Sedang Membaca
Kronik Sejarah Berdirinya Jam’iyyah Ahli Thoriqoh al-Mu’tabaroh
Akmal Khafifudin
Penulis Kolom

Menempuh pendidikan di UIN KH. Achmad Shiddiq Jember prodi Hukum Keluarga Islam Fakultas Syariah. Kini ia mengajar di Ponpes Darul Amien Gambiran, Banyuwangi. Penulis bisa disapa di akun Instagram @akmalkh_313

Kronik Sejarah Berdirinya Jam’iyyah Ahli Thoriqoh al-Mu’tabaroh

Mbah Wahab Dan Kiai Tain Di Rejoso Tahun 1969

Kali ini penulis tidak akan membahas mengenai simpang siur sejarah pendirian JATMAN (Jamiyyah Ahli Thoriqoh An Nahdhiyyah), namun penulis akan membahas kronik sejarah yang merupakan cikal bakal awal berdirinya Jamiyyah Ahli Thoriqoh ini sebelum pecah menjadi JATMI (Jamiyyah Ahli Thoriqoh Mu’tabaroh Indonesia) dan JATMAN.

Berawal dari penemuan sebuah kliping majalah Aula NU bulan Oktober 1991 yang penulis temukan di arsip milik Universitas Darul Ulum (UNDAR) Jombang ketika penulis ber – tabaruk ke ruang kerja mendiang almarhum DR. KH. Musta’in Romly semasa menjabat sebagai rektor UNDAR pada tanggal 01 Juni 2023–dan tentunya sudah mendapat izin akses dari keluarga ndalem Bani Musta’in.

Adapun judul artikel ini yang terpampang pada kolom ummurrisalah adalah “Melacak Jejak Tarekat NU”. Ternyata terdapat sebuah fakta menarik, bahwasannya Kiai Wahab Hasbullah yang juga merupakan mertua Kiai Musta’in adalah perintis awal berdirinya Jam’iyyah Ahli Thoriqoh Mu’tabaroh ini, sebagaimana yang telah dituturkan oleh Kiai Rifa’i Romly atau adik Kiai Musta’in dan Mursyid Thoriqoh Qodiriyyah wan Naqsyabandiyah Pusat Rejoso, Jombang yang menggantikan kakaknya.

Berawal dari rihlah Kiai Wahab ke pesantren Buntet, Cirebon yang mana pesantren tersebut menjadi titik sentral kegiatan tarekat Syatariyyah dan Tijaniyah. Kiai Wahab melihat fakta lapangan bahwa terjadi pergolakan antar kedua pengikut tarekat tersebut. Mirisnya kedua pengikut tarekat tersebut saling mengkufurkan satu sama lain. “Sama – sama orang NU – nya kok tidak ada kerukunan dan kecocokan. Alangkah bagusnya kalau seandainya pengikut kedua tarekat itu disatukan”, guman Kiai Wahab sebagaimana yang ditirukan oleh Kiai Rifai Romly.

Akhirnya Kiai Wahab mendatangi kedua Kiai Mursyid yang pengikutnya bertikai tadi, beliau menanyakan ihwal asal usul tarekat tersebut, bagaimana silsilah mata rantai ke–Mursyid–annya, dan bagaimana praktik amaliyah wiridnya. Lalu Kiai Wahab pun juga mendatangi besannya, Kiai Romly Tamim yang juga pada saat itu menjadi Mursyid Tarekat Qodiriyyah wan Naqsyabandiyyah guna menanyakan ihwal yang sama sebagai bahan pertimbangan.

Baca juga:  Andries Teeuw dan Khazanah Sastra di Indonesia

Lalu langkah berikutnya yang Kiai Wahab tempuh adalah dengan melakukan anjangsana kepada beberapa Syekh pemberi legitimasi murid – muridnya sebagai Mursyid di Saudi Arabia, guna mencocokkan data mana tarekat yang muttasil (tersambung) atau biasa disebut tarekat mu’tabaroh dan yang munqothi’ (terputus).

Realita di lapangan lain juga ditemukan, bahwasannya para pengamal tarekat di Jawa Tengah juga mengalami gejolak yang sama. Maka untuk menyikapi hal demikian, Kiai Nawawi Berjan, Purworejo, Jawa Tengah (ayahanda Kiai Chalwani Nawawi) pada tanggal 31 Desember 1955 bertandang ke kediaman Kiai Masruhan Brumbung. Kedua kiai Tarekat tersebut menyetujui akan perlunya dibentuk suatu organisasi perkumpulan tarekat yang mu’tabar, guna meminimalisir pertikaian yang selama ini terjadi. Tahun berikutnya, sejumlah Kiai menghadiri acara Haul KH. Ibrahim Brumbung pada tanggal 12 September 1956, adapun para Kiai yang hadir dalam acara tersebut antara lain, KH. R. Asnawi Kudus, KH. Ma’shum Ahmad Lasem, KH. Mandlur Temanggung, KH. Juner Yogyakarta, KH. Abdurrahman Kendal, dan masih banyak beberapa kiai lainnya yang hadir dalam acara ini.

Para sesepuh NU tersebut diajak berunding terkait urgensi perlunya mendirikan sebuah organisasi yang menghimpun para penganut Thoriqoh yang Mu’tabar ini berdasarkan fakta yang ditemukan oleh Kiai Wahab dan beberapa Kiai Mursyid yang ada di Jawa Tengah. Ide yang semakin mantap itu kemudian digodok kembali pada tanggal 17 Maret 1957 bertepatan dengan acara haul KH. Zarkasyi Berjan,Purworejo. Setelah ditentukan kepanitiaan dan rencana kongres pertama tersebut, maka terbentuklah susunan kepaitiaan sebagai berikut, KH. Romly Tamim Rejoso, Jombang, Jawa Timur dan Hamdi Potopoi / Bupati Purworejo, Jawa Tengah (Pelindung), KH. Nawawi Purworejo (Ketua I), KH. Mandlur Temanggung (Ketua II), Mas Mahfudz Purworejo (Sekretaris I), Mas Ma’shum Semarang (Sekretaris II), Mangku dari Magelang (Bendahara I), Romelan dari Semarang (Bendahara II). Kongres kesatu ini menghasilkan kepengurusan berbentuk presidium yang diamati oleh KH. Mandlur Temanggung, KH. Chudlori Tegalrejo, KH. Usman, KH. Chafidz Rembang, KH. Nawawi, dan KH. Masruhan Brumbung. Walhasil sidang pertama persiapan kongres ini berhasil dilaksanakan di Rejoso, Jombang, Jawa Timur pada tanggal 19/ 20 Rabi’ul Awwal atau 10 Oktober 1957. Kongres ini akhrinya dijadikan acuan sebagai hari lahirnya Jam’iyyah Ahli Thoriqoh al – Mu’tabaroh.[1]

Baca juga:  Ulama Banjar (8): Tuan Guru H. Abdurrasyid

Maka beberapa hari berikutnya, bertepatan dengan tanggal 12 Oktober 1957, diadakan kongres pertama Jam’iyyah Ahli Thoriqoh al – Mu’tabaroh di pesantern Tegalrejo, Magelang, kemudian kongres kedua dilaksanakan di Pekalongan pada tanggal 09 Novermber 1959, lalu pada tanggal 28 – 30 Juli 1963 kongres ketiga diadakan di Tulungagung, Jawa Timur, kemudian kongres keempat diadakan di Semarang bertepatan tanggal 28 – 30 Oktober 1968, dan kongres kelima berlangsung di Madiun, Jawa Timur pada tanggal 02 – 05 Agustus 1975.

Pada kongres kelima tersebut, sosok Kiai Musta’in Romly yang juga putra Kiai Romly Tamim dan penerus estafet kepemimpinan Tarekat Qodiriyyah wan Naqsyabandiyah di Rejoso, Jombang terpilih sebagai Ketua Umum organisasi tersebut. Namun selang dua tahun, yakni menjelang Pemilu 1977. Kiai Musta’in secara terang – terangan menyatakan diri bergabung dengan Golkar yang pada saat itu menjadi partai pengusung Orde Baru, bukan hanya dinyatakan secara lisan. Bahkan di depan kediamannya pun ditandai dengan ditandai penanaman pohon beringin sebagai simbol dari partai berwarna kuning itu.[2] Sontak hal tersebut menjadi guncangan besar di kalangan internal Jam’iyyah Ahli Thoriqoh al – Mu’tabaroh.[3] Apalagi NU pada saat itu masih berfusi ke PPP serta belum adanya wacana “Khittoh 1926”.

Baca juga:  Pandangan Gus Dur Tentang Islam (1)

Reaksi keras itu akhirnya berujung pada pembuatan Jam’iyyah Ahli Thoriqoh jilid II pada Muktamar NU ke – 26 di Semarang pada tahun 1979 dengan nama “Jam’iyyah Ahli Thoriqoh al – Mu’tabaroh an – Nahdhiyyah” dan dikukuhkan terbitnya SK. PB. Syuriah NU No. 137/Syur. PB/V/1980. Penyematan “An – Nahdhiyah” sendiri menegaskan bahwa federasi pengamal tarekat Mu’tabar ini harus tetap berafiliasi ke NU (Dzofier, 1985 : 143). Sementara dari pihak Kiai Musta’in sendiri, beliau menambahkan “Indonesia” dan jadilah “Jam’iyyah Ahli Thoriqoh al – Mu’tabaroh Indonesia” sebagai bentuk bahwa organisasi perkumpulan tarekat yang dipimpinnya berinduk ke Rejoso.

Konflik yang berkepanjangan tersebut akhirnya mencair setelah NU kembali ke Khittoh 1926 pada Munas NU tahun 1984 yang diselenggarakan di ponpes Sukorejo, Situbondo. Waba’du, dari sinilah kemudian kedua organisasi perkumpulan tarekat tersebut tidak terikat dengan kepentingan parpol manapun dan fokus fastabiqul khairat untuk berkhidmat kepada ummat. Wallahu a’lam.

[1] Majalah Aula Edisi Bulan Oktober 1991, hal. 22 – 27.

[2] Saleh al Jufri, “Politik NU & Era Demokratisasi Gus Dur”, (Surabaya, LPLI IAIN Sunan Ampel : 1997), hal. 84.

[3] Mahmud Sujuthi, “Politik Tarekat Qodiriyyah wan Naqsyabandiyah Jombang”, (Yogyakarta, Galang Press: 2001), hal. 60

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top