Senin lalu (04/11) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama’ (PBNU) melalui Lembaga Ta’lif wa Nasyr – nya (LTN-PBNU) telah menerbitkan sebuah karya di bidang ushul fiqih yang ditulis oleh Wakil Rais Amm PBNU dan Wakil Pengasuh Pondok Pesantren Salafiyyah Syafi’iyyah Sukorejo Situbondo, Dr. (H. C) KH. Afifuddin Muhadjir dengan judul “Taisirul Wushul Ila ‘Ilmil Ushul”.
Dalam kata pengantar yang tertulis pada kitab tersebut, Kiai Afif mengatakan bahwa ketika beliau melihat realita di beberapa pesantren dan universitas Islam. Sedikit sekali dari kalangan santri dan mahasiswa yang paham lebih detail mengenai kajian ushul fiqih ini.
Sisi lain, kajian fan keilmuan ini tentunya berbeda dengan kajian yang ada dalam ilmu nahwu, ilmu sharaf, ilmu balaghah, dan lain-lain. Disebabkan karena kerumitan dan ketersinambungan konsepnya dengan kajian yurisprudensi Islam (ilmu fiqih). Maka, Kiai Afif menuliskan risalah kecil nun ringkas ini dengan harapan agar para thullab (penuntut ilmu) dapat memahami kajian ilmu ushul fiqih dengan mudah.
Sebagai bab pembuka, Kiai Afif memulai pembahasan dalam kitab ini dengan pembagian hukum Islam serta korelasinya antara ilmu ushul fiqih dengan ilmu fiqih. Dalam bab pertama pada kitab ini yang membahas Ahkam Asy – Syari’at, Kiai Afif menerangkan tentang pembagian lima hukum syara’ serta lima pembagian hukum taklifi yang hendaknya diperhatikan bagi mereka yang mempelajari ilmu ushul fiqih ini.
Menginjak pembahasan bab kedua Adillat Asy-Syari’at, beliau mulai membahas seputar dalil – dalil dalam hukum syara’ yang terbagi menjadi tiga, yakni dalil aqli (dalil yang berdasarkan rasionalitas), dalil hissi (dalil yang berdasarkan kepekaan panca indra), dan dalil syar’i (dalil yang berdasarkan syari’at) beserta metode penetapan dalil yang berasal dari Al-Qur’an dan As-Sunnah melalui metode nash qath’i dan nash dzanni.
Memasuki bab ketiga yang membahas tentang tata cara peng–istinbath–kan hukum berdasarkan dari teks dalil-dalil syara’ tadi, terdapat dua metode yang harus ditempuh, yakni melalui metode amm (global) dan khos (khusus). Dari dua metode ini, kita bisa memilah dalil-dalil syara’ yang bersumber dari Al-Qur’an dan As-Sunnah apakah dalil tersebut masuk dalam kategori amm atau masuk dalam kategori khos.
Metode amm sendiri dalam tata cara pengambilan hukum terbagi menjadi tiga, yakni ada makna amm yang menunjukkan bagi kalangan umum, kemudian ada amm yang menunjukkan maksud secara khusus, dan ada amm yang memang terkhususkan.
Untuk dalil syara’ yang bersifat khos dalam kitab ini penjabaran yang dipaparkan oleh Kiai Afif sangat detail dan ringkas beserta dengan contohnya yang tentu tidak memungkinkan ditulis kesemuanya dalam artikel ini. Masih dalam bab ketiga, Kiai Afif juga membahas tentang pembagian lafadz berdasarkan hakekat dan perumpamaannya, kemudian dijabarkan pula oleh beliau mengenai pembagian lafadz beserta macam-macamnya.
Lalu di bab terakhir, Kiai Afif membahas perihal penetapan hukum (istinbath) dengan tanpa teks, seperti melalui media ijma’ (kesepakatan bersama para mujtahid), qiyas (penetapan hukum berdasarkan analogi), maslahah mursalah (penetapan dalil hukum yang tidak tercantum di Qur’an dan Sunnah, tap mengandung aspek maqashid syari’ah), istihsan (penetapan hukum yang mengedepankan sisi fungsionalnya), dan istishab (penetapan hukum dengan mengembalikan hukum asalnya, selama belum ada dalil yang merubah kekuatan hukum asal tersebut).
Waba’du, kitab ringkas dan tipis ini menurut hemat penulis sebagai pelengkap karya Kiai Afif dengan judul “Fathul Mujib al – Qarib” yang membahas seputar fiqih Syafi’i dan merupakan kitab penjelas (syarh) dari Matan Taqrib-nya Abi Syuja’. Wallahu a’lam.