Sedang Membaca
Musik sebagai Media Tawasul
Alwi Jamalulel Ubab
Penulis Kolom

Santri Ma'had Aly Assidiqiyyah Kebon Jeruk Jakarta.

Musik sebagai Media Tawasul

Ilustrasi Para Ulama Menggelar Sholawat Mahallul Qiyam

Mungkin jika melihat judulnya akan sedikit terlihat aneh. Sesuatu yang “hukumnya” diperdebatkan oleh kalangan ulama, digunakan sebagai “wasilah” atau perantara untuk meminta kepada Allah. Sebelumnya karena saya lahir dan tumbuh dalam tradisi NU, maka saya percaya tawasul. Contoh gampangnya tawasul itu sama dengan kita yang meminta bantuan khodim untuk bisa bertemu kiai.

Lazimnya, untuk tawassul orang-orang akan mengira yang digunakan sebagai medianya hanyalah doa dan tentunya kontak batin dengan yang dijadikan perantara itu.

Tapi kenyataannya, banyak dari musik yang dijadikan sebagai media tawasul atau perantara. Musik yang saya maksud di sini ialah syair-syair yang isinya ialah doa dan kalimat kalimat baik. Syair yang didendangkan sebagai tawasul sudah dari dulu dilakukan oleh para ulama, dan dijadikannya sebagai “media” taqarrub, mendekatkan diri kepada Allah.

Untuk jelasnya mari kita cermati kata-kata Syekh Muhammad Aly (w 386 H) dalam Qut Al-Qulub berikut ini:

وَمِنْهُمْ مَنْ كَانَ يَجْعَلُهُ اَذْكَارَهُ, فَيَذْكُرُ بِهِ اَوْطَارَهُ, وَ يَرْتَاحُ بِهِ قَلْبَهُ اِلَى الْحَقِّ اسْتِطَارَةً, وَكَانَ مَزِيْدًا لِاَكْثَرِهِمْ, وَتَقْوِيَةً لِحَالِهِ. وَهُوَ جُنْدٌ مِنْ جُنُوْدِ اللهِ يٌقَوِّي بِهِ قُلُوْبَ الْوَاجِدِيْنَ, وَيُرَوِّحُ بِهِ اَرْوَاحَ الصَّادِقِيْنَ وَيُفَرِّجُ بِهِ كُرْبَ الْخَاشِعِيْنَ وَيُكَرِّبُ بِهِ نُفُوْسَ الْمُرْتَاجِيْنَ, وَيَطَّرِبُ بِهِ الْمَحْزُوْنِيْنَ, وَيُحَزِّنُ بِهِ الطَّرَّبِيْنَ, وَيُشَوِّقُ بِهِ الْمُحِبِّيْنَ وَيُحَبِّبُ بِهِ الْمُرِيْدِيْنَ

Kalau saya artikan secara leterlijk kira-kira seperti ini:

Baca juga:  Fikih Lingkungan (3): Urgensi Energi Terbarukan

Di antara mereka (kaum sufi) ada yang menjadikannya (musik) sebagai dzikir, dengannya ia menyebutkan hajat/keinginannya, merekreasikan hatinya menuju kebenaran, menjadi energi positif dan penguat bagi keadaan kebanyakan mereka. Ia (musik) adalah salah satu dari sekian tentara Allah yang digunakan untuk menguatkan ekstase, rasa hati para Al-Wajidin, merekreasikam ruh/spirit para Al-Shadiqin, menghilangkan kesusahan para Al-Khasyiin, memberikan harapan pada hati Al-Murtajin, menggejolakkan hati Al-Mahzunin, membuat sedih At-Tharrabin, membuat rindu para Al-Muhibbin, dan membuat cinta Al-Muridin.

Ketika membacanya, saya sendiri tidak faham apa maksud dari perkataan Syekh Muhammad, menjadikan musik sebagai “dzikir”. Tapi, mungkin inilah yang disebut salah satu sirr, rahasia yang disebutkan Al-Ghazali mengenai musik.

Dan seketika apa yang saya bayangkan, ketika menghubungkannya dengan tradisi ulama dari dulu sampai sekarang ialah banyak dari ulama yang menggunakan syiir sebagai media tawasul, perantara dengan mendendangkannya lewat nada-nada melankolis positif.

Tidak menafikan dari pemahaman saya yang dangkal, maka saya meyakini di antara yang dimaksud oleh Syekh Muhammad adalah mendendangkan syiir yang isinya adalah doa. Musik syiir sebagai doa, tawasul.

Yang paling jelas dan sering terlihat ialah ketika acara maulid, dengan pembacaan berzanji atau diba’i. Banyak dari syiiran yang dibaca pada ritual ritual ini masuk kategori tawasul.

Diantara yang sangat familiar, dan sering didendangkan oleh khalayak sebagai tawasul adalah kutipan salah satu syiiran “burdah” milik Al-Busyiri (w 696 H) berikut ini:

Baca juga:  Fikih Lingkungan (5): Nabi Muhammad Sangat Menyayangi Alam

مَوْلَايَا صَلِّ وَسَلِّمْ دَائِمًا اَبَدًا *عَلَى حَبِيْبِكَ خَيْرِ الْخَلْقِ كُلِّهِمِ

هُوَ الْحَبِيْبُ الَذِيْ تُرْجَى شَفَاعَتُهُ * لِكُلِّ هَوْلٍ مِنَ الْاَهْوَالِ مُقْتَحِمِ

يَا رَبِّ بِالْمُصْطَفَى بَلِّغْ مَقَاصِدَنَا * وَاغْفِرْ لَنَا مَا مَضَى يَا وَاسِعَ الْكَرَمِ

(Ya Allah) wahai tuhanku berilah rahmat dan keselamatan selamanya terhadap kekasih-Mu sebaik-baik makhluk

Ia adalah kekasih yang diharapkan syafaatnya, untuk (menghilangkan) setiap ketakutan (kesengsaraan) dari ketakutan-ketakutan yang mencekam

Wahai Tuhanku, dengan perantara Al-Musthofa (Nabi Muhammad) sampaikanlah kami kepada tujuan-tujuan kami, ampunilah dosa yang telag kami lakukan sebelumnya, wahai Dzat yang Maha luas kedermawanannya.

Dari syiiran tersebut kita akan memahami bagaimana selama ini, “musik positif” menyertai kita sebagai salah satu media untuk mendekatkan diri pada Allah.

Banyak dari kalangan ulama Nusantara yang sering mendendangkan syiiran-syiiran sebagai media tawasul. Di antara  yang familiar ialah syiiran sa’duna yang sering didendangkan oleh al-Marhum KH Maemun Zubair, Sarang, Rembang. Syiir yang berisi tawasul dengan Siti Khodijah.

Dan di masa pandemi ini syair yang sangat populer dan hampir didendangkan di setiap sudut negeri ialah syair “li khomsatun”.

لِىْ خَمْسَةٌ اُطْفِى بِهَا * حَرَّ الْوَبَاءِ الْحَاطِمَةْ

الْمُصْطَفَى وَالْمُرْتَضَى * وَابْنِاهُمَا وَفَاطِمَة

Saya punya 5 orang, dengan mereka saya (bertawassul) menghilangkan panas wabah yang mencekam

Yakni Nabi Muhammad (Al-Musthofa), Ali bin Abi Thalib (Al-Murtadha), kedua anaknya (Hasan dan Husain) dan Siti Fatimah

Syair yang hanya terdiri dari dua bait yang kini disenandungkan di mana-mana itu tak lain isinya ialah meminta wasilah, perantara agar pandemi yang mewabah ini segera berakhir. Beberapa syiir yang saya sebutkan tidak lain memiliki korelasi dengan ayat alquran surat Al-Ahzab ayat 33 dan salah satu bait yang dilantunkan ketika pembacaan Al-Barzanji

Baca juga:  Mampukah Doa Melawan Virus?

اَهْلُ الْبَيْتِ الْمُصْطَفَى الطُّهُوْرِ*  هُمْ اَمَانُ الْاَرْضِ فَادَّكِرِ

Ahlu-l-bait Nabi yang suci merupakan keamanan di atas bumi, maka ingatlah

Mereka Ahlu-l-bait Nabi adalah orang-orang yang dekat dengan Allah, kita meminta kepada Allah melalui perantara mereka. Begitulah, mungkin salah satu musik yang bernilai positif, digunakan sebagai media tawasul.

Hal ini mengingatkan saya akan Kiai saya, Kiai Musthofa Aqiel di Kempek dulu, ketika mengibaratkan tawasul beliau mengatakan: “tawasul itu seperti halnya kita menggunakan kacamata, untuk memperjelas bacaan. Ketika kita menggunakan kacamata maka yang terlihat dan menjadi tujuan adalah tulisannya, bukan kacamatanya”.  Wallahu a’alam.

 

Referensi

Abu Hamid Muhammad Al-Ghazali. Ihya Ulum Ad-Din. 2011. KSA: Daar Al-Minhaj.

Syekh Muhammad bin Ali bin ‘Athiyyah.  Qut Al-Qulub fi Mu’amalati al-Mahbub wa wasfi thariq al-Murid ila Maqam at-Tauhid. 2001. Kairo: Maktabah Daar At-Turats.

 

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top