Sedang Membaca
Kemajemukan dalam Teks Mubadalah
A. Hirzan Anwari
Penulis Kolom

Mahasantri Ma’had Aly Nurul Jadid, Paiton Probolinggo.

Kemajemukan dalam Teks Mubadalah

Buku Relasi Mubadalah Muslim Dengan Umat Berbeda Agama

Kemajemukan merupakan keniscayaan. Bukan tanpa alasan, kemajemukan ini  menyiratkan hikmah bagi kehidupan manusia. Hikmah tersebut bisa diraih manakala manusia bisa menyikapinya dengan baik. Tanpa sikap fanatisme yang kerap berujung pada pertumpahan darah. Ironisnya, jika tidak segera diselesaikan, bisa menjadi embrio bagi edisi pertumpahan darah selanjutnya, dan menjadi warisan bagi anak cucunya kelak.

Adapun penyelesaian itu, salah satunya bisa dilakukan dengan cara membangun relasi dengan baik; kerjasama; gotong royong; dan toleransi. Baik terhadap golongan muslim, maupun non-muslim.

Berlaku juga terhadap kelas sosial: antara bos dan karyawan, pembantu dan majikan, atau di bidang ekologi: antara manusia dan alam. Sebab prinsip utamanya adalah mengenai relasi yang bermartabat, adil, dan maslahah. Adil berarti menuntut yang memiliki kapasitas, bisa memberdayakan yang kurang kapasitas. Maslahah artinya memperoleh kebaikan yang bisa dirasakan oleh kedua belah pihak.

Upaya membangun relasi, salah satunya bisa melalui jalur diplomasi. Seperti saat tragedi di Hotel Yamato, jenderal Soedirman, didampingi Sidik dan Hariono, berdiplomasi dengan Mr. M.V.Ch. Ploegman atas perilakunya yang menghianati malklumat 31 Agustus 1945, yang memutuskan bahwa, pada tanggal 1 September 1945, tak ada bendera yang boleh berdiri kecuali Sang Saka Merah Putih. Meskipun upaya ini akhirnya gagal dan berujung perang. Atau saat Presiden Soekarno menenangkan Sekutu yang menggandeng NICA, dengan TKR Resimen Magelang Pimpinan Letkol M. Sarbini yang hendak melakukan pengepungan di segala penjuru.

Upaya serupa juga pernah dilakukan Nabi Muhammad Saw. dengan orang yang berbeda agama. Nabi, dengan akhlak mulianya, menghormati, mendengar, mengajak, dan berbuat baik dengan mereka. Alhasil, pada saat eksperimen hijrah ke Habasyah atau Etiopia, dengan lebih dari 70 sahabat yang datang secara bergelombang untuk meminta suaka, diterima dan disambut dengan baik oleh Raja Najasyi dan masyarakatnya yang beragama Kristen. Atas respon baik ini, Nabi memuji kebaikannya dan menjaga kuat dan baik relasi dengan raja tersebut, meskipun ia dan rakyatnya tidak beriman, dan bertahan dengan agama dan hukum yang dianutnya.

Baca juga:  Al-Intishar wat Tarjih: Kristologi Jawa-Pegon Karangan Muhammad Humaidi Shalih al-Jawi (1930)

Rasa nyaman yang diberikan oleh Raja Najasyi dan masyarakat Etiopia ini memikat beberapa sahabat untuk memilih berdomisili di tempat yang berjarak sekitar 4.000 kilo meter dari Kota Mekkah. Bahkan sampai akhir kehidupan Nabi Muhammad Saw., seperti keponakan beliau, Ja’far bin Abu Thalib Ra.

Diplomasi menjadi awal terbangunnya relasi. Untuk menjaganya, perlu dibuat konstitusi berdasarkan kebutuhan kedua belah pihak. Konstitusi inilah yang bisa menjaga agar relasi tersebut tidak retak. Konstitusi ini juga akan menciptakan masyarakat yang madani; tidak terjadi ketimpangan sosial.

Nabi Muhammad Saw, beberapa kali mendesain dan mengesahkan konstitusi, seiring berubahnya kondisi. Mulai saat hijrah di Madinah, nabi segera membentuk traktat perjanjian yang berlaku untuk seluruh penduduk Madinah, baik yang datang dari Makkah, maupun penduduk asli Madinah, yaitu kabilah ‘Aus dan Khazraj, penduduk Yahudi, dan kabila-kabilah lain. Traktat ini dikenal denag Piagam Madinah atau Watsiqah Madinah. Di dalamnya memuat 51 poin. 24 poin yang pertama, mengatur relasi sosial penduduk muslim di berbagai suku di Madinah, dan selebihnya mengatur penduduk non-Muslim, serta Muslim dengan non-Muslim sebagai  warga Madinah, juga berbagai suku dan kabilah.

Tak sesuai ekspektasi, perjanjian yang berlaku sampai 10 tahun, justru dikhianati. Tepat pada tahun ke-8 H, ada seorang kabilah Khuza’ah yang bukan Islam dan ikut dlm barisan koalisi Nabi Muhammad Saw. dibunuh oleh Bani Bakr yg berkoalisi dengan kaum Quraisy. Bani Khuza’ah menuntut penghianatan ini, dan beberapa kali meminta dukungan kepada berbagai kabilah Arab. Alih-alih meminta dukungan, kaum Quraisy justru membunuh mereka dengan jumlah besar. Akhirnya mereka terdzolimi dan putus asa. Mengingat Perjanjian Hudaibiyah yang tertulis bahwa mereka ikut bersama Nabi Muhammad Saw., mereka pergi ke Madinah dan mengadu persoalan ini. Kemudian Nabi menjamin keamanan bagi kaum Khuza’ah.

Baca juga:  Sabilus Salikin (103): Macam-Macam Zikir Tarekat Histiyah (1)

Atas penghianatan ini, nabi mengajak golongan orang dewasa yang mampu berperang, untuk ikut berangkat bersama beliau dalam rangka menagih janji komitmen perjanjian ini terhadap kaum Quraisy. Melihat pasukan nabi yang amat banyak, kaum Quraisy ketar ketir ketakutan. Sempat meminta nabi untuk mundur, tapi negosiasi itu tidak berhasil. Namun Nabi Muhammad Saw., dengan akhlak mulianya, memberi jaminan keamanan, kecuali yang masih ngeyel menghunus pedang dan melawan, mereka yg diperangi. Peristiwa ini dikenal dengan Fathu Makkah.

Sikap teladan Nabi dalam menjaga komitmen, bisa dilihat saat beliau berlaku adil kepada seorang Muslim yang mendzolimi seorang Rahib Yahudi. Kisah ini ditulis oleh Imam Ibnu Jarir ath-Thabari (w.310 H), dalam kitabnya, _Jami’ al-Bayan fi Ay al-Qur’an. Alkisah, seorang Muslim bernama Thu’mah bin Abiraq Ra., berasal dari Madinah atau sahabat Anshar, mencuri baju milik pamannya, yang itu juga titipan dari seseorang. Untuk menghindari kecurigaan dan tuduhan, Thu’mah secara diam-diam menyembunyikan baju besi itu ke rumah seorang Yahudi bernama Zaid bin Samin.

Melihat barang itu berada di rumah Zaid bin Samin, si pemilik, keluarga dekat dan Thu’mah bin Abiraq Ra., menuduh dan mengutuk orang Yahudi tersebut.Mendapat perlakuan seperti ini, Zaid bin Samin mengadukan kepada nabi dan minta keadilan. Setelah dijadikan investigasi secara cukup, nabi membebaskan orang Yahudi itu dan memutuskan bahwa Thu’mah bib Abiraq Ra. yang bersalah. Mendengar keputusan ini, Tuh’mah bin Abiraq Ra. memilih berlari entah kemana.

Baca juga:  Mengulik yang Tak Banyak Dilirik

Semangat membangun relasi seperti yang sudah dijelaskan di atas,– kata Kang Faqih — memang ada landasan teologisnya, ada ayat-ayatnya, ada hadits-haditsnya, dan ada preseden sejarahnya, baik dari kehidupan nabi, maupun generasi selanjutnya yang penuh dng kepentingan politik. Tak heran, meskipun mereka punya rujukan yang sama, tapi justru tercerai berai. Adapun landasan ayat-ayat dan hadits itu, yang dikaitkan dengan semangat Mubadalah, Kang Faqih menulisnya pada halaman 203-219. Salah satunya hadits:

عن أبي هريرة قال قال رسولالله صالله عليه وسلم يا أبا هريرة حب للناس ما تحب لنفسك تكن مؤمنا وأحسن جوار من جاورك تكن مسلما

Dari Abu Hurairah, berkata: Rasulullah Saw. bersabda: “Wahai Abu Hurairah, cintailah untuk semua manusia apa yang kamu cintai untuk dirimu, maka kamu akan menjadi orang yang Mukmin (sejati), dan berbuat baiklah dalam hal persahabatan dengan siapa pun yang bersahabat denganmu, maka kamu akan menjadi orang Islam (yang sejati).” (HR. Ibnu Majah, no. 4357).

 

Buku: Relasi Mubadalah Muslim dengan Umat Berbeda Agama

Penulis: Faqihuddin Abdul Kodir

Penerbit: DIVA Press

Tebal: 234 halaman

Cetakan I: 2022

ISBN: 978-623-5348-40-7

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Scroll To Top