Sampai tulisan ini dibuat, Gaza masih dikepung oleh berbagai serangan Israel dari segala penjuru. Beragam fakta mengerikan keadaan di sana yang tak manusiawi dapat saja muncul dalam hitungan jam dan menit oleh pemberitaan media. Jangankan untuk dialami, didengar oleh telinga saja rasanya kenyataan tersebut tak pantas. Data dan fakta menunjukkan bahwa bukan hanya pasukan Hamas dan warga sipil saja yang menjadi sasaran operasi, namun berbagai fasilitas dan infrastruktur seperti rumah sakit, tempat ibadah, hingga fasilitas umum yang menjadi kamp pengungsi pun tidak luput dari serangan militer Israel.
Dalam Hukum Humaniter Internasional, dikenal sebuah istilah indiscriminate bombardment, yang berarti penggelontoran serangan tanpa pandang bulu, dan hal itu dianggap sebagai sebuah “kejahatan perang”. Dan tampaknya Israel, mereka sadari atau tidak, tengah menerapkan strategi ini dalam serangan brutalnya di jalur Gaza.
Di tengah memanasnya situasi tersebut, ramai seruan maupun aksi protes terhadap kebiadaban Israel, salah satunya adalah ajakan untuk memboikot produk-produk Israel. Tindakan boikot ini umumnya dilakukan oleh perorangan atau masyarakat sipil lantaran tidak kunjung ada tindakan yang solutif dari otoritas terkait yang berwenang menangani permasalahan yang terjadi.
Boikot sendiri sebetulnya termasuk dalam salah satu bentuk non-violence direct action, di mana jika ia dilakukan oleh sekelompok orang bisa bersifat fungsional, tapi ia juga bisa muncul dalam bentuknya yang simbolik jika sebagai sikap atau pernyataan politik individu.
Dari sisi psikologis, dapat dipahami bahwa mereka yang melakukan aksi boikot ini berpemikiran bahwa jika tidak mampu melawan dengan cara-cara formal-konstitusional, maka setidaknya upaya perlawanan tersebut dapat diikhtiarkan sejak dari gerakan-gerakan kecil dan sederhana yang sifatnya informal “bawah tanah”.
Meski demikian, masih terdapat pro dan kontra dalam inisiasi pemboikotan terhadap Israel ini. Bagi mereka yang setuju untuk melakukan boikot, mereka berprinsip dan berpemikiran bahwa tidak ada usaha dan dukungan kepada Palestina sekecil dan sesederhana apapun yang sia-sia, mereka melarang diri mereka untuk membeli segala produk yang berhubungan dengan Israel, baik yang diimpor dari Israel maupun barang-barang yang diproduksi oleh perusahaan-perusahaan yang mendukung apalagi terlibat dalam pendanaan Israel. Bagi yang kontra dengan pemboikotan, mereka beranggapan bahwa tindakan konsumtifnya terhadap produk-produk Israel tersebut hanya murni atas dasar konsumsi kebutuhan dan kepuasan diri saja, tidak ada urusannya dengan hal-hal yang ada di ranah politik.
Namun, jika dilihat dari ruang diskusi dan pandangan publik secara umum, tidak sedikit yang beranggapan jika tindakan seperti boikot ini adalah tindakan yang tabu, sia-sia, dan jauh panggang dari api. Mereka menilai bahwa pemboikotan semacam itu jauh dari efektifitas. Maka, sesuai dengan judul, tulisan ini berusaha menawarkan sudut pandang yang berbeda mengenai tindakan pemboikotan dalam konteks konflik Israel-Palestina, yang barangkali layak untuk dijadikan pertimbangan dan pemikiran ulang, bahwa bukan tidak salah jika boikot adalah upaya yang kian hari kian mendesak untuk dilakukan mengingat kian hari kian mengenaskan pula situasi dan kondisi di Gaza.
Pertama-tama, boikot ini menjadi mulai relevan untuk digencarkan sejak kita sama-sama mengetahui bahwa Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sebagai badan dan pihak yang paling berwenang dan bertanggung jawab dalam hal ini tampak cukup lambat dalam menangani konflik Israel-Palestina. Hingga saat ini belum terlihat keputusan solutif yang diberikan oleh PBB yang memberikan dampak cukup menenangkan terhadap konflik besar tersebut. Belum lagi jika mendengar desas-desus tentang sikap dualisme PBB antara konflik Israel-Palestina dan Russia-Ukraina. Jika melihat dalam konteks perang Russia-Ukraina, PBB tampak lebih cekatan dan sigap untuk mengatasi permasalahan tersebut, dibanding dalam konflik Israel-Palestina. Pada titik ini, ada kecurigaan bahwa PBB beserta badan-badan dunia pendamping lainnya pilih kasih, lebih berpihak kepada dunia Barat ketimbang Timur.
Berikutnya, bagi para konsumen produk-produk Israel maupun penikmat budaya para simpatisan Israel, ada sebuah realitas politik yang perlu disadari yang dapat membuat kita berpikir ulang untuk membeli produk-produk mereka. Bahwa, kita dibuat agar seolah-olah membeli dan memakai produk mereka, mengeksposur public figure yang bersimpati kepada mereka, itu sebagai kegiatan konsumsi biasa. Padahal, justru demikianlah politik masa kini bekerja. Ideologi-ideologi bekerja melalui mekanisme pasar yang sepintas terlihat netral dan organik. Walau tentu, bentuk protes seperti boikot ini sulit untuk langsung menyasar semua hal, karena kita belum sempat diberi banyak opsi dan terlanjur dikelilingi produk-produk yang kita sudah bergantung padanya.
Saat masih banyak yang menganggap remeh arti dari me-like postingan Gal Gadot (aktris-model Israel) misalnya, justru di situlah bukti jelasnya, bahwa Gal Gadot itu bukan artis “biasa”, dia adalah sosok politis yang bisa menggiring opini jutaan orang. Tapi kita dibutakan bahwa konsumsi atas image Gal Gadot adalah murni soal estetisme belaka. Namun, sekali lagi, justru persis dengan cara itulah ideologi politik-hegemonik dunia modern hari ini bekerja.
Lebih sederhana lagi, pernahkah kita berpikir, mengapa Israel begitu kuat padahal wilayahnya hanya secuil atau bahkan nyaris tidak punya, dan bangsanya juga tidak banyak? Ya, jawabannya adalah karena mereka menguasai sirkulasi-organisme ekonomi dunia, sampai-sampai kebijakan politik Amerika saja, misalnya, bisa disetir. Maka, sampai di sini, dapat disimpulkan bahwa pemboikotan produk mereka tidak ada hubungannya dengan peran menyudahi konflik Israel-Palestina, menjadi terbantahkan.
Dan, selebihnya, melihat dan menyadari keadaan di Gaza yang semakin hari sudah semakin tidak logis dan manusiawi, kiranya dapat dimengerti, bahwa tidak ada upaya sekecil apapun yang sia-sia. Seharusnya segalanya jadi tampak berarti, seiring dengan masih hidupnya nurani.