Alwi Jamalulel Ubab
Penulis Kolom

Santri Ma'had Aly Assidiqiyyah Kebon Jeruk Jakarta.

Ilmu Al-Qur’an (4): Apakah Semua Orang Boleh Menafsirkan Al-Qur’an?

Whatsapp Image 2021 07 27 At 22.43.30

Al-Qur’an adalah kitab yang kompleks, menyeluruh dan multi dimensi penafsiran. Dan hanya orang-orang tertentu saja yang diberi keistimewaan untuk dapat menafsiri Kalam ilahi tersebut.

Dewasa ini banyak orang-orang yang mengartikan Kalam Ilahi dengan tafsiran dan pendapatnya tanpa didasari ilmu yang memadai. Bahkan, lewat platform internet penulis pernah membaca katanya ada seorang takmir Masjid yang marah-marah karena ada salah satu dari jamaah yang masuk ke Masjid dengan memakai masker.

“Kamu masuk masjid ya sudah aman, kenapa pakai masker segala? Kamu ndak baca Qur’an yah. Ndak ada korona di sini!” Begitu kiranya penulis membayangkan apa yang dikatakan si Takmir pada jamaah masjid.

Melihat apa yang dikatakan si Takmir dengan membawa-bawa nama “Qur’an” mungkin dia mencoba menafsiri salah satu ayat Al-Qur’an seenak jidatnya. Saya kira mungkin ayat Al-Qur’an 97 surat Al-Imran yang dimaksud.

Yang artinya kalau di terjemahan kira-kira seperti ini: “ Barang siapa yang memasukinya (Baitullah) maka dia telah aman”. Baitullah artinya rumah Allah sama dengan Masjid, mungkin pikirnya (kalau tidak salah).

Ini adalah hal yang menarik, menurut pribadi penulis. Menimbang seseorang yang berkapasitas sebagai  “takmir” mencoba menjadi “mufassir”,ahli tafsir, menafsiri ayat Al-Qur’an dengan seenak jidatnya dan mengatakan Masjid itu anti korona, dengan hanya berdasarkan terjemahan ayat Al-Imran -97 ( mungkin) di atas.

Jelas-jelas penafsirannya salah kaprah dan tidak sesuai dengan maksud dari yang ditujukan ayat 97  Al-Imran tersebut.  Sekilas membahas ayat yang dituju,  maksud dari ayat tersebut (kalau dalam Tafsir Jalalain karya dua ulama agung: As-Suyuthi dan Al-Mahilli) ialah: “bahwa ketika seseorang masuk ke Baitullah, tanah suci Mekkah maka dia tidak akan mendapatkan perlakuan aniaya atau pun diskriminatif lainnya”, dan konteks ayatnya juga bukan membahas wabah, melainkan ibadah haji jika menimbang penggalan ayat selanjutnya. Jadi nggak nyambung kalau diaplikasikan dengan perkataan “Masjid anti korona” menimbang ucapan si Takmir.

Baca juga:  Guru Taman Pendidikan Al-Qur’an: Membangun Pondasi Keislaman, Mendidik Tanpa Pamrih

Kapasitas Yang Harus Dimiliki Seorang Mufassir

Beban barang harus tidak melebihi muatan maksimal mobil. Apa yang terjadi jika mobil kelebihan muatan?. Ban “bledos”, kempes, meledak atau paling parah jika pun dipaksakan untuk berkendara maka akan terjadi kecelakaan. Hal itu juga berlaku bagi manusia. Manusia memiliki kapasitas masing-masing. Kalau bukan bidangnya ya jangan coba-coba masuk. Entah, kalau dalam masalah non-sentral dan tidak berdampak buruk.

Nah, yang jadi masalah itu jika ranahnya itu adalah masalah sentral, semisal agama. Contoh kasus takmir Masjid marah-marah karena ada jamaah pakai masker ke Masjid dengan penyelewengan tafsir di atas adalah masalah sentral yang masih berdampak ringan. Paling santer yah adu mulut sampai ada salah satu yang mengalah, mungkin.

Kasus besarnya jika masalahnnya sentral dan efeknya besar pula. Ini yang jadi masalah serius. Bisa-bisa ujung-ujungnya jadi aksi terorisme karena salah doktrin.

Untuk menjawabnya, masalah takmir-mufassir tadi, penulis mengutip pendapat dari Syekh Manna Al-Qattan dengan kitabnya Mabahis fi Ulum Al-Qur’an. Syekh Manna’ menyebutkan ada 9 syarat kompleks yang harus dimiliki oleh seorang ahli tafsir.

Pertama, Keyakinan atau akidah yang baik. Menimbang keyakinan akan mengarahkan menjadikannya menafsiri ayat sesuai dengan yang ditujukan atau mengarahkannya untuk kepentingan pribadi atau kelompoknya.

Baca juga:  Citra Perempuan Ideal Menurut Al-Qur'an

Ke-dua, Tidak dikuasai hawa nafsu. Menjadikan ayat Al-Qur’an untuk legitimasi diri dan menyalahkan orang lain semisal.

Ke-tiga, menafsiri ayat Al-Qur’an dengan ayat Al-Qur’an lainnya, jika dimungkinkan. Semisal contoh kasus ayat yang Mujmal (global) dikerucutkan dengan ayat yang Muqayyad (tersifati/terbatasi dengan sifat). Karena pada hakikatnya ayat Al-Quran itu komplementer atau saling melengkapi.

Ke-empat, mencari penafsiran ayat Al-Qur’an melalui hadist. Karena sabda Nabi Saw adalah penerjemah ayat Al-Qur’an, sesuai dengan ayat An-Nisa (105).

Ke-lima, jika tidak menemukan dari hadist, maka menelusuri tafsirnya lewat ucapan Sahabat Nabi, karena mereka yang bersentuhan langsung dengan Nabi Saw. Dan serta mengetahui sebab-sebab turunnya ayat.

Ke-enam, menelusuri ucapan para pembesar Tabiin (orang yang membersamai Sahabat Nabi),  karena mereka yang mewarisi pengetahuan langsung dari Sahabat Nabi. Dan  jalur periwayatan seterusnya setelah Tabiin dengan riwayat yang shahih.

Ke-tujuh, pengetahuan yang kompleks, menyeluruh terkait ilmu gramatika bahasa Arab dan cabang-cabangnya seperti ilmu Nahwu, Sharaf, Badi’, Bayan, Ma’ani, dan lain sebagainya.

Ke-delapan, Pengetahuan terkait ilmu-ilmu yang berkaitan langsung dengan Al-Qur’an, seperti ilmu Qira’at, Tauhid, Ushul at-Tafsir, pengetahuan terkait sebab-sebab turunnya Al-Qur’an, praktik nasikh-mansukh (yang masih-dan sudah tidak ada hukumnya) juga perlu untuk dikuasai.

Ke-sembilan, pemahaman yang mendalam terkait ilmu pengetahuan tersebut. Bukan hanya orang yang belajar lewat terjemahan, terus petantang-petenteng, suka-suka hati menafsiri Al-Qur’an dengan seenak jidatnya.

Baca juga:  Tata Urut Ungkapan Al-Qur'an dan Keserasian Makna

Kecaman Untuk Mufassir Tanpa Ilmu

Sedikit membahas Tafsir bi Ar-Ra’yi (dengan pendapat sendiri), mengutip perkataan Ibnu An-Naqib dalam kitab Al-Itqan fi Ulum Al-Qur’an karya As-Suyuthi, ada 5 kesimpulan terkait permasalahan penafsiran Al-Qur’an dengan metode ini, yang tentunya tidak boleh dilakukan. Dengan ancaman neraka bagi yang melakukannya menimbang hadist Nabi Saw.

“Barang siapa menafsiri Al-Qur’an dengan pendapatnya sendiri maka hendaknya ia mempersiapkan tempatnya di neraka”. (HR. Abu Daud)

Pertama, menafsiri tanpa memenuhi syarat menguasai ilmu pengetahuan yang harus dimiliki oleh seorang ahli tafsir, seperti di atas.

Ke-dua, Menafsiri ayat Mutasyabih yang hanya diketahui maknanya oleh Allah.

Ke-tiga, Tafsir yang digunakan untuk menetapkan kelompok yang sesat atau rusak. Menjadikannya legitimasi pembenaran diri.

Ke-empat, Menafsiri dengan mengatakan (lewat teks)  bahwa maksud ayat ini seperti ini, dengan tanpa sandaran dalil.

Ke-lima, Menafsiri dengan se-enak jidat, mengikuti hawa nafsu dan keinginan diri sendiri, mementingkan kelompok atau madzhab sendiri.

Wallahu a’lam.

Sumber:

Syekh Jalal Ad-Din As-Suyuthi, Al-Itqan fi Ulum Al-Qur’an, 2008, (Beirut: Muassasah Ar-Risalah Nasyirun)

Syekh Manna’ Al-Qattan, Mabahis fi Ulum Al-Qur’an, (Al-Haramain).

 

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
1
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Scroll To Top