Ahmad Zamzama
Penulis Kolom

Mahasiswa program studi Sejarah & Kebudayaan Islam UIN Sunan Kalijaga. Santri Pondok Pesantren Tambakberas. Sekarang bermukim di pondok pesantren Al-Munawwir, Krapyak, Yogyakarta.

Soesilo Toer: Menjadi Manusia Merdeka

Soesilo Toer

Jika memang ada cara untuk merasakan puncak sebuah kenikmatan, barangkali kehilangannya terlebih dahulu adalah cara paling mujarab untuk mencecapnya. Orang-orang, seperti yang kita tahu, akan lebih menghargai kesehatannya selepas sakit yang dirasakannya reda, sebagaimana kesempatan terasa lebih lebar terbuka ketika didahului kesempitan. Paling tidak demikianlah Soesilo Toer, adik Pramoedya itu, menjadi manusia merdeka sejati, setelah penjara menjelma tempatnya sejenak mendekam sekaligus menempa, tanpa proses pengadilan dan pembuktian nyata mengenai penangkapannya.

Guru Soes, begitu orang-orang memanggilnya, tampak benar-benar merdeka ketika kemarin malam (21/01/2020) mendatangi talkshow di acara Ketemu Buku di Jombang. Pakaian yang sederhana, penampilan yang bersahaja sama sekali tak mengindikasikan, terutama bagi mereka yang baru kali pertama bersua, bahwa dibalik itu semua ada semangat yang menggelora; semangat yang sungguh merdeka, tak terikat pada apapun, bahkan pada pakaiannya sendiri.

Semangat malam, saya sampai sini hanya karena semangat saja!”. Benar-benar kata pembuka dari Guru Soes yang hebat, terlebih mengingat waktu yang sudah malam dan jauhnya jarak tempuh Blora-Jombang.

Menjadi manusia merdeka, adalah berani menentukan jalan diri sendiri, mendidik diri sendiri, tanpa perlu aturan-aturan yang mengikat. Guru Soes sebenarnya memiliki 4 ijazah, tetapi beliau tidak menggantungkan hidup padanya. Tidak ada masalah meskipun ijazah itu tidak diakui. Karena prinsipnya, bagaimanapun, harus berani hidup di atas tenaga sendiri, dari penghidupan sendiri; filosofi nihilisme. Bahkan andaikata nanti buta, tuli, ataupun lumpuh bukan berarti akan bergantung pada orang lain begitu saja, tetap katakan “tidak” untuk menggantungkan makan dari hidup orang, “Lebih baik saya bunuh diri”, kata beliau.

Baca juga:  KH Afifuddin Dimyati: Fakta dan Tantangan Aswaja di Masa Pandemi

Terbukti, dulu, selepas lulus kuliah, Guru Soes pernah bekerja sebagai pegawai di sebuah perusahaan asuransi. Meski di sana sebenarnya kehidupan pribadi menjadi sejahtera, beliau tidak menyukainya. Karena kerja seperti itu sungguh mengikat, membosankan dan hidup hanya dipenuhi angka-angka dan mesin-mesin. Dan sekarang lihatlah, di wilayah Blora, beliau bekerja secara merdeka; memunguti sampah di lingkungan sekitar, menjual ayam dan kambing, mengelola perpustakaan Pataba (Pramoedya Ananta Toer Anak Semua Bangsa) dan menulis tentunya.

“Sekolah dan cumlaude hanya membuatmu menjadi pintar. Pendidikan lingkungan dan pengalaman di masyarakat hanya menjadikanmu cerdas. Tapi yang membentukmu agar ulet dan terampil adalah pendidikan diri sendiri”. Begitu prinsipnya.

Khusus untuk kerja memulungnya itu, Beliau mengaku sebagai seorang rektor. Akronim dari “Mengorek barang-barang yang kotor”. Pemulung adalah kerja peradaban menyelamatkan dunia. Gambarannya, sekarang, di Blora, jumlah pemulung telah mencapai 50 orang. Per-orang dari mereka bisa membawa 2 kg plastik, dikalikan menjadi 100 kg. Ini masih di Blora, dan dalam satu hari. Bayangkan, betapa beruntung dunia dengan keberadaan pemulung.

“Pemulung adalah kenikmatan abadi. Jangan lihat kerja memulungnya, tapi lihat hasilnya”, tegas Guru Soes, yang pernah hendak didaulat sebagai Bapak Pemulung Indonesia, tetapi ia tolak seketika, dengan alasan tak bermaksud mencari gelar. Apa yang dilakukan ini hanya berburu kenikmatan.

Baca juga:  Jaringan Gusdurian Rayakan Toleransi Melalui Festival Film di Berbagai Kota

Karena itu, manusia, kata Guru Soes, harus semangat bekerja senantiasa. Karena kata “manusia” sendiri berasal dari bahasa Italia, Mano, yang berarti “Tangan”. Sehingga bagi manusia, bagaimanapun, harus memulai segalanya dengan tangan, dengan bekerja. Dan dengan cara inilah akan lahir pikiran-pikiran cemerlang yang memerdekakan.

Saat ini, di umurnya yang mencapai 83 tahun, Guru Soes telah menemukan hakikat hidupnya. Yakni menjadi benar-benar manusia, yang bertugas senantiasa belajar, bekerja dan berkarya, secara merdeka.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
1
Senang
1
Terhibur
1
Terinspirasi
2
Terkejut
1
Lihat Komentar (1)
  • “Pemulung adalah kenikmatan abadi. Jangan lihat kerja memulungnya, tapi lihat hasilnya”, tegas Guru Soes, yang pernah hendak didaulat sebagai Bapak Pemulung Indonesia, tetapi ia tolak seketika, dengan alasan tak bermaksud mencari gelar. Apa yang dilakukan ini hanya berburu kenikmatan.

    Istimewa,

Komentari

Scroll To Top