Sastrawan Brazil, Paulo Coelho suatu kali menulis: “I am surprised how difficult for people is to say “I love you”. They only say the three magic words when they are sure they will hear “I love you too” back. C’mon! Spread the energy of love without expecting anything! Cowards are incapable of expressing love; it is the prerogative of the brave.”
(“Saya heran betapa susahnya orang-orang mengatakan ‘I love you’. Mereka hanya perlu mengatakan tiga kata magis ketika mereka yakin akan mendengar ‘I love you too’. Ayolah! Sebarkan energi cinta tanpa mengharapkan apapun! Penakut memang tak memiliki kemampuan untuk menyatakan cinta, karena cinta hanya hak prerogatif para pemberani.”)
Kurang lebih itulah kecamuk batin saya selama menonton film Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini (NKCTHI). Setelah gagal di hari pertama, akhirnya, kami sekeluarga nonton film yang disutradarai Angga Sasongko ini. Kami semua keluar studio dengan mata basah.
Kami tidak mendiskusikan apapun tentang film itu sebagaimana basanya yang kami lakukan setelan nonton film horor. Kami hanya diam. Semua rasanya perlu waktu untuk melihat kembali diri dan peran masing-masing dalam keluarga. Anak saya yang paling kecil terlihat paling sembab matanya. Hingga saat kami makan malam di salah satu restoran, dia masih sesekali mengusap air matanya.
Saya sendiri selama menonton, ingin teriak protes. Jika itu adalah keluarga saya, saya bukanlah ayah seperti itu. Saya bukan ayah yang memberi beban tanggung jawab kepada anak sulungnya hingga tak ada ruang untuk menikmati dunianya. Saya tak pernah membiarkan anak saya menjalani hidupnya tanpa tahu perasaanya. Saya tak pernah memenjarakan anak saya atas nama cinta.
Tapi, betulkah? Saya gamang. Saya tak tahan. Saat kami menunggu hidangan makan malam, dengan nada lirih, saya berkata (sebetulnya bertanya) ke mereka, “Papa selama ini tidak seperti ayah di film tadi. Benar kan?” Mereka memandang saya sambil diam. “Papa nggak seperti itu,” jawab si sulung. Adiknya tidak berkata apa-apa, mungkin masih menikmati air matanya.
Saya tetap gamang. Sebagai seorang ayah, siapakah anak yang saya Angkasa kan? Orang tua cenderung memberi tanggung jawab anak sulungnya seberat beban yang harus diemban oleh orang tua. Orang tua sering lupa bahwa sesulung apapun seorang anak, dia tetap seorang anak. Bahkan ketika si sulung telah beranjak dewasa pun, dia berhak menikmati hidupnya sendiri.
Angkasa tak pernah mendengar ungkapan cinta dari bapaknya. Angkasa tak pernah merasakan dicintai bapaknya. Yang dirasakan adalah didikan tegas ayahnya agar dia bertanggung kepada dua adik perempuannya. Dia tidak boleh memiliki dunia lain kecuali melindungi dan memeluk adik-adiknya. Tidak boleh ada kesedihan yang dirasakan adik-adiknya. Dan itu yang menjamin adalah Angkasa.
Anak yang paling “tersingkir” adalah Aurora. Dia menyibukkan diri di studio seninya. Betapa inginnya dia menjadi bagian dari keluarganya, mendapat perhatian ayah dan kakanya seperti mereka memperhatikan Awan, adiknya. Bahkan untuk menyatakan perasannya saja, dia terpaksa harus memutus kalimatnya, karena semuanya untuk Awan. Apakah dia cemburu dan sakit hati ke adiknya? Tidak. Sebagai seorang kakak, dia juga sangat mencintai adiknya. Karena semua perhatian harus ke Awan, dia dengan sadar “menghilangkan” dirinya.
Sebagai anak bontot yang dicurahi kasih sayang, yang seluruh kebutuhannya dipenuhi, yang tak pernah merasakan kekurangan, apakah Awan merasa bahagia? Sayangnya, jawabannya juga ‘tidak’. Seluruh perhatian yang diberikan kepadanya bersumber dari perasaan ayahnya yang takut kehilangan. Bisa jadi takut kehilangan adalah wujud dari sebuah cinta. Tapi cinta tak selalu harus diungkapkan dalam perasaan takut kehilangan, karena yang terlahir adalah sikap protektif yang memenjarakan. Awan yang dicintai dengan cara ini akhirnya tak pernah bisa merasakah bagaimana rasanya memilih, karena semua sudah dipilihkan, semua sudah disiapkan. Orang yang tidak punya kesempatan untuk memilih, pada dasarnya adalah orang yang tidak memiliki kehidupan.
Yang sering lupa dari kita sebagai orang tua adalah menanyakan perasaan anak. Tapi yang lebih fatal adalah kita berasumsi bahwa anak kita tahu bahwa kita mencintainya. Kita tidak menyadari bahwa orang yang kita cintai membutuhkan ungkapan cinta dari kita. Orang yang kita cintai tak mesti bisa merasakan cinta kita, sebesar apapun cinta kita kepadanya, jika kita salah mengungkapkannya.
Karena cinta yang tak pernah diungkapkan, karena cinta yang dinyatakan dalam bentuk penguasaan, membuat orang yang kita cintai tak merasa apapun kecuali tekanan dan ketakutan. Cinta yang tak dikatakan, atau dinyatakan dalam proteksi yang berlebihan, akhirnya akan kehilangan orang-orang tercinta. “Kalian telah lama kehilangan saya,” kata Aurora dalam sebuah pertengkaran keluarga yang sudah memuncak karena sekian lama semua orang hanya bisa memendam perasaan masing-masing.
Karena cintanya kepada keluarga, si bapak tidak menginginkan ada kesedihan dalam keluarganya. Karena “bumi berputar hanya untuk Bapak”, perasaan sedih ibu karena kematian bayinya (saudara kembar Awan); perasaan sedih Angkasa yang selalu dipersalahkan; perasaan sedih Aurora yang tidak pernah didengar suaranya; dan perasaan sedih Awan karena sikap protektif bapaknya, tak pernah terungkapkan. Sedih yang tak bisa diungkap adalah kesedihan di atas kesedihan. Kesedihan yang tak terucap sama dengan cinta yang tak terkatakan, hasilnya adalah kehilangan dan penderitaan.
Suatu saat, jika saya bertemu Awan, saya akan katakan padanya agar dia menulis kepada anak-anaknya kelak, tentang cinta yang harus dikatakan. “Cinta adalah perasaan yang indah. Jika kamu tidak menyatakan, ia seperti rembulan tertutup awan. Salah satu keajaiban hidup adalah ketika engkau mengetahui perasaan orang yang engkau cintai. Katakan cintamu, dan secara ajaib engkau akan tahu betapa engkau juga dicintai.”