KH. Muhammad Shiddiq bin Abdulloh bin Sholeh atau dikenal sebagai Mbah Shiddiq, merupakan ulama’ asal Lasem yang diutus oleh gurunya Syaikhona Kholil Bangkalan untuk mensyi’arkan Islam di daerah timur pulau Jawa atau lebih tepatnya di daerah Talangsari, kabupaten Jember, Jawa Timur.
Beliau dilahirkan pada tahun 1453 H (1854 M) di daerah Perdukuhan Punjulsari, Desa Warugunung, Kecamatan Lasem, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Kiai yang berprofesi sebagai pedagang di pasar Gebang, Jember ini turut memprakarsai berdirinya 13 masjid yang ada di kabupaten Jember sebagai salah satu misi dakwah beliau menyebarkan agama Islam di kalangan masyarakat Pandhalungan (Baca: Afton Ilman Huda, “Kiai Shiddiq : Tinta Emas Perjuangan Untuk Indonesia, Kisah Hidup Kiai wa Dzurriyah”, (Jakarta : Kompas, 2021), hal. 32).
Dari Kiai Shiddiq, lahirlah putra – putri serta cucu nun allim allamah yang kelak juga berkhidmat untuk bangsa, ummat, dan Jam’iyyah Nahdhatul Ulama’. Sejarah mencatat bagaimana kesuksesan Kiai Shiddiq dalam mencetak jejak geneologis nya, sehingga dapat menjadi seorang penegak agama, penjaga bangsa, perintis pendidikan, bahkan menjadi waliyullah (kekasih Allah).
Ada Kiai Abdullah Shiddiq, Kiai Halim Shiddiq, Kiai Dzofier Salam (menantu), dan Kiai Shodiq Mahmud (cucu) yang bergerak menegakkan kemerdekaan Republik Indonesia melalui PPPR (Pusat Pimpinan Perjuangan Rakyat), lalu ada Kiai Mahfudz Sidhiq, Kiai Achmad Shiddiq, dan Kiai Achmad Hamid Widjaja (cucu) yang telah berkontribusi aktif pada Jam’iyyah Nahdlatul Ulama’, kemudian ada Kiai Qusyairi Shiddiq dan Kiai Ali Mansur bin Shiddiq yang piawai dalam menggubah syair, kemudian ada lagi yang menjadi politikus handal seperti Kiai Yusuf Muhammad (cucu) atau kerap disapa dengan Gus Yus, bahkan ada yang menjadi kekasih Allah, yakni Kiai Hamid (cucu) bin Abdullah bin Umar.
Selain menurunkan kader-kader militan dari lingkup keturunannya, Kiai Shiddiq yang merupakan santri dari Syaikhona Kholil Bangkalan ini juga memiliki beberapa rekam jejak intelektualnya dalam hal karya tulis. Ada kemungkinan bakatnya ini terasah ketika di Bangkalan, mengingat guru beliau tersebut juga memiliki bakat tulis-menulis, terutama dalam hal ilmu alat. Dalam buku biografi beliau yang berjudul “Kiai Shiddiq : Kisah Hidup Kiai wa Dzurriyah” karya daripada buyut beliau, Almarhum KH. Afton Ilman Huda.
Pada buku tersebut ditampilkan sebuah lembaran tulisan yang terdapat pada diary book milik cucunya KH. Ali Mansur Shiddiq, sang maestro Shalawat Badar. Kiai Ali Mansur meriwayatkan dua sholawat dari kakeknya yang berjudul shalawat tahsinul khuluq dan shalawat taubah. Adapun teks shalawatnya adalah sebagaimana berikut :
Shalawat Taubah
اَللّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صَلاَةً اَسْتَغْفِرُكَ بِهَا لِي وَلِجَمِيْعِ الْمُؤمِنِينَ وَالْمُؤمِنَاتِ وَاَتُوْبُ اِلَيْكَ بِهَا مِنْ جَمِيْعِ الذُّنُوبِ وَالْخَطَيَاتِ وَ عَلَى آله وصحبه وسلِّم
Artinya : “Ya Allah limpahkan shalawat kepada junjungan kita Nabi Muhammad, berkat shalawat tersebut kami memohon ampunan kepada – Mu serta segenap kaum mukmin dan mukminat. Dan aku bertobat kepada – Mu dari segala dosa serta keluputan. Serta atas keluarga nabi Mu dan sahabatnya salam sejahtera selalu tercurahkan.”
Keterangan : Shalawat ini dibaca 10 kali tiap hari setiap harinya
Shalawat Tahsinul Khuluq
اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمّدٍ صَلَاةً تُوَسِعُ بِهَا عَلَيْنَا الْأَرْزَاقُ وَ تُحْسِنُ بِهَا الْأَخْلَاقُ وَ عَلَى آله و صحبه و سلِّم
Artinya : “Ya Allah limpahkan shalawat kepada junjungan kita Nabi Muhammad, berkat shalawat tersebut luaskan kepada kami rizki – Mu dan bagusilah akhlaq ku. Serta atas keluarga nabi Mu dan sahabatnya salam sejahtera selalu tercurahkan.” (Baca: Afton Ilman Huda 78-79)”
Keterangan : Shalawat ini juga dibaca sebanyak 10 kali setiap harinya
Selain itu, Kiai Shiddiq memiliki sebuah manuskrip kitab dengan judul “Fatchurrahman”. Kitab ini merupakan salah satu karya asli Kiai Shiddiq yang belum disalin ulang serta di – tahqiq. Hal yang menyebabkan kitab ini tidak segera di – tahqiq adalah karena kondisi fisik kitab yang 50 % tidak utuh namun masih dapat dibaca.
Menurut Kiai Ali Dusun Angsana, Kecamatan Mumbulsari, Jember, kemudian Kiai Solahuddin Dusun Bintoro, Kecamatan Patrang, Jember, dan Kiai Subki dari Ambunten, Sumenep, Madura yang merupakan alumnus Pesantren Talangsari, mereka menuturkan bahwa metode pengajaran kitab Fatchurrahman ini dilakukan berulang – ulang. Dalam artian, apabila kitab tersebut khatam, maka kitab tersebut dibaca kembali dari awal.
Adapun materi yang termuat dalam kitab ini meliputi kumpulan materi ilmu tauhid dasar, ilmu fiqih dasar, ilmu akhlak dasar, dan diselipi bacaan do’a tertentu. Untuk tahun penulisannya, almarhum Gus Afton menduga bahwa kitab ini ditulis sekitar tahun 1900 ketika Kiai Shiddiq masih awal merintis Pesantren Talangsari. Bahasa yang digunakan oleh Kiai Shiddiq dalam kitab ini adalah bahasa Madura yang beraksara Arab – Pegon. Tentu hal tersebut merupakan bentuk adaptasi Kiai Shiddiq yang asli dari Lasem berdarah Jawa dan medan dakwahnya dihadapkan dengan kondisi mayoritas masyarakat yang didominasi oleh suku Madura pendatang.
Kiai Ali Mumbulsari menceritakan bahwa kitab ini dijadikan standar pelajaran wajib bagi santri Talangsari yang baru masuk pesantren sebelum naik ke jenjang berikutnya atau sebelum santri tersebut mengaji kitab lainnya.
Pasalnya, yang menjadi fokus misi dakwah Kiai Shiddiq adalah seorang santri sebelum naik ke jenjang atas, pondasi terkait syahadati (dua kalimat syahadat), usholliyani (niat sholat), fatihati (bacaan fatihah), tahiyyati (bacaan dalam shalat), azan, iqomah, qiroatul Qur’an harus dimatangkan dan dikuatkan. Karena hal – hal pokok tersebut menjadi bekal untuk terjun ke masyarakat. Maka dari itu untuk merealisasikan misi tersebut, Kiai Shiddiq pun menulis kitab “Fatchurrahman” tersebut. Setidaknya dari uraian singkat ini hendaknya dapat menjadikan perhatian serius bagi para pengkaji filolog dan turots ulama’ nusantara guna menyelamatkan khazanah turots “bapaknya para pejuang dan pimpinan NU” yang kondisi manuskripnya telah termakan oleh zaman. Wallahu ‘alam bishowwab.