukan di sub bab nomer 3 dengan judul “Mambu Gandha Wangi (Semerbak bau wangi)”. Adapun isi teks dari sub bab tentang Siti Masyitoh kami paparkan sebagai berikut :
“Sakjerone Isra’ Nabi # Mambu Gandha wangine”
“Gandhane pahlawan putri # Jibril caos atur Nabi”
(Di dalam perjalanan Isra’ Nabi, semerbak bau wanginya. Baunya pahlawan putri, Jibril bercerita kepada Nabi)
“Masyitoh iku asmane # wadon kang kuat imane”
“Juru suri ing keratone # Fir’aun kang banget lacute”
(Masyitoh itu namanya, perempuan yang kuat imannya. Tukang sisir di kerajannya, Fir’aun yang sangat keterlaluan)
“Sang raja Fir’aun nimbali # Masyitoh supoyo ganti”
“Imane maring Moho Suci # Yen bangkang dihukum pati”
(Sang raja Fir’aun memanggil, supaya Masyitoh ganti. Imannya kepada Yang Maha Suci / Allah, kalau membangkang dihukum mati)
“Masyitoh munjuk ature # Kanthi tatak penggalihe”
“Katimbang copot imane # Alurung kurban nyawane”
(Masyitoh naik perkatannya, dengan tegas perasaannya. Daripada copot imannya, mending nyawanya dikurbankan)
“Fir’aun midanget ature # Masyitoh banget dukane”
“Perintah poro punggawane # nggenan ngekum sak matine”
(Fir’aun naik pitam, karena Masyitoh yang membangkang. Fir’aun memerintahkan para menterinya, agar Masyithoh direndam di air panas sampai mati)
“Masyitoh dijegurake, wadah kang umup banyune”
“Mulak – mulak duh panase # Masyitoh tetep imane”
(Masyitoh dimasukkan, kepada wadah kuali air yang hidup. Mendidih aduh panasnya, Masyitoh tetap imannya)
“Masyitoh pahlawan putri # jasad ajur ora siti”
“Gandha tetep arum wangi # semerbak kadya kasturi”
(Masyitoh pahlawan putri, yang tidak hancur jasadnya. Bau jasadnya tetaplah harum wangi, semerbak seperti kasturi)
“Pantes dadi tuladhane # ummat ing tembe mburine”
“Kaum putri utamane # mantep iman islame”
(Pantaslah ia menjadai teladan, bagi umat di kemudian hari. Terutama bagi kaum perempuan, yang mantap iman dan islamnya)
Demikian Kiai Zubairi Muncar mengisahkan perihal Siti Masyitoh dalam kitab “Syiir Masyitoh” yang keteladanannya patut diambil ibroh / pelajaran bagi generasi sekarang wabil khusus kepada kaum perempuan. Wallahu a’lam.
[1] Khoiri (Pegawai toko kitab Salim Nabhan), Wawancara, 10 September 2024.